Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Suami Biasa
Ruang baca naskah tampak terang, nyaman, dan modern.
Sofa melingkar menghadap papan besar dengan sinopsis dan jadwal syuting tertempel rapi. Di tengah, meja kopi penuh tumpukan naskah dengan stabilo warna-warni. Air mineral dan snack ringan tersedia.
Aluna duduk bersebelahan dengan Kael Mahardika, 25 tahun, aktor pendatang baru tapi sudah viral berkat wajah dingin dan tatapan tajamnya. Rambut messy-cut, kulit putih pucat, dan cara duduknya, CEO banget.
Film mereka tentang mahasiswi farmasi yang magang di perusahaan Healthcare Manufacturer. Judul: Healthcare Heartbeat.
“Jadi, lo Aluna?” tanya Kael pelan saat mereka saling tatap.
Aluna mengangguk sambil tersenyum sopan. “Ya. Senang bisa kerja bareng.”
Suaranya terdengar lembut namun profesional. Wajahnya dirias natural, hanya sedikit lip tint dan eyeliner tipis. Tak tampak bekas glamornya di red carpet bioskop.
Sutradara Anggara berdiri di depan. Memegang naskah versi cetak.
“Kita mulai dari adegan ketiga, ya. Pertemuan pertama di lorong perusahaan, pas karakter Aluna magang.”
Surya duduk di sisi ruangan, memperhatikan dari jauh, sesekali sibuk dengan smartphone. Ia mengangguk ketika Aluna melihat ke arahnya, memastikan aktrisnya baik-baik saja.
Pembacaan dimulai.
Kael membaca dengan suara dalam dan tajam. “Kamu dari Farmasi? Lalu kenapa kamu ada di area produksi kimia raw material? Ini bukan tempat mahasiswi magang sepertimu.”
Aluna menunduk sebentar, meresapi naskah. Lalu membalas lembut dengan sedikit keberanian dalam nadanya. “Saya penasaran. Dan saya nggak takut, Pak CEO. Saya bisa bedakan mana risiko, mana rasa ingin tahu.”
Kael melirik sejenak, lalu tersenyum tipis.
Sutradara Anggara menepuk tangan pelan.
“Good! Lanjut ke adegan 6—konfrontasi di ruang lab. Kali ini kalian udah kenal, tapi masih menahan hasrat.”
Aluna membuka halaman, lalu menarik napas. Matanya bertemu Kael lagi.
Dialog mulai dibacakan, intensitas makin terasa.
“Kalau kamu terus datang ke ruangan saya tanpa alasan jelas, saya harus mulai menganggap itu ajakan.” Suara Kael tetap rendah, tapi mengandung tensi seksual.
“Kalau saya memang ingin menggoda, Pak CEO pasti sudah jatuh sejak pertemuan pertama,” balas Aluna, kali ini dengan nada sedikit menggoda, mata tak berkedip.
Senyap. Beberapa detik. Semua tim produksi saling pandang.
Surya menyeringai. “Chemistry-nya udah dapet, ya?”
Sutradara Anggara mengangguk puas. “Udah. Baru baca aja udah panas. Gimana nanti pas syuting.”
Aluna menyandarkan punggung. Kael sempat menoleh dan berkata pelan, “lo hidupin naskahnya.”
Aluna hanya tersenyum singkat. Tapi di matanya, terlihat kilatan penuh perhitungan. “Lo juga.”
Surya langsung chatting dengan Alaric.
SURYA PRAKASA
Latihan naskah lancar, Pak. Kael cocok banget jadi CEO muda. Tatapannya tajem, karismanya dapet. Aluna juga cepat adaptasinya
(1 Foto terkirim)
Foto candid: Aluna dan Kael sedang tertawa kecil saat break reading. Jarak mereka dekat, naskah terbuka di antara mereka.
