Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 9
Langit sudah terang benderang, matahari bersinar cukup tinggi ketika mobil BMW 7 Series membelah padatnya kota Jakarta. Padahal Darren tidak sempat memilih waktu paling senggang agar terhindar dari macet. Namun beruntung, jalanan pagi itu masih bisa ditoleransi.
Fokus pada kemudi beserta Jalan memanjang di depan adalah kewajibannya sebagai supir, sementara Viena duduk di kursi belakang, bersedekap saat pandangannya tertuju ke luar jendela. Embun menempel di kaca, seolah ikut menahan kata-kata yang belum terucap sedari tadi.
Keheningan itu bertahan hampir dua puluh menit. Rasanya topik pembicaraan sukar ditemukan kala itu.
“Semalam hujan deras,” ujar Darren.
“Hm.”
“Kamu… tidur cukup?”
“Cukup,” jawab Viena datar, tanpa melihat ke spion tengah di mana mata mereka bisa bertemu. Gadis itu lebih memilih berfokus pada motor yang mengiringi laju mobil mereka. Entah bagaimana ceritanya, pertemuannya dengan Darren masih terasa begitu canggung. Ini benar-benar membuat gadis itu frustasi dalam diamnya.
“Aku sempat mikir kamu bakal batal berangkat.”
“Aku hampir aja batal.” Entah kenapa Viena menyesal bernada ketus.
“Kenapa?”
“Nggak tau.” Viena sempat mandek. “Rasanya kayak capek banget padahal semalem nggak begadang.”
Darren melirik dari kaca spion. “Mungkin kamu kebanyakan mikir.”
“Mungkin.”
Kemudian canggung lagi. Hanya ditemani mesin mobil yang beradu dengan riuh klakson. Begitu terus, sampai beberapa menit kemudian, Darren menarik napas lelah, mencoba membuka topik yang lebih tepat. Pemuda itu seakan lebih mengetahui isi hati Viena.
“Kamu kan sempet denger obrolanku sama Saviero waktu di pesta itu. Tentang band yang aku kelola.”
“Midnight Alter, kan?” Viena melirik ke spion tengah. “Aku denger kamu sebut nama itu.”
Darren mengangguk, agak terkejut karena Viena masih ingat. “Iya. Studio-nya masih aktif. Kita lagi butuh orang tambahan, sebenernya.”
“Orang tambahan buat apa?”
“Hmm… ,” Darren berpikir sejenak, jemarinya bermain-main di setir mobil. “Kalau aku boleh jujur, posisi kosongnya cuma bagian kebersihan. Tapi, ya sementara aja. Biar kamu bisa kenal tempatnya dulu.”
Viena menaikkan alis. “Kebersihan?”
“Iya. Tapi bukan kayak cuma jadi tukang pel, ya.” Darren buru-buru menambahkan. “Lebih ke bantu urus area studio, alat, kabel, kamar rekaman. Gajinya lumayan.”
Dia melirik lagi lewat kaca spion, takut melihat ekspresi tersinggung. Tapi beruntung wajah Viena tetap tenang, walaupun sulit sekali menemukan tatapan Viena ke arahnya.
“Nggak apa-apa,” ucap gadis itu. “Kerja apapun nggak masalah. Aku nggak nyari gengsi.”
Darren sempat terdiam, tak menyangka jawaban itu keluar begitu mudahnya. Padahal semalaman dia kepikiran kalau hanya bisa menawarkan pekerjaan ini pada Viena setelah gadis itu membantunya di pesta adiknya dengan sepenuh hati dan misi malam itu bisa dibilang lebih baik dari yang Darren takutkan sebelumnya. Jauh lebih baik.
“Ya udah. Tapi tenang aja, aku janji gajinya bakal cukup. Buat makan, transport, buat keperluan kamu, sama—”
“Gaji berapapun kayaknya nggak bakal cukup,” tukas Viena sambil tersenyum miring. Kali ini berhasil membuat Darren menoleh ke belakang secara langsung beruntung mobil sedang berhenti di lampu merah.
“Hah? Kok gitu?”
