Seri kedua Kau Curi Suamiku, Kucuri Suamimu. (Hans-Niken)
(Cerita Dewa & Fitri)
Masih ada secuil tentang Hans-Niken, ya? Juga Ratu anak kedua Hans.
Pernikahan yang tak diharapkan itu terjadi, karena sebuah kecelakaan kecil yang membuat warga di kampung Fitri salah mengartikan. Hingga membuat Fitri dan Dewa dipaksa menikah karena dituduh melakukan tindak asusila di sebuah pekarangan dekat rumah Fitri.
Fitri berusaha mati-matian supaya Dewa, suaminya bisa mencintainya. Namun sayangnya cinta Dewa sudah habis untuk Niken, yang tak lain istri dari Papanya. Dewa mengalah untuk kebahagiaan Papanya dan adik-adiknya, tapi bukan berarti dia berhenti mencintai Niken. Bagi Dewa, cinta tak harus memiliki, dan dia siap mencintai Niken sampai mati.
Sayangnya Fitri terus berusaha membuat Dewa jatuh cintai padanya, meski Dewa acuh, Fitri tidak peduli.
"Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku, Tuan!"
"Silakan saja! Cinta tidak bisa dipaksakan, Nona! Camkan itu!"
Apakah Fitri bisa menaklukkan hati Dewa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 - Tanda Merah
Dewa melihat Fitri makan dengan lahap pagi ini. Senang sekali melihat istrinya makan masakannya dengan lahap begitu.
“Mau lagi? Nih nasi gorengku dimakan saja,” ucap Dewa.
“Enggak ah, ini sudah cukup,” jawab Fitri.
“Sudah nih aku bagi dua deh, kalau kamu malu mau makan semua milikku?”
Dewa akhrinya membagi nasi miliknya dengan Fitri. Dengan wajah berbinar Fitri menerima itu.
“Pelan makannya, aku gak akan minta,” ucap Dewa lembut.
Mendapat perlakuan manis Dewa pagi ini, Fitri jadi lupa apa yang sudah Dewa perbuat semalam. Fitri juga tidak mau mengingatnya lagi. Biar saja rasa sakit itu perlahan hilang. Karena dirinya sudah terbiasa menahan sakit atas apa yang dilakukan oleh orang yang dia sayangi. Ya, Fitri sudah kebal dengan hal yang menyakitkan sedari kecil. Bahkan dia sering tidak dianggap oleh Bapaknya, dan selalu dibilang anak pembawa sial, dan tidak tahu diuntung.
Bukankah kali ini sama saja? Dia tidak dianggap oleh suaminya? Jadi biarlah semua itu berlalu, dan berjalan apa adanya seperti biasa.
Setelah selesai sarapan, Fitri bergegas untuk membereskan piring dan gelas kotor. Namun, baru saja akan melakukan semua itu, Dewa mencegahnya.
“Kamu duduk saja, biar aku yang membereskan,” ucap Dewa.
“Ini pekerjaan perempuan, Dewa.”
“Ya biar saja, aku sudah terbiasa begini kok?” ucap Dewa.
Fitri menurutinya, daripada ujungnya berdebat dengan Dewa. Mumpung Dewa masih gak konslet juga otaknya, karena pagi ini dia begitu baik sekali padanya.
Fitri mendengar bel pintu depan berbunyi. Dia tahu pasti Tama yang datang pagi ini. Karena biasanya Tama selalu menjemput Fitri untuk berangkat ke restoran bersamanya.
“Siapa yang datang pagi-pagi sekali?” tanya Dewa.
“Paling Tama, mau siapa lagi?” jawab Fitri.
“Kamu sudah hapal sekali sepertinya, kalau jam segini Tama ke sini?” ucap Dewa dengan sedikit cemburu.
“Memang sudah biasa dia ke sini jam segini, biasanya ngantarin sarapan, terus sekalian berangkat ke restoran bareng,” ucap Fitri.
“Setiap hari begitu?” tanya Dewa.
“Iya, setiap hari.”
Dewa langsung bergegas keluar setelah menata piring dan gelas di rak. Ia berjalan dengan cepat keluar, dengan mulut ngedumel. Mengumpat jengkel karena Tama setiap pagi ke rumahnya untuk menemui istrinya.
Boleh dibilang salah, Tama memang salah. Tapi, bisa juga dibilang benar, karena dia peduli dengan Fitri. Fitri di kota ini sendirian, tidak ada saudara, mau siapa lagi kalau bukan Tama yang peduli? Sedangkan suami Fitri tidak pernah di rumah, dan terus mengabaikan Fitri.
Dewa membukakan pintu rumahnya dengan wajah yang terlihat jengkel. “Kamu itu ya, dibilang gak usah .....”
“Idih, buka pintu langsung marah-marah saja sih, Kak? Gak usah apa, Kakak?” ucap seorang gadis di depan pintu rumahnya.
“Putri? Aku kira yang datang .....”
“Kamu kira aku, ya? Mana Fitri?” ucap Tama yang memang dia pun datang pagi ini.
Tadi dia bertemu dengan Putri di depan, lalu mereka masuk ke dalam, dan Tama malah ngumpet. Dia menyuruh Putri yang memencet belnya.
“Tuh beneran kamu juga datang, kan? Mau apa sih, Tam? Sana pulang!” usir Dewa.
“Kak, masa ada tamu malah diusir?” ucap Putri.
“Kamu gak tahu apa-apa, Dek! Sudah masuk sana, tuh Kak Fitri baru selesai sarapan,” ucap Dewa.
“Cuma Putri yang boleh masuk nih?” ucap Tama.
“Kamu mau apa sih, Tam? Ganggu saja!” gerutu Dewa.
