Menikahi Calon Suami Kakakku

Evan bangkit dari atas tempat tidur Nesya dan segera mengenakan kembali pakaiannya secara sembarangan, seluruh tubuhnya berkeringat setelah membuat Nesya terbaring lemah tak berdaya.

“Aku membencimu, Evan.” Suara lirih dari Nesya terdengar sangat pelan. Bukan hanya suara yang lemah namun seluruh badan Nesya juga sudah tak mampu lagi di gerakkan olehnya.

Evan yang baru selesai mengenakan pakaian sambil membelakangi Nesya itu sedikit melirik ke arah samping untuk mengatakan sesuatu. “Pelayan akan mengganti makananmu dengan yang baru, kamu harus makan agar memiliki energi untuk bisa melarikan diri dari sini. Lagi pula, aku tak suka meniduri tubuh yang lunglai seperti seonggok mayat.” Setelah berkata pedas seperti itu, Evan segera beranjak meninggalkan ruangan itu sekaligus meninggalkan Nesya yang masih berbaring dengan tubuh yang tak di tutupi apapun.

Bagi Nesya, Evan merupakan seorang lelaki gila yang tidak mempunyai hati. “Dan dia hanya berani pada seorang gadis sepertiku, Evan lihat saja nanti, aku akan membuatmu menyesali perbuatanmu padaku.” Kedua tangan Nesya meremmas kuat pada alas tempat tidur berwarna putih itu. Tak lama kemudian dia pun kembali terlelap.

***

“Apakah kamu tidak terlalu kejam pada gadis itu, Evan?” tanya Farrel, salah satu teman sekaligus tangan kanan Evan. Pagi itu, seperti biasa dirinya datang ke villa untuk menjemput Evan sebelum berangkat ke kantor, penampilan Evan yang berantakan itu langsung membuat Farrel berspekulasi tentang Nesya yang di perlakukan tak baik oleh temannya itu.

“Apa maksudmu, jangan konyol,” sahut Evan yang terus berjalan cepat melewati tubuh Farrel lalu masuk ke dalam mobil.

Farrel pun hanya bisa geleng-geleng kepala saja, sifat Evan memang terkadang kasar jika sedang dalam emosi yang tidak stabil. Itulah yang dia khawatirkan, sebab bisa saja Evan berbuat kasar pada Nesya, si istri yang malang itu. Baik dia maupun Evan dan satu orang lagi teman mereka bernama Ian, mereka bertiga sudah mengetahui tentang Nesya yang di tukar menjadi pengantin wanita Evan. Sehingga saat Farrel melihat penampilan Evan yang acak-acakan sehabis mengunjungi menara itu, membuatnya kurang suka.

“Bagaimana situasi pagi ini?” Evan mulai bertanya ketika Farrel baru saja mendudukkan bokongnya di kursi kemudi.

Sambil membenarkan posisi kaca spion bagian tengahnya itu Farrel pun menjawab, “Rubah hamil itu sedang berada disini, tepatnya di bagian kiri jalan ini. Sepertinya dia masih berniat untuk menemui adiknya.”

Evan tersenyum miring saat membayangkan wajah kekalahan dari Narra, yang mereka sebut dengan rubah hamil. “Dia berpikir untuk bisa mengelabui ku, sayang sekali,” desisnya.

Saat mobil sport itu mulai melaju, Evan sempat melirik ke jendela mobilnya ketika mereka mulai melewati jalan besar yang mengarah ke jalan raya. Terdapat sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari pinggir jalan tersebut yang ia yakini merupakan mobil milik Narra, mantan calon istri Evan sebelum di tukar dengan Nesya.

“Evan, mengenai Nesya, kurasa kita sudah sepakat untuk tidak mengusiknya.” Farrel membuka suara sembari fokus mengemudi.

“Apa maksudmu?” Tanya Evan yang juga fokus menatap lurus ke depan.

Farrel pun melirik ke arah pakaian Evan yang berantakan itu. “Bukankah kita telah sepakat untuk tidak mengusik gadis itu? Kurasa kamu sudah melanggarnya. Masalahmu hanya dengan Narra, bukan?”

“Cih, aku sudah menikahinya kalau kamu lupa. Sehingga apapun yang akan aku lakukan dengan istri sah ku bukanlah hak mu untuk melarangnya,” sahut Evan dengan penekanan, entah mengapa dia jadi tak suka ketika Farrel mengingatkan dirinya tentang kesepakatan mereka beberapa waktu yang lalu.

