NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nyanyian Kupu-Kupu Yang Lepas

Pagi merambat di Sukabumi, membawa embun di ujung daun dan bisikan angin yang melenakan. Lana terbangun, bukan dengan kejutan, melainkan dengan keheningan baru yang meresap ke dalam jiwanya. Amplop di nakas, dengan tulisan tegas “Pembatalan Kontrak Pernikahan”, seolah sebuah lembaran kosong yang menanti takdirnya sendiri. Di lehernya, liontin kupu-kupu bersayap separuh terasa dingin, namun maknanya memancarkan kehangatan yang tak terlukiskan,sebuah janji yang baru saja tumbuh di antara reruntuhan masa lalu.

“Kebebasan..”bisik Lana pada bayangan dirinya di cermin. Kata itu terasa asing sekarang. Dulu, ia mengejarnya seperti pelari maraton yang haus akan garis finis. Tapi kini, ketika kebebasan itu sudah dalam genggamannya, rasanya seperti pedang bermata dua,melepas sekaligus menyayat perlahan.

Ia telah memilih jalan yang tak pasti. Jalan yang tak menjanjikan apa-apa selain keberanian untuk mencintai di tengah badai yang bisa datang kapan saja.

Lana menarik napas dalam. Ia tahu, langkah pertama yang harus ia ambil adalah kembali ke akar,kepada satu-satunya tempat yang selalu jadi rumah, ibunya.

Ia mengambil ponsel. Jari-jarinya bergerak cepat di atas layar, sedikit gemetar. Ketika suara ibunya menyapa dari seberang sana, hangat dan lega, rasanya seperti ada beban yang terangkat dari dadanya.

“Aku pulang hari ini, Bu,”ucapnya pelan. Suaranya nyaris bergetar, tapi kali ini bukan karena takut,melainkan karena rindu yang akhirnya menemukan jalannya pulang.

“Arvino sudah menunggunya di ruang tamu, secangkir teh hijau mengepul di tangannya. Senyumnya teduh, matanya bagai cermin yang merefleksikan kedalaman jiwa Lana. “Kamu yakin dengan pilihanmu, Lana?” tanyanya, suaranya lembut, tanpa sedikit pun nada menuntut. Tak ada pengekangan, tak ada klaim. Hanya penerimaan.

Lana membalas senyum itu, senyum yang membawa sedikit kesedihan perpisahan, namun juga keteguhan hati. “Aku harus mencobanya, Arvino. Kali ini, aku harus mendengarkan suara hati, meskipun jalan itu curam.”

Arvino mengangguk, sorot matanya menyiratkan bahwa iya paham akan pilihan lana. Ia mendekat, memeluk Lana dengan erat, pelukan persahabatan yang tulus. Bukan pelukan nafsu, melainkan pelukan yang menenangkan di jiwa Lana. “Aku akan selalu ada untukmu, Lana,” bisiknya di telinga Lana. “Apa pun yang terjadi, aku akan selalu di sini. Ingat itu.”

Lana memejamkan mata, membiarkan kehangatan pelukan Arvino meresap. Air matanya menetes, bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur atas semua yang terjadi. “Terima kasih, Arvino. Untuk segalanya. Kamu... kamu sangat berarti.” Perpisahan itu terasa manis dan pahit sekaligus, seperti membiarkan bagian dari jiwanya tetap tinggal di samping pria itu.

Perjalanan pulang terasa berbeda. Jalanan yang dulu memanjang bagai lorong ketakutan, kini terasa seperti jembatan menuju masa depan. Ketika pintu rumahnya terbuka, aroma masakan rumahan langsung memeluknya, kehangatan yang tak bisa ditukar dengan kemewahan apapun.

“Anak Ibu!” pekikan ibunya memenuhi ruangan, dan sedetik kemudian, Lana sudah tenggelam dalam pelukan erat yang penuh kerinduan. Air mata tumpah, membasahi bahu ibunya. Ia menceritakan sedikit, membalut luka lama dengan harapan baru, menceritakan tentang pembebasan utang dan lepasnya belenggu kontrak.

Ibunya menatap akta pembatalan kontrak dengan mata berbinar. “Jadi... kamu benar-benar bebas, Nak?”bisiknya, suaranya sarat kelegaan.

“Iya, Bu. Bebas,” jawab Lana sambil tersenyum, mendengar kata-kata itu mengalir ringan dari bibir anak nya, hembusan nafas lega yang panjang keluar dari mulut ibunya.