ALARIC ALVERIO
Jangan terlalu dekat. Ingatkan Aluna, dia sedang bekerja, bukan cari pasangan
SURYA PRAKASA
Tenang aja. Profesional kok. Tapi gak bisa disalahin kalo chemistry-nya dapet. Fans Aluna pasti histeris nanti liat akting mereka
ALARIC ALVERIO
Saya gak peduli reaksi fans. Yang penting: skrip selesai, Aluna kerja dengan baik, gak ada skandal
SURYA PRAKASA
Siap, Pak Alaric. Besok mereka mulai blocking scene pertama
ALARIC ALVERIO
Saya akan hadir besok
SURYA PRAKASA
Aluna bakal suka tuh
ALARIC ALVERIO
Bukan buat Aluna. Saya cuma pengen pastikan semuanya berjalan sesuai rencana
Surya hanya tertawa kecil sambil menyimpan smartphone. Ia tahu betul—Alaric tidak pernah benar-benar netral jika itu soal Aluna.
Break 15 menit.
Suasana ruangan pembacaan naskah jadi lebih santai. Para kru dan pemain berkumpul di beberapa sisi, tertawa kecil sambil membahas karakter, dialog, atau sekadar bercanda ringan.
Seorang staf dari agensi sutradara Anggara masuk membawa nampan besar berisi gelas-gelas plastik berembun.
“Americano-nya, guys! Bonus dari kantor Anggara Films! Biar naskah gelap, suasananya tetep cerah ya,” candanya.
Gelas-gelas dingin itu dibagikan. Aluna menerima satu dengan senyum sopan dan mengucapkan terima kasih.
Kael yang sejak tadi duduk agak menyendiri, berdiri dan berjalan pelan ke arah Aluna. Ia memegang gelasnya sendiri, embun masih turun dari permukaannya.
“Gak nyangka lo suka yang pahit,” ucap Kael sambil duduk di kursi sebelah Aluna.
Aluna melirik, menyeruput pelan. “Gue udah terbiasa. Dunia hiburan lebih pahit dari ini.” Ia terkekeh, tapi ada nada pahit di balik tawa itu.
Kael memiringkan kepala. Matanya menatap lekat tapi tak mengganggu. “Gue suka cara Lo nahan semuanya tapi tetap tersenyum.”
Aluna membalas tatapan itu, sedikit memiringkan tubuhnya agar menghadap Kael. “Lo tipe aktor yang pendiam ya? Atau memang menyimpan aura misterius biar fans penasaran?”
Kael tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. “Mungkin. Tapi sekarang, gue harus pastikan lo nyaman kerja bareng gue. Supaya chemistry kita gak cuma di depan kamera.”
Aluna diam sejenak. Menatap dalam, lalu menjawab lembut, “lo udah mulai bikin gue nyaman. Tapi awas, jangan bikin nyaman doang. Kalau udah selesai syuting, jangan lupa berpamitan.”
Mereka tertawa kecil bersama, pelan dan alami.
Tak jauh dari mereka, Surya memperhatikan diam-diam sambil menyeruput americano. Ia lalu mengirim pesan pendek ke Alaric.
SURYA PRAKASA
Boss, mereka makin klop. Fix rating meledak.
...***...
Apartemen Alverio Lux Residence. Pukul 9 p.m. Memiliki 50 lantai dengan bangunan berwarna hitam metalic.
Pintu apartemen terbuka perlahan. Alaric, masih memakai jas kerja yang sedikit kusut, masuk dengan langkah berat. Dasinya longgar, rambutnya sedikit acak karena ia sempat mengacaknya di lift tadi—tanda kelelahan.
Dari ruang tengah, suara pelan drama Korea terdengar. Cahaya televisi memantul di wajah Aluna, yang sedang duduk santai di sofa. Ia mengenakan piyama satin biru muda, rambut tergerai dan memegang bantal kecil di pelukan.
“Ih cowoknya jahat banget, udah tahu ceweknya trauma!” gumam Aluna, suaranya berbisik tapi ekspresif.
Alaric menoleh sekilas. Matanya menyipit dalam kegelapan, hanya diterangi lampu dinding temaram.
“Kamu nonton apaan sih …,” gumamnya pelan sambil melepas jas dan menggantungnya asal di sandaran kursi makan.
‘Brugh’
Suara benda ditendang.
“Oh, shit!”
Umpatan Alaric mengisi ruangan. Kakinya tanpa sengaja menabrak tong sampah kecil yang ada di tengah jalur dapur dan ruang makan.
Ia menyalakan lampu utama. Pemandangan tisu bekas dan plastik ringan berserakan.
