Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Kapal Berlayar
Setelah pulang dari rumah sakit, Radit mengajak Rumi duduk di taman belakang. Malam terasa sejuk. Langit cerah, penuh bintang. Suara jangkrik jadi latar yang menenangkan.
Rumi duduk berselonjor di bangku taman, menggenggam mug berisi cokelat panas yang tadi Radit buat khusus untuknya.
"Aku nggak bisa masak yang aneh-aneh. Tapi bikin cokelat kayak gini, aku jago."
Rumi menahan senyum, matanya masih sedikit bengkak tapi sudah mulai reda.
"Mas Radit kayak punya seribu cara buat nenangin aku, ya."
"Hm, seribu belum cukup. Aku bakal cari seribu lagi kalau itu bisa bikin kamu senyum terus."
Rumi akhirnya tertawa kecil. Pelan, hangat.
"Terima kasih, Mas."
Tatapan Radit berubah. Senyum itu masih sama—tulus dan lembut, tapi kini ada ketegasan yang baru. "Aku bakal terus di sini, Rum. Nemenin kamu. Nggak peduli seberapa sulit jalan kamu nanti, aku akan tetap ada."
Rumi tak langsung menjawab. Bukan karena takut, tapi karena hatinya perlahan mulai percaya. Mungkin, untuk pertama kalinya, perasaan ini benar-benar nyata.
"Cuma kamu yang bisa bikin aku ngerasain ini lagi, Rum. Rasa yang sempat hilang—sekarang pulang. Aku pernah terluka, dulu. Pernikahan yang gagal bikin aku berpikir semua wanita itu sama. Tapi kamu enggak. Kamu beda."
Rumi mendengarkan. Sunyi. Tapi jantungnya riuh, apalagi saat Radit mendekat dengan pelan.
Tiba-tiba, Radit menggenggam tangannya. Lalu dengan lembut, menaruh tangan itu di dadanya. Hangat. Degupnya terasa.
Dan Rumi tahu, debar di dadanya sendiri tak jauh beda.
Mereka tak butuh kata-kata. Hanya saling pandang, sejenak, dalam diam yang mengerti. Pelan, tapi pasti, rasa itu menguat.
Dalam pejaman mata, napas mereka menyatu. Sama-sama gugup, sama-sama yakin.
...****************...
Pagi menyelinap pelan lewat celah gorden. Cahaya keemasan jatuh tepat di wajah Rumi saat ia perlahan membuka mata. Rasanya hangat. Lebih hangat dari biasanya.
Pelan-pelan, ia menyadari—ini bukan kamar sendirian lagi.
Radit masih terlelap di sebelahnya. Wajahnya tenang, nyaris tanpa beban. Dada bidang itu naik-turun pelan, dan lengan hangatnya masih melingkar di pinggang Rumi, erat, seolah enggan melepaskan.
Untuk pertama kalinya, Rumi benar-benar menyadari. Ini nyata. Ia telah menjadi istri dari lelaki ini. Dan pagi ini, mereka terbangun dalam pelukan.
Ia menatap wajah Radit dalam diam. Ada perasaan baru yang perlahan tumbuh di dadanya. Bukan hanya cinta, tapi ketenangan—rasa memiliki yang tidak terburu-buru.
Tanpa sadar, jemarinya menyentuh pipi Radit, lembut.
Dan seolah merasakan sentuhan itu, Radit membuka mata.
Tatapan mereka bertemu.
Seketika, senyum itu muncul, masih setengah mengantuk, tapi tulus.
"Selamat pagi, Istriku," gumam Radit, suaranya serak karena baru bangun. Tangannya mempererat pelukan.
Rumi terdiam, senyumnya mengembang perlahan. "Pagi, Mas."
"Dari tadi liatin aku, ya?" godanya pelan.
Rumi memalingkan wajah, malu. Tapi Radit menariknya kembali, menempelkan dahi mereka. "Jangan pergi, ya."
Rumi hanya mengangguk, karena hatinya tahu, dia tak ingin ke mana pun. Hanya di sini, bersamanya.
Masih dalam pelukan hangat Radit, Rumi nyaris enggan bangun. Tapi aroma pagi dan kenyataan bahwa ini hari baru membuatnya akhirnya bergerak pelan.
"Aku ke dapur dulu, Mas," bisiknya.
Tapi Radit malah menariknya lagi. "Lima menit lagi. Aku belum siap lepasin kamu."
Rumi terkikik pelan. "Nanti Mas kesiangan."
"Biarin. Hari ini aku cuma mau kerja jadi suami kamu."
Rumi menggeleng, senyumnya susah disembunyikan. Akhirnya, ia berhasil berdiri dan melangkah keluar kamar, masih dengan rambut sedikit berantakan dan pipi yang merona.
Beberapa menit kemudian, aroma teh dan roti panggang mengisi udara. Radit muncul dari balik pintu kamar, mengenakan kaus putih dan celana tidur, dengan rambut yang belum sepenuhnya rapi.
Ia benar-benar merealisasikan niatnya. Hari ini, ia hanya akan bekerja sebagai suami Rumi, bukan CEO di perusahannya.
Dia berjalan pelan ke belakang Rumi, lalu melingkarkan tangan di pinggang istrinya.
"Hm, istri aku cantik banget," bisiknya di dekat telinga.