Malam itu, meja makan mereka dipenuhi tawa dan cerita, kehangatan yang telah lama hilang kini kembali mengisi setiap sudut rumah. Lana merasa seperti tunas yang baru saja keluar dari tanah, mencari cahaya matahari setelah lama terperangkap dalam kegelapan.

Keesokan harinya, kembali ke Leonhart Group terasa seperti melangkah ke medan perang yang berbeda. Bisik-bisik tentang kejatuhan Sanjaya dan perubahan sikap Leon masih merajalela, memercik di udara seperti percikan api. Lana mencoba mengabaikannya, membiarkan langkahnya membawa ia pada takdir yang telah ia pilih.

Ia melewati kantor Leon. Pintu itu sedikit terbuka, mengundang. Lana ragu sejenak, namun kemudian tangannya terangkat dan mengetuk pelan.

“Masuk,”suara Leon terdengar, lebih damai dari yang pernah ia dengar sebelumnya.

Lana melangkah masuk. Leon sedang duduk di mejanya, tampak sibuk dengan berkas-berkas, namun wajahnya kini tidak lagi kaku. Ia mendongak, matanya bertemu mata Lana, dan sebuah senyum tipis, tulus, dan sedikit rapuh, merekah di bibirnya.

“Selamat pagi, Lana,” sapanya, suaranya lembut, seolah ia sedang berbicara dengan permata yang harus dijaga dengan segenap jiwa.

“Pagi, Leon,” balas Lana sambil tersenyum. "Aku hanya ingin bilang... terima kasih."

Keheningan melayang di antara mereka, kali ini bukan keheningan yang mencekik, melainkan keheningan yang penuh dengan makna yang tak terucap. Seperti dua musafir yang baru saja bertemu di persimpangan jalan, mencoba memahami peta baru mereka berdua.

“Bagaimana dengan terapimu?” Lana memecah kesunyian, menatap matanya dalam-dalam.

Leon menghela napas, sorot matanya menunjukkan perjuangan yang tak mudah. “Sulit. Ada banyak bagian dari diriku yang harus  kembali. Tapi... aku akan terus mencoba. Terapis bilang ini akan memakan waktu, tapi aku bersedia."

"Aku akan mendukungmu," kata Lana, tulus dari lubuk hatinya.

Mata Leon bertemu matanya, dan Lana bisa melihat emosi yang meluap di sana,rasa syukur, kerinduan, dan harapan yang baru mekar. Bukan lagi klaim posesif yang dulu menghantui dirinya, melainkan sebuah permohonan yang jujur dari sorot matanya.

“Lana,” kata Leon, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan. “Aku tahu kita sudah membahas ini. Tapi... aku ingin memulainya dari awal. Bukan sebagai kontrak. Bukan sebagai bayangan gelap masa lalu. Tapi sebagai sesuatu yang nyata. Jika kamu... bersedia.”

Jantung Lana berdebar kencang, sebuah simfoni harapan dan ketakutan menari di dadanya. Ini adalah pengakuan yang ia nantikan, tanpa paksaan, tanpa bayang-bayang utang.

“Aku... aku ingin melihatnya, Leon,” kata Lana, jujur. "Aku ingin melihat apakah kamu benar-benar bisa berubah. Aku ingin melihat apakah kita bisa membangun sesuatu yang sehat. Aku tidak akan memaksakan diri, dan kamu juga tidak boleh memaksaku untuk semua yang kamu mau.

Leon mengangguk cepat, seolah takut Lana akan berubah pikiran. “Aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu. Aku akan belajar mencintaimu dengan cara yang benar. Dengan mempercayaimu. Dengan membiarkanmu terbang.”

Ia meraih kalung kupu-kupu yang Lana kenakan, menyentuhnya dengan ujung jarinya. “Kupu-kupu ini... dia akan terbang bebas. Dan aku akan membiarkannya. Tapi aku akan selalu berharap dia kembali padaku dengan kemauannya.”

Lana tersenyum, senyum yang tulus dan penuh harapan. “Aku akan kembali padamu,Leon. Jika kamu menunjukkan perubahan itu padaku.”

Itu bukan sekadar pernyataan cinta yang meluap, melainkan sebuah janji yang diukir dalam kepedihan dan harapan. Janji untuk mencoba, janji untuk menyembuhkan, janji untuk memberikan kesempatan pada sebuah babak baru yang tidak terduga.