Kedua tangan Farrel mencengkeram erat kemudi yang ia pegang, tanpa bisa melawan Evan karena apa yang dia ucapkan memanglah benar, bahwa Nesya saat ini adalah istri yang Evan nikahi secara sah.

Flashback On.

Sepuluh bulan yang lalu terdengar berita yang mengguncang keluarga Maris, putra pertama bernama Erwin Maris di beritakan telah menjadi korban pembacokkann. Dia di temukan di pinggir jalan raya bersama seorang gadis yang di sinyalir merupakan kekasihnya, yaitu Narra. Sayangnya sang penerus kerajaan bisnis tersebut sudah dalam keadaan tak bernyawa.

Narra yang dalam keadaan pingsan di sisi jasadd Erwin pun segera di rawat di rumah sakit yang sama dengan Erwin, akan tetapi Erwin di nyatakan meninggal dunia di hari yang sama sehingga jasaddnya langsung di bawa kerumah duka sedangkan Narra masih harus menjalani pengobatan karena mentalnya yang masih dalam keadaan syok. Polisi pun masih kesulitan melakukan interogasi kepada Narra sebagai satu-satunya saksi yang berada di tempat kejadian perkara. Saat sudah membaik dua hari kemudian, Narra mengaku tidak tahu apapun sebab dirinya juga menjadi korban hingga di buat pingsan oleh orang-orang yang tidak dia kenal. Akhirnya entah bagaimana pihak kepolisian menyimpulkan bahwa Erwin Maris meninggal sebagai korban begall.

Keberadaan Evan saat itu masih di luar negeri, dia memiliki kesibukan sendiri dalam menjalankan bisnis bersama tiga orang temannya yaitu Farrel dan Ian. Perusahaan yang mereka dirikan itu tidak berhubungan dengan perusahaan milik keluarga Evan melainkan murni atas kerja keras mereka bertiga, terutama dirinya selaku pemimpin. Dirinya baru saja putus cinta dengan kekasihnya bernama Fira Massayu, dan itu cukup mempengaruhi pikirannya, maka ketika kakaknya di kabarkan meninggal dunia, dia pun memutuskan untuk pulang ke ibu kota Jakarta.

Di hari pemakaman sang kakak, Evan berdiri di samping jasadd Erwin yang sudah di mandikan, wajah lelaki itu sangatlah tampan berbeda usia dua tahun dari Evan. Mereka berdua jarang berkomunikasi karena berbeda prinsip, Erwin yang selalu ingin merangkul sang adik untuk bisa menjalankan bisnis keluarga bersama-sama sedangkan Evan masih ingin memilih jalan lain. Hal itu pun menjadikan mereka tak bertemu selama bertahun-tahun.

“Cih, sekalinya bertemu kamu sudah sejelek ini, kak.” Evan bergumam seolah sedang berbicara dengan sang kakak yang terbujur kaku.

Meski jarang bertemu, namun keduanya tak pernah terlibat pertikaian bahkan saling mendukung satu sama lain.

“Jika perusahaanmu sudah semakin besar, kembalilah dan bantu aku. Sebab jika sendirian, otakku ini tidak akan mampu tanpa otak cerdasmu itu.”

Kata-kata itu pernah di ucapkan oleh Erwin kepada Evan dan membuatnya teringat kembali. “Padahal kamu tidak harus mati dahulu jika memang ingin aku gantikan.” Evan terkekeh menatap wajah pucat sang kakak yang terpejam, namun ada rasa sakit di balik itu apalagi ketika dirinya sempat melihat foto dari tubuh Erwin yang terlihat mengenaskan.

Bagian dada kiri Erwin terkoyak seperti di tikam bekali-kali menggunakan senjata tajam, bahkan lukanya tembus hingga ke punggung belakangnya. Ini sangatlah aneh, mengingat sang kakak selalu membawa pengawal kemanapun ia pergi, lalu kemana mereka semua?

Pada hari kedua berkabung Evan bertemu dengan Narra, seorang gadis cantik yang selama dua tahun menjadi kekasih sang kakak dan juga berada di lokasi kejadian ketika Erwin meregang nyawa.