“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesuatu Yang disembunyikan
Keesokan paginya, setelah semalaman tak terlelap, Renaya keluar dari kamar saat jam menunjukkan pukul enam. Saat hendak menuju kamar mandi, pandangannya tanpa sengaja tertumbuk pada kamar Sandrawi yang pintunya terbuka sedikit.
Dengan tatapan sendu, ia melangkah perlahan, menyambangi kamar itu, lalu duduk di tepi ranjang milik adiknya. Sudah tiga hari berlalu sejak kepergian Sandrawi, namun hatinya belum sepenuhnya menerima kenyataan itu. Seolah Sandrawi masih ada, hadir di dekatnya.
“Sebenarnya, siapa yang menulis surat itu, Ratri? Jika bukan kamu yang menulisnya, apa berarti ada yang sengaja membunuhmu? Atau kau dipaksa seseorang untuk mengakhiri hidupmu sendiri?” bisiknya lirih, jari-jarinya menyentuh sprei dingin.
Renaya menghela napas panjang. Ada sesuatu yang ganjil dalam kematian Sandrawi, tapi ia tak mampu mengurai apa sebenarnya keanehan itu.
Setelah itu, ia berdiri, menutup pintu kamar adiknya dengan pelan, kemudian melangkah menuju kamar mandi seperti niat awalnya. Namun, tatkala hendak ke kamar Ratih, langkahnya terhenti dihadang oleh Kinasih. Wajah perempuan itu penuh ketidaksenangan, tangan tersilang di dada.
“Mau apa kamu?” tanya Kinasih dengan nada tajam.
Renaya mendecakkan lidah. “Apa sih? Bukan urusanmu, Mbak.”
“Jelas urusanku kalau menyangkut Ibu. Mau ke kamar Ibu buat ngapain? Kasih tahu soal semalam, ya?”
Renaya mengernyit. “Jadi Mbak tahu kalau semalam Bapak bawa masuk perempuan itu? Kenapa diam saja?”
“Ssst! Jangan keras-keras,” Kinasih mendelik, menyilangkan jari di depan bibirnya. Ia menarik tangan Renaya ke dalam kamarnya agar pembicaraan tak terdengar Ratih. “Jangan sekali-kali bahas ini di depan Ibu. Apalagi sampai kasih tahu!”
“Kenapa aku nggak boleh kasih tahu Ibu?” Renaya semakin bingung. Baskoro terang-terangan membawa perempuan lain ke rumah. Mana mungkin ia membiarkan Ratih tidak tahu kelakuan ayah mereka.
“Kamu gila mau kasih tahu Ibu?!” Kinasih malah menentang keras niat Renaya. “Jangan kasih tahu Ibu soal ini, Ren!”
“Maksud Mbak apa? Jadi aku harus diam saja lihat Bapak selingkuh terang-terangan begitu?” Renaya tak kuasa menahan amarah.
Kinasih menarik napas panjang. “Intinya, pura-puralah nggak tahu. Pura-pura nggak lihat apa-apa.”
Renaya terkekeh sinis. Rasanya Kinasih malah membela perselingkuhan ayah mereka.
“Nggak lihat apa-apa gimana? Jelas-jelas Bapak selingkuh begitu terang-terangan!”
“Aku tahu, tapi sudahlah. Mending kita jangan ikut campur urusan rumah tangga Ibu dan Bapak,” balas Kinasih, membuat darah Renaya mendidih.
“Mbak Kinasih ini gimana sih? Mbak tega lihat Ibu diselingkuhi begitu?!” bentak Renaya, amarahnya semakin membuncah.
“Kamu dengar baik-baik, Renaya. Untuk sekarang, lebih baik kamu diam saja. Jangan memperkeruh keadaan. Kesehatan Ibu bisa makin memburuk kalau kamu ikut campur seperti ini,” jawab Kinasih, matanya tajam menatap Renaya.
Renaya mendengus geram. “Mbak dikasih apa sih sama perempuan jalang itu, sampai belain dia setengah mati?!”
“Renaya! Jaga mulutmu! Jangan pernah sebut Saras seperti itu di depan Ibu!” Kinasih menceloskan tatapan menusuk.
Renaya tertawa hambar. “Kalian semua sudah gila, tahu nggak?! Semua orang bela dia! Aku nggak habis pikir kenapa Mbak Kinasih malah mendukung Baskoro buat selingkuh.” Ia menggeleng pelan, getir.
Kinasih mengembuskan napas panjang, menahan diri. “Terserah kamu mau bilang apa. Yang jelas, jangan pernah singgung soal ini di depan Ibu. Aku nggak mau lihat kesehatan Ibu makin drop.”
Renaya mengacungkan dagu. “Menurut Mbak, kalau aku diam saja kesehatan Ibu bakal membaik? Ini cuma bom waktu, Mbak!”