“Soalnya aku masih harus ganti harga diriku yang rusak gara-gara pesta itu.”
Darren hampir tersedak, lalu tertawa geli entah kenapa dia puas banget melihat ekspresi Viena saat ini. “Kamu masih inget itu? Aku pikir udah lupa.”
“Gimana bisa lupa! Baru juga belum ada seminggu, mana disuapin di depan banyak orang. Aku beneran hampir nimpuk kamu pakai piring.”
“Tapi kamu makan juga waktu itu.”
“Karena kalau aku nolak, muka kamu makin jadi bahan omongan. Aku nolongin kamu, tahu.”
Darren mengangkat alis. “Oh, jadi itu bentuk pengorbanan, ya?”
“Banget,” cetus Viena.
“Padahal waktu itu kamu kelihatan lucu banget.”
“Hah? Lucu?” Viena ketara sekali bersungut-sungut. “Aku pakai kacamata tebal, blouse murahan, jeans lawas, dan sepatu kets di pesta kerajaan. Lucu dari mana?”
“Harusnya aku ikut waktu itu, jadi yang pakai kacamata Harry Potter ada dua.” Suara Sita kelewat cempreng. Bersandar malas-malasan di samping Viena lengkap dengan bantal lehernya. Apalagi Darren sudah memanjakannya dengan snack ciki keju jumbo setelah satu porsi nasi uduk pinggir jalan.
Viena spontan tertawa. “Lu di sini buat belain gue, Sitaaa.. bukan malah nyemplung bareng.”
“Itu pengawal pribadimu kamu gaji berapa?” Darren menimpali.
Sita menyipitkan mata setelah mendengar pertanyaan Darren, kala sahabatnya malah lanjut tertawa gaada habisnya. “Lebih tepatnya, teman penegak moral, bukan pengawal pribadi.”
“Tapi serius, Kak,” lanjutnya. “Makasih banget udah dibeliin sarapan. Aku tuh belum sempat makan gara-gara Viena lama banget buat dandan.”
Darren menoleh sekilas, sementara Viena kicep mendengar pernyataan sahabatnya perihal ‘kelamaan dandan’. “Ya, nggak apa-apa,” jelas pemuda itu. “Sarapan itu penting.”
“Terus ciki keju jumbo ini juga penting,” sela Sita dengan penuh syukur. Gadis wibu itu mengangkat bungkusnya seperti mempersembahkan sesajen. “Ini tuh bentuk kasih sayang paling tulus yang bisa diterima manusia di pagi hari.”
Viena mendecak, menatapnya malas. “Lu tuh niat awalnya ikut biar bisa jagain gue, bukan biar disogok makanan.”
“Jagain lu tetep, tapi masa jagain dalam keadaan laper?” balas Sita dengan santainya membuka bungkus berikutnya. “Lu kira gue biksu?”
“Siapa namamu tadi, Sita—”
“Sitarani Ayunda Maharani Dewangkara Putri,” beber gadis itu kala memotong pertanyaan Darren. “Panjang kan?”
“Iya, panjang banget. Napas aku udah habis di Dewangkara.”
“Biasa, keturunan kerajaan,” sosor Viena, pura-pura serius. “Kerajaan Ngawur.”
Lantas Sita menoyor lengannya. “Lu sirik aja, Vi. Nama lu aja yang kalah mewah.”
“Nama gue efisien,” tampik Viena. “Tinasha Putri Viena, gampang diinget, gampang dipanggil. Lu? Butuh tiga kali tarik napas buat ngenalin diri… tiap ujian aja selesai paling akhir.”
“Tapi keren sih, Sita.” Darren mengakui dari balik kemudi, matanya sekilas melirik kaca spion. Pandangannya jatuh ke gantungan di tas selempang milik Sita yang menjuntai di kursi tengah. Sebuah keychain berbentuk kepala tokoh anime dengan penutup mata hitam.“BTW itu Gojo?”
Wajah Sita langsung bersinar. “Wah, kamu nonton Jujutsu Kaisen juga?”