“Ini kenapa tong sampah taruh di tengah jalan, hah? Aku udah kerja capek-capek, pulang malah kaya gini?!”
Suara Alaric terdengar keras, frustrasi bercampur lelah.
Aluna tersentak, lalu segera berdiri. “Maaf… aku tadi mindahin waktu ngepel, lupa balikin…” Suaranya kecil, ia langsung jongkok dan memunguti tisu satu per satu.
Alaric berdiri sambil berkacak pinggang, menatap Aluna yang berjongkok sambil menyibak rambut dari wajahnya.
Alaric mengusap pelipis dengan telapak tangan. “Besok tolong lebih perhatian. Aku gak mau malam-malam pulang malah kayak main obstacle course.”
Tanpa menunggu balasan, Alaric berjalan ke arah kamar. Langkahnya berat tapi cepat. Sebelum masuk kamar, ia sempat menoleh sebentar—melihat Aluna dari belakang, yang masih sibuk mengembalikan tong sampah ke tempatnya.
Pintu kamar tertutup dengan bunyi lembut. TV masih menyala. Tapi tidak ada lagi komentar atau tawa.
...***...
Jam menunjukkan pukul 10 p.m
Lampu kamar sudah redup sejak beberapa menit lalu.
Alaric sudah mandi, rambutnya setengah basah, dan tubuhnya hanya dibalut celana tidur, panjang. Ia terbaring telentang di atas kasur, mata terpejam, napasnya lambat tapi tidak sepenuhnya tertidur.
Pintu kamar terbuka pelan. Aluna masuk dengan langkah ringan, berbalut piyama satin tipis.
Aluna tak menyangka Alaric sudah di kasur. Perlahan ia menaiki sisi tempat tidur, menyusup ke bawah selimut. Tidak berani menyentuh apa pun. Bahkan napasnya ditahan saat perlahan memunggungi Alaric.
Tepat saat ia hendak menutup mata…
“Dulu kamu itu cewek blak-blakan. Artis mulut pedas. Sekarang jadi… lembut banget.”
Suara Alaric terdengar berat, sedikit serak, tapi jelas. Matanya tetap tertutup, satu tangan bertumpu di atas perut.
Aluna terlonjak kecil. “Kamu belum tidur?” bisiknya nyaris tak terdengar.
“Jadi, kenapa berubah?” lanjut Alaric tanpa menjawab.
Aluna menghela napas. Ia menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum menjawab pelan. “Karena karma itu ada… Mungkin karena aku dulu sering nyinyir, menyindir orang seenaknya… Tuhan ambil semua yang aku sayang. Jadi, sekarang aku belajar... lebih baik diem.”
Hening. Hanya terdengar kipas AC berputar pelan.
Alaric mencibir, masih dengan tangan menutup matanya. “Diem... tapi tontonan kamu isinya desahan semua. Karma-nya belum cukup, nambah dosa lagi.”
Aluna memejamkan mata, kesal dan malu. Ia menarik selimutnya lebih tinggi, sampai leher. Memunggungi Alaric lebih dalam. “Terserah kamu mau bilang apa.”
Hening kembali. Tapi kali ini berbeda. Sunyi yang membuat jantung Aluna berdegup.
Detik berikutnya, sebuah tangan berat dan hangat melingkari pinggangnya. Menariknya dengan kuat, rapat, hingga tubuh mereka nyaris menyatu.
Aluna terdiam. Jantungnya melompat. Tenggorokannya kering. Ia menelan ludah perlahan.
“Alaric…” bisiknya, nyaris putus napas.
Alaric tidak menjawab. Napasnya terasa di tengkuk Aluna. Hangat. Tenang. Dalam.
Tapi rengkuhan itu tak longgar. Tak juga melangkah lebih jauh. Hanya diam. Tapi membuat segalanya terasa terlalu dekat… terlalu nyata.
“Kamu main semua drama atau film yang direkomendasikan Surya ya?”
“Iya. Karena dia dari dulu bisa dipercaya. Why? Tapi nggak tau sekarang rekomendasinya selalu drama plus plus.”
“Karena aku yang minta.”
“WHAT?! SERIOUSLY?! Bukannya suami malah cemburu ya?”
“Kan suami kamu beda dari yang lain.”