Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raina dan Pantai.
Pagi tiba tanpa cahaya penuh. Langit hanya mengguratkan warna kelabu, menggantung rendah di atas laut yang tenang tapi suram. Angin berembus pelan, membawa aroma asin yang seolah menyimpan bisikan-bisikan lama. Pasir masih lembap oleh embun dan sisa gelombang malam, dingin menyusup sampai ke tulang.
Raina berjalan menyusuri tepian bersama sahabatnya. Langkah mereka tenang, seiring tapi tanpa kata. Di antara mereka, diam terasa lebih padat dari suara. Di kejauhan, ombak kecil datang tanpa niat mengejutkan—hanya menyentuh, lalu surut kembali, seperti kenangan yang tak ingin dibangunkan.
Wajah Raina tertuju ke cakrawala, namun pandangan matanya seperti menembus waktu. Setiap hembusan angin membawa kilas balik—tawa yang dulu pernah riuh di pantai ini, percakapan yang tak lagi diulang, janji-janji kecil yang kini hanya tinggal bekas. Batu-batu karang di sisi kiri tampak lebih rapuh dari biasanya, atau mungkin hanya terasa begitu karena semuanya sudah tak sama.
Sahabat di sisinya menoleh sebentar, memberi senyum tipis. Senyum itu lebih seperti permintaan maaf yang tak pernah terucap. Tak ada yang salah, tapi juga tak ada yang utuh. Kebersamaan mereka seperti pantai ini—pernah cerah, kini mendung, tetap ada, tapi tak lagi sama.
Laut di depan tak menjanjikan jawaban, hanya gelombang yang terus mengulang. Di bawah langit yang menggantung beku, hati pun tak mampu memilih antara merelakan atau berharap. Dan dalam kesunyian itu, hanya pantai yang sanggup memahami, tanpa harus bertanya.
Frida melihat tatapan sedih Raina, sudah hampir Lima belas menit keduanya hanya diam tanpa saling bicara.Frida tau Raina masih menyelami kesendiriannya yang tenang bersama deburan ombak pantai.Tapi melihatnya sedih seperti itu membuatnya tidak tahan.
Frida: (tiba-tiba tertawa sambil memeluk lututnya) “Kau ingat waktu kita hampir terseret ombak cuma karena kejar sandalmu yang hanyut?”
Raina: (ikut tertawa) “Sandal murah itu! Tapi tetap saja aku panik! Aku pikir itu satu-satunya harta berharga yang kupunya waktu itu.”
Frida: “Dan kau marah-marah sepanjang jalan pulang, padahal kita berdua basah kuyup dan ketawa terus!”
Raina: (menghela napas, masih tersenyum) “Lucu ya… hal sepele seperti itu ternyata yang paling kuingat sampai sekarang.”
Frida: (memandang laut) “Karena saat itu kita bebas. Nggak ada luka, nggak ada kehilangan.”
Raina: (terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, getir) “Sekarang juga bebas, cuma… rasanya beda. Kita tertawa, tapi sambil bawa banyak yang nggak kelihatan.”
Frida: (menoleh, lembut) “Tapi kau masih bisa tertawa. Itu artinya kau belum benar-benar hancur.”
Raina: (menatap Frida, matanya berkaca-kaca sambil tersenyum) “Aku tertawa karena kau masih di sini. Itu cukup.”
Frida: (memukul pelan bahu Raina) “Aduh, jangan mendadak melankolis gitu dong. Nanti aku nangis, terus malu dilihat kepiting.”
Raina: (tertawa lepas, akhirnya benar-benar tertawa—dari hati) “Kepiting juga punya hati, Fri.”
Tanpa keduanya sadari dua pasang mata sedari tadi mengamati keduanya dari kejauhan.Siapa lagi kalau bukan Aditya dan asisten Dika.
Di balik rimbunnya pohon kelapa yang bergoyang pelan ditiup angin senja, Aditya berdiri membeku, diam-diam mengamati istrinya, Raina, yang tengah duduk Bersama sahabatnya di tepi pantai. Langit mulai berwarna jingga keemasan, dan cahaya matahari sore memantulkan kilau lembut di permukaan laut. Raina tertawa kecil, menunduk memainkan pasir dengan ujung jarinya, sesekali membiarkan ombak membasahi kakinya. Pemandangan itu membuat dada Aditya sesak oleh rindu yang selama ini ia bungkus dalam ego dan diam. Rasanya ia ingin sekali berlari ke sana, memeluk Raina dari belakang, dan membisikkan sesuatu yang manis seperti dulu. Tapi lagi-lagi, gengsi menahannya.