Kinasih melotot, suaranya meninggi, “Terus kamu maunya apa, Renaya? Mau kasih tahu Ibu sekarang, bikin dia makin hancur?! Kamu lupa gimana kondisi Ibu kemarin waktu kehilangan Sandrawi?!”
Renaya mendadak terdiam. Bayangan wajah Ratih yang menangis meraung-raung, pingsan berkali-kali, dan nyaris tak sadarkan diri terlintas di benaknya. Renaya pun tak sanggup membayangkan bagaimana jika dirinya berada di posisi sang ibu, yang harus menemukan putri bungsunya sudah tak bernyawa.
Namun, semarah apa pun Kinasih, Renaya tak bisa diam saja. Tidak setelah melihat Baskoro dengan Saras di dalam rumah. Tidak setelah semua batas sudah dilanggar.
“Aku tetap akan kasih tahu Ibu,” desis Renaya. Ia menepis cekalan Kinasih di lengannya dan berbalik menuju kamar Ratih.
Kinasih sigap mengejar, menarik lengan Renaya sebelum sempat mengetuk pintu kamar sang ibu. “Jangan berani-berani sentuh pintu Ibu!” desis Kinasih, matanya membara.
Dorongan keras membuat punggung Renaya menghantam tembok. Ia meringis kesakitan, menatap Kinasih dengan sorot tak percaya. “Mbak sudah gila! Mbak mau lihat Ibu dibohongi terus? Ibu berhak tahu!”
Kinasih melipat tangan di dada, wajahnya dingin. “Selama ini aku masih sabar sama kamu karena Ibu. Tapi kalau kamu nekat, aku nggak akan segan usir kamu dari rumah! Mulut kamu nggak bisa dijaga, Renaya!”
Renaya bergetar menahan emosi. “Mbak sudah terlalu buta buat lihat siapa sebenarnya yang merusak keluarga ini!”
Ketika pertikaian memanas, suara pintu kamar berderit pelan. Baskoro keluar dengan wajah masih setengah mengantuk. “Apa ini ribut-ribut pagi-pagi? Mau bikin Ibu bangun?” suaranya parau.
“Nggak ada apa-apa, Pak,” jawab Kinasih cepat.
Renaya menepis lengan Kinasih, matanya berapi-api. “Mana Ibu?! Aku harus kasih tahu tentang kelakuan Bapak semalam!”
Baskoro menghadang, suaranya datar. “Jangan ganggu Ibumu. Semalam dia terbangun, nangis ingat Sandrawi. Baru bisa tidur menjelang subuh. Kamu tega bangunin dia?”
Kata-kata Baskoro menampar sisi lain dari hati Renaya, membuatnya goyah sejenak.
“Tuh, dengar sendiri ‘kan?! Mau Ibu nyusul Sandrawi?!” Kinasih menimpali cepat.
Renaya mengepalkan tangan kuat-kuat, matanya menyala marah. Ia melangkah pergi, menahan semua sumpah serapah di tenggorokan.
Dalam langkah menuju kamar Sandrawi, pikirannya mengeruh. Satu misteri belum selesai kematian Sandrawi, kini harus ditambah kenyataan bahwa Baskoro berselingkuh terang-terangan.
Renaya menarik napas panjang. Dulu, Sandrawi selalu berusaha meluruskan perilaku Baskoro, tak seperti Kinasih yang selalu jadi benteng pembela.
“Jangan-jangan... Bapak ada kaitannya dengan kematian Sandrawi?” pikirnya lirih.
Kepala Renaya semakin berat, pikirannya berputar-putar. Andai bukan karena Ratih dan Sandrawi, ia takkan pernah sudi menginjakkan kaki lagi di rumah ini.
“Tidak... aku harus cari tahu. Tanpa harus dengar dari Bapak,” batinnya membulatkan tekad.
Matanya menyapu seisi kamar Sandrawi. “Ponsel Sandrawi...” bisiknya tajam.
Renaya baru sadar sejak kematian adiknya, ponsel Sandrawi seakan hilang ditelan bumi. Bahkan polisi yang datang tak menyerahkan ponsel itu sebagai barang bukti.
Ia mulai membongkar sudut kamar, membuka laci demi laci, rak buku, lemari, bahkan bawah kasur. Namun, hasilnya nihil. Renaya menggertakkan gigi, “Mana sih?!”
Gagasan cepat muncul. Ia mengambil ponselnya, langsung menghubungi nomor Sandrawi.
Dering pertama... kedua... tak terdengar di kamar itu. Renaya mengernyit, melangkah keluar ke ruang tamu. Telinganya menangkap suara samar dering ponsel dari arah yang tak terduga.
Ia mempererat genggaman ponselnya, mengikuti suara yang makin jelas terdengar dari dalam kamar Adibrata.