Rumi tersentak kecil, lalu tertawa. "Mas Radit, jangan ganggu.
"Tapi aku suka gangguin kamu," jawabnya dengan senyum nakal.
Mereka makan berdua, duduk berhadapan sambil sesekali saling suap roti. Tak ada percakapan berat. Hanya candaan ringan, tawa kecil, dan tatapan-tatapan yang tak perlu dijelaskan.
Untuk pertama kalinya, rumah itu terasa penuh. Dan Rumi sadar, inilah rumah yang sesungguhnya—bukan karena temboknya, tapi karena orang yang duduk di hadapannya kini adalah suaminya.
Biarpun Radit tidak ke kantor hari ini, beberapa pekerjaan mendesak tetap harus ditangani olehnya sendiri.
Di sinilah Radit sekarang. Di dalam ruang kerja dengan layar laptop terbuka.
Rumi menyusul Radit sambil membawakan segelas kopi pahit. Entah mengapa, ruangan ini mengingatkannya akan foto lama istri Radit yang pernah ditemukan olehnya.
Rumi kembali mengambil kotak kayu tersebut dalam lemari buku. Membuka pelan, memperlihatkan kenangan masa silam.
Radit yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya melihat Rumi memegang kotak itu.
Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya mendekat. "Kamu nemuin itu, ya?"
Rumi menatapnya. "Ini kenangan kamu sama dia?"
Radit menarik napas, lalu membawa Rumi ke kursi kerja dan mendudukkan wanita itu di atas pangkuannya.
"Iya," jawabnya jujur. "Kotak itu tempat aku simpen bagian hidup yang sempat rusak. Aku pikir aku harus buang semua, tapi ternyata aku belum bisa. Bukan karena masih sayang. Tapi karena itu bagian dari prosesku."
Rumi menutup kotak itu perlahan. "Aku nggak akan suruh Mas buang. Tapi aku cuma mau tahu, aku bisa nggak, jadi penyembuh yang baru buat Mas?"
Radit menatapnya. Mata itu tak ragu. "Kamu udah jadi penyembuhnya, Rum. Dari hari pertama kamu menyebut namaku tanpa nada curiga."
Rumi menunduk. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia menahan. Ia lalu menepuk pelan bahu suaminya.
"Udah, ah. Suasana hati Mas mulai berat lagi."
"Habisnya kamu bikin mellow, sih," balas Radit, senyum tipis.
Rumi berdiri. "Biar semangat lagi, gimana kalau kita masak makan siang bareng?"
"Masak? Kan ada ART, Sayang."
Rumi berdecak, lalu menggeleng. "Biar kita aja, Mas. Mau nggak? Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali, lho."
Radit tertawa menanggapi candaan istrinya.
Rumi menarik tangan suaminya ke dapur. "Hari ini, kita duet. Chef Rumi dan asisten Mas Radit."
"Lho, kenapa aku cuma asisten?"
"Soalnya kalau masakannya gagal, bisa aku salahin kamu."
Radit mengangkat tangan. "Siap, Chef!"
Dan seperti itu, suasana rumah kembali ringan. Tawa mereka terdengar sampai ke dapur, bersatu dengan aroma bawang tumis dan harapan baru.
"Mas, potong wortelnya tipis-tipis ya, jangan tebal kayak tembok tetangga," ujar Rumi sambil sibuk mencuci bayam.
Radit menatap wortel dan pisaunya. "Tebal tipis itu relatif, Rum. Buat kamu mungkin tebal, buat aku ini udah seni."
"Mas Radit, ini dapur, bukan galeri lukisan," sahut Rumi geli.
Radit tertawa, lalu pura-pura menggigit wortel mentah. "Kalau gini, kita gak usah masak aja. Kita makan mentahan berdua."
"Boleh, tapi kamu tidur di luar malam ini."
"Enggak jadi. Aku nurut, Chef."
Rumi mengaduk tumisan di wajan, sementara Radit diam-diam mengambil sejumput garam, dan menjentikkannya ke arah istrinya. Rumi menoleh cepat.
"Mas!"
"Ups, bumbunya tumpah."
"Berani-beraninya!" Rumi mengambil sedikit tepung dari mangkuk dan menepukkan ke pipi Radit.
"Deklarasi perang, nih!" teriak Radit sambil tertawa lepas.
Mereka tertawa sambil kejar-kejaran kecil di dapur. Dapur yang awalnya rapi berubah jadi sedikit berantakan, tapi tak ada yang peduli.
Para asisten rumah yang bekerja, kompak menjauh. Mereka tak berani mendekat, hanya tertawa-tawa kecil dari kejauhan.
Setelah suasana reda, mereka duduk berdua di meja makan. Radit menyuapi Rumi satu sendok nasi goreng buatan mereka.
"Rasanya kayak ... rumah," ujar Radit pelan.
Rumi menatapnya. "Maksudnya?"
"Rumah yang sebenarnya. Tempat yang bikin aku betah pulang."
Rumi tersenyum. "Kalau gitu, pastikan kamu gak pernah pergi terlalu jauh."
Radit mengangguk. "Aku gak akan ke mana-mana. Rumahku di sini. Di kamu."
Mereka makan dalam diam yang nyaman. Sesekali saling suap, sesekali saling pandang. Tak perlu kata manis berlebihan, karena rasa sudah bicara lebih dulu.