Dari samping, Dika, asistennya yang setia, melirik bosnya sambil menghela napas pelan.
“tuan,, ini kesempatan emas, lho. Ibu Raina sendirian, pantainya romantis banget. Tinggal jalan aja, peluk dari belakang, selesai urusan,” bisik Dika, setengah tergoda sendiri oleh suasana.
Aditya mendengus, masih berlagak tenang. “Gak segampang itu, Dik. Harus elegan. Harus terencana.”
“Elegan? tuan udah setengah jam ngumpet di balik pohon kelapa, elegannya di mana?” Dika menaikkan alis, menahan tawa.
Aditya mencibir. “Saya observasi dulu. Timing itu penting.”
Dika nyengir. “Timing apaan, tuan? Ini bukan presentasi investor. Itu istri tuan sendiri. Mau nunggu sampe matahari tenggelam baru nyapa?”
Aditya menatap Raina lagi. Kali ini lebih lama. Ada senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. “Kamu yakin, Dik?”
“Sangat yakin. Ayo, tuan, Jangan sampai nanti ada yang peluk duluan baru gerak.”
Aditya melotot ke arah Dika, tapi tak bisa menahan tawa kecil. Dengan satu tarikan napas panjang, ia akhirnya melangkah pelan menuju Raina. Langkahnya masih penuh ragu, tapi hatinya dipenuhi harap. Dika menatapnya dari belakang sambil mengangkat dua jempol tinggi-tinggi.
“Good luck, Pak Romeo,” gumam Dika lirih takut tuannya mendengar, sambil tertawa pelan, sementara angin pantai membawa aroma garam dan cerita lama yang siap ditulis kembali.
...****************...
"Rain kamu tunggu di sini sebentar ya, Aku cari minum dulu di sana, " Frida menunjuk warung kecil yang terletak di pinggir parkiran.
"Temani tidak? " tawar Raina hendak berdiri.
"Tidak usah, nanti kamu capek.Kamu tunggu di sini,aku hanya sebentar , " Akhirnya Raina kembali rebahan di sembari mendengarkan debur ombak. .
Raina masih rebahan di atas karpet pantai yang Frida bawa dari rumah, hanya diam dengan mata terpejam,mendengarkan suara ombak yang terus datang dan pergi.Masih teringat Percakapan mereka _kemarin.Membuat dadanya sesak, penuh emosi yang bercampur aduk—antara marah, rindu, kecewa, dan harapan yang gagal..
Ia masih tidak menyadari Aditya benar-benar datang, pria itu sekarang sedang berdiri di depannya, Persis di depan tempat Ia merebahkan tubuhnya.
"Rain,,, " Sapa Aditya dengan suara seraknya.
Tubuh Raina tersentak, tak percaya mendengar suara_nya.Ia segera berdiri dari posisinya.
“Mas… kamu ko bisa disini…” suaranya bergetar, antara kaget dan menahan tangis.
Aditya tidak menjawab. Ia tanpa banyak kata,langsung mengeratkan pelukannya, wajahnya menyentuh punggung Raina, seolah hendak menyatu dengan luka yang ada di sana. Ia menutup mata, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu.
Dan di detik itu juga, air mata Raina akhirnya jatuh—tanpa bisa ditahan. Tangisnya pecah pelan, tanpa suara besar, hanya isakan lirih yang membuat dada siapa pun akan ikut sesak. Ia memukul tangan Aditya lemah, setengah marah, setengah menyerah.
"Kamu jahat mas, " Raina terus menumpahkan kekesalannya dengan memukul kecil dada bidang Aditya.
Aditya tak bergeming justru semakin mempererat pelukannya."Mas kangen,,, " bisiknya sendu tepat di telinga Raina.
"Tapi,aku nggak." Raina menarik wajahnya dari dada bidang Aditya.Bibirnya cemberut dengan pipi yang mengembang dengan memasang wajah kesal di depan Aditya.
Aditya tersenyum melihat betapa lucunya Raina ketika sedang merajuk.Expresi kesalnya benar- benar sangat imut baginya.