Hari-hari berikutnya menjadi sebuah melodi yang baru bagi Lana dan Leon. Mereka mulai berkencan, bukan lagi pertemuan rahasia atau paksaan yang memberatkan, melainkan kencan-kencan sederhana yang diisi dengan percakapan panjang, tawa renyah, dan upaya tulus untuk saling mengenal tanpa bayang-bayang masa lalu yang kelam. Leon belajar tentang hobi Lana yang sederhana, impiannya yang kadang terlupakan, dan bahkan mendengarkan keluh kesahnya tentang pekerjaan dengan perhatian penuh. Lana, di sisi lain, mulai melihat sisi Leon yang belum pernah ia ketahui, pria yang cerdas dan visioner, memiliki selera humor yang tersembunyi, dan yang paling penting, pria yang gigih berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Arvino tetap menjadi sahabat setia Lana, sebuah kehadiran yang menenangkan dan tak tergantikan. Ia tidak pernah menghakimi keputusan Lana, justru memberikan dukungan dan pengertian. Sesekali, ia akan makan siang bersama Lana, menanyakan kabar dengan mata yang meneduhkan, dan memastikan Lana baik-baik saja. Hubungan persahabatan mereka tetap utuh, menjadi fondasi kuat yang Lana butuhkan di tengah gejolak hubungannya dengan Leon yang masih dalam tahap awal penyembuhan.

Suatu sore, saat Lana dan Leon menikmati makan malam di sebuah restoran sederhana di sudut kota Sukabumi, jauh dari hiruk pikuk kemewahan, Leon meraih tangan Lana. Tatapannya serius, namun di dalamnya terpancar ketenangan yang baru. “Lana,”.katanya, suaranya bergetar sedikit. “Aku punya satu hal lagi yang ingin aku katakan.”

Lana menatapnya, ada sedikit rasa gugup yang menjalar di hatinya.

“Aku sudah memutuskan untuk tidak lagi bergantung pada nama Hartono,” kata Leon, matanya menunjukkan tekad yang membara. “Aku akan mendirikan perusahaanku sendiri. Sebuah perusahaan yang dibangun di atas prinsip yang berbeda. Lebih transparan, lebih etis, dan yang terpenting, dibangun dengan tanganku sendiri, bukan bayangan ayahku yang menghantui.”

Lana terkesiap, nafasnya tertahan. Ini adalah langkah yang sangat besar, sebuah deklarasi kemerdekaan yang sesungguhnya dari masa lalu Leon yang kelam. Ini adalah Leon yang ia harap bisa ia temukan.

“Aku ingin kamu menjadi bagian dari itu, Lana,” lanjut Leon, genggaman tangannya mengerat, namun tanpa paksaan. “Bukan sebagai istri kontrak. Bukan milikku. Bukan beban.”

"Tapi sebagai partner. Sebagai dirimu sendiri,dengan semua kemampuan, keyakinan, dan kehebatan yang kamu punya. Bersama, kita bisa bangun sesuatu yang kuat dari dasar bersama-sama."

Lana merasakan dadanya menghangat. Hangat yang merambat naik, memenuhi pelupuk matanya dengan air yang hampir jatuh.

Ini bukan sekadar tawaran kerja. Ini pengakuan dari dalam hati.

Pengakuan bahwa dirinya berharga. Bahwa ia punya kekuatan. Bahwa potensinya nyata dan layak dipercaya.

Dan lebih dari itu,ini adalah ajakan untuk menata masa depan, bukan sendiri, tapi bersama-sama.

"Aku ingin membangun masa depan yang baru, Lana," kata Leon, menatapnya dalam-dalam, matanya penuh harapan. "Dan aku ingin kamu ada di masa depan itu. Bersamaku. Jika kamu... mau."

Mata Lana berkaca-kaca. Perjalanan mereka masih panjang, dan luka masa lalu tidak akan hilang begitu saja. Tapi dengan tawaran ini, Leon menunjukkan bahwa ia tidak hanya berusaha sembuh, tetapi juga ingin membangun sesuatu yang baru bersamanya, dengan pondasi yang jauh lebih kokoh dari sebelumnya. Ini adalah babak baru, bukan hanya untuk Leon, tetapi juga untuk Lana. Sebuah langkah awal yang baru, di mana kebebasan dan cinta, akhirnya, bisa berjalan beriringan.

Bagaimana Lana akan menjawab tawaran Leon ini, tawaran untuk menjadi partner dalam perusahaan barunya dan sekaligus dalam membangun masa depan bersama? Dan tantangan apa lagi yang mungkin menanti mereka di babak baru kehidupan ini?

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!