Lantas Viena spontan menoleh secepat yang dia bisa, walau dia tahu sudah terlambat. “Jangan bilang… ,”
Darren meneruskan topik di balik senyuman samarnya, entah sebenarnya pemuda itu sedang fokus memikirkan apa. “Nonton, tapi udah lama. Gojo juga favoritku, sih. Santai, kalem, tapi kuat banget. Mirip aku.”
Sita ngakak. “Ya ampun, pede banget! Tapi aku setuju, Gojo tuh levelnya udah dewa banget… mana ganteng pula.”
“Udah deh, jangan dilanjut.” Viena memutar bola mata, males banget kayaknya. “Kalo udah ngomongin anime, Sita bisa ceramah dua jam gak pake jeda.”
“Lu diem, lu kan nggak ngerti,” tukas Sita cepat.
“Aku ngerti kok,” sela Viena santai. “Ngerti kalau semua cowok anime itu standar keindahan lu yang gak realistis.”
“Setidaknya mereka nggak nyebelin kayak manusia asli,” dengus Sita sambil melotot ke sahabatnya.
“Ya Tuhan,” desah Viena sambil memutar bola matanya. “Sita, misi lu gagal total. Bukannya investigasi cowok ini, malah gabung fandom-nya.”
Darren sendiri terlihat menahan senyumanya di spion. Sejak awal, pemuda itu memang menyarankan Viena untuk membawa satu teman untuk memastikan dirinya bukan penipu. Terlebih apa rencana dua gadis itu, Darren terlihat acuh tak acuh dan menikmati setiap pertengkaran mereka.
“Vi, lu gak ngerti. Ini koneksi spiritual!” balasan Sita tanpa dosa, matanya masih berbinar-binar.
Lantas Viena menyambar sebungkus ciki dari pangkuan Sita. “Koneksi spiritual apaan, ini hasil sogokan!”
“Woi! Balikin, itu melanggar hak asasi manusia!” Sita langsung mencoba merebut kembali.
Darren hanya bisa tersenyum samar melihat kedua gadis di belakangnya saling tarik bungkus ciki seperti anak SD. “Bisa-bisa mobil gue oleng nih.”
Semua tawa itu melebur jadi satu. Seluruh ingatan memuakkan di dalam benak Darren pudar di waktu yang sama. Tak tahu kenapa, tapi pertemuan dengan Viena malam itu terasa seperti sebuah kesalahan yang justru ia syukuri. Bukan karena ingin menunjukkan pada keluarganya bahwa ia sudah mampu berdiri sendiri, bukan pula demi pengakuan apa pun, melainkan sesuatu yang lebih dalam namun sukar untuk diucapkan. Sejak mendengar suara gadis itu untuk pertama kalinya, ada sesuatu di dalam dirinya yang meledak-ledak, lalu terisi oleh rasa baru yang tidak pernah dia kenali sebelumnya. Masalahnya dia tak sedang jatuh cinta atau setidaknya belum? Namun ada daya tarik aneh yang menuntunnya seperti seseorang yang menemukan cahaya di dasar samudra, dan tanpa sadar, rela tenggelam demi memastikan cahaya itu nyata.
Kini mobil mereka telah sampai di lokasi. Sebuah bangunan dua lantai di pojok gang daerah Kemang, Jakarta Selatan. Bangunan itu berdampingan dengan toko alat musik sederhana dan kafe sepi yang papan nama beserta daftar menu utama ditulis dengan kapur warna-warni. Dari luar, studio itu hampir tak mencolok sama sekali. Pintu masuknya dari kaca buram dengan stiker bertuliskan Midnight Alter Studio yang menegaskan bahwa mereka tidak salah gedung.
Saat itu juga Sita merapikan kacamatanya, lalu berbisik tepat di samping Viena. “Ini studio punya orang yang lu bilang punya rumah mirip istana negara?”
Gadis kacamata kedua tentu saja menyimpan pertanyaan yang sama, hanya saja sedikit hiperbola. “Mungkin agar tidak mencolok sebagai tempat perdagangan manusia?”
Beruntung Sita tidak mendengarkan gumaman barusan.