“Mau nyamperin istri kamu lah, mau aku ajak berangkat kerja bareng,” jawab Tama santai, lalu dia menerobos masuk ke dalam.
“Heh ... sopan sekali kamu!” teriak Dewa.
“Fit, kamu udah siap? Ayo kita berangkat!”
Dewa yang kesal akhirnya dia langsung mencegah Tama, menarik tangan Tama yang sedang berjalan ke dalam.
“Tama! Woy ini masih pagi! Gila ya kamu, nyuruh orang berangkat kerja sebelum jam tujuh?!”
“Ada apa sih Kakak sama Tama? Ribet deh kalian!” cebik Putri.
“Tuh orang gila, main masuk ke rumah orang saja, mau ngajakin istri orang lagi?” ucap Dewa kesal.
“Makanya, kalau punya istri tuh dihargai, ditemani di sini, salah sendiri jarang pulang dan gak peduli sama istrinya. Ya wajar lah Tama perhatiin istri kamu, Kak? Kalau aku jadi Kak Fitri saja mending sama Tama kok?” ucap Putri.
Semua tahu Dewa begitu kejam memperlakukan Fitri. Ya kejam, meski gak melukai Fitri secara fisik, tapi sikapnya itu begitu kejam pada Fitri.
“Jadi kamu belain Tama?”
Dewa semakin dibuat kesal dengan adiknya sendiri yang bisa-bisanya bicara begitu pada Dewa, dan malah belain Tama.
“Bukan aku ngebelain Tama, Kak. Tapi ini kenyataannya. Yah kakak sih beruntungnya dicintai Kak Fitrinya. Tapi kalau aku sih, mau secinta apa pun sama cowok, kalau cowoknya kek kakak begitu aku mending pergi deh. Lebih baik dicintai tahu, daripada mencintai, Kak,” ucap Putri.
“Bener sih, Put. Kakak juga makin sadar sekarang. Jadi mulai sekarang kakak sih udah gak mau pusing-pusing lagi lah. Mau kakak kamu pulang ke sini atau enggak, Kakak masa bodoh!” ucap Fitri yang semakin membuat Dewa meradang.
“Fit, kamu kok bilang gitu?” ucap Dewa.
“Sudah kalian jangan ribut lagi. Tam, aku mandi sebentar, nanti berangkat bareng,” ucap Fitri.
“Oke, ini sarapan buat kamu, aku tadi beli bubur ayam.” Tama menaruh bubur ayam itu di atas meja yang ada di ruang tengah.
“Aku baru selesai sarapan, Tam. Bawa saja ke restoran, kali saja ada yang mau. Daripada mubazir, kan?” ucap Fitri sambil berlalu ke kamar.
Putri ikut masuk ke kamar Fitri, dan melihat ada sofa di depan kamar Fitri yang membuat Putri bingung, kenapa ada sofa di depan kamar Fitri.
“Ini sofa yang ada di ruang tengah kan, Kak?” tanya Putri.
“Iya, kenapa Put?”
“Kok di sini?”
“Tanya saja kakak kamu yang aneh, kenapa sofa sampai di sini,” jawab Fitri.
Putri mengekori Fitri masuk ke kamarnya. Dia sepintas melihat bercak merah di leher Kakak iparnya itu.
“Kak sebentar deh!” Putri menghentikan langkah Fitri untuk ke kamar mandi.
“Ada apa? Kakak mau mandi, tuh udah ditungguin Tama.”
“Apa semalam terjadi apa-apa dengan Kakak dan Kak Dewa?” Tanya Putri dengan menatap ke arah leher jenjang Fitri.
“Ma—maksudnya?” tanya Fitri bingung.
“Itu leher kakak, bekas gigitan Kak Dewa pasti, kan?”
“Ih apaan sih kamu, Put? Eng—enggak! Bukan ini Cuma gatal karena kena ulat bulu kemarin pas lagi di belakang bersihin tamanan,” ucap Fitri bohong.
“Ulat bulu mah gak seperti itu, Kak? Ah pasti nih semalam sudah itu, ya? Pasti ini ada hubungannya sama sofa di depan nih? Pasti main di sofa, ya?”
“Putri ... apaan sih? Ih kamu pikirannya ngaco deh? Main apa coba?”
“Ya main bikin keponakan buat aku?”
“Kamu kok bisa mikir ke situ, Fit? Eh kamu macam-macam ya pacaran sama Rio? Awas kamu macam-macam!”
“Enggak, lah! Aku sering lihat Mama sama Papa mesra-mesraan soalnya, Kak,” jawab Putri.
“Astaga .... memang tuh ya mereka, gak tahu tempat kadang mama sama papamu!” gerutu Fitri.
“Mertua kakak tuh!”
“Iya juga sih? Udah ah kakak mau mandi!”
“Kak, jangan lupa nanti buatkan aku keponakan yang banyak, ya? Biar rame!” teriak Putri.
Putri memang sudah biasa main di rumah Fitri. Itu karena dia kasihan dengan Fitri yang selalu kesepian, karena suaminya tidak pernah di rumah. Kadang juga sampai satu minggu menginap di rumah Fitri. Padahal Putri pun sudah meminta Fitri untuk pisah saja dengan Dewa, tapi tetap saja Fitri mempertahankan cintanya untuk Dewa, dan dia percaya suatu hari Dewa bisa menerimanya.
Gak sabar lihat respon papa dewa dan mama niken 😂
1 nya berusaha mencintai 1 nya lagi mlh berusaha meminta restu 🤣🤣🤣
kann tau to rasane coba aja klo bener2 di diemin ma fitri apa g kebakaran jengot