Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Reva, Si Wanita Ular
Langit sore tampak pucat, tertutup awan tipis. Di taman kecil rumah sakit itu, hanya ada beberapa bangku panjang dan beberapa pot besar berisi tanaman bunga yang mulai layu karena musim. Radit dan Rumi duduk berdampingan di salah satu bangku kayu, tak langsung bicara. Hanya suara langkah orang-orang dan desiran angin yang menemani.
Rumi menatap rumput di depannya, matanya masih menyimpan bayangan kejutan dari ruang dokter tadi. Jemarinya saling meremas gelisah.
Radit menarik napas dalam, lalu memecah hening dengan suara yang lembut, tapi tegas. "Sayang, kamu nggak salah tahu?"
Rumi menggeleng pelan. "Tapi tetap aja, aku ngerasa kayak nyakitin Mas Radit. Aku tahu Mas pengin punya anak."
Radit menoleh, menatap wajah istrinya yang mulai berkabut air mata. "Aku pengin kamu, Rum. Bukan cuma anak. Aku menikah karena kamu, bukan karena janji jadi orang tua. Kita masih bisa usaha. Kita masih punya waktu."
"Kalau ternyata memang aku susah hamil terus, Mas Radit bakal kecewa nggak?" suara Rumi kecil sekali. Matanya menatap kosong, tapi hatinya sedang penuh dengan ketakutan.
Radit menggeser duduknya, lalu mengangkat dagu Rumi dengan lembut agar mata mereka bertemu.
"Dengerin aku baik-baik, ya. Kalau ternyata kita harus berjuang sepuluh tahun buat punya anak, aku akan tetap di sini, sama kamu. Dan kalau emang Allah belum kasih, ya kita hadapi juga bareng. Nggak ada yang berubah."
Air mata Rumi mengalir pelan. Ia tidak menangis keras, tapi cukup untuk membuat dada Radit sesak. Ia menyandarkan kepala ke dada suaminya, merasa tubuhnya dirangkul hangat dan terlindungi.
"Maafin aku, ya. Mas Radit malah dapetin perempuan yang nggak sempurna," bisiknya.
Radit mengecup kening Rumi dengan pelan. "Dan kamu dapetin laki-laki yang juga nggak sempurna. Tapi kita saling milih dan saling kuat. Itu yang penting."
Mereka duduk dalam diam cukup lama, hanya saling memeluk dan menguatkan. Mereka tak tahu bahwa di balik salah satu sudut taman, seseorang berdiri diam.
Dengan kacamata hitam ala artis kelas atas, Reva menguping seluruh percakapan itu. Senyum licik terbit di bibirnya. Ia mendapatkan informasi yang bisa ia manfaatkan.
Perlahan ia berbalik, mengambil ponsel dari tasnya, dan mengetik sebuah pesan.
Tante, aku baru aja dapat kabar penting soal menantu Tante. Aku yakin Tante pasti ingin tau.
Malam itu di ruang perawatan rumah sakit, lampu agak redup, suasana hening hanya sesekali terdengar suara langkah perawat dari lorong. Di tempat tidur rumah sakit itu, Bu Widya terlihat lemah, tapi matanya tajam menatap ke depan, menunjukkan sifat keras dan dinginnya meski sedang sakit.
Pintu terbuka, Reva melangkah masuk dengan senyum tipis, tapi seakan mematikan. Ia membawa sebuah amplop berisi hasil pemeriksaan yang baru saja diterima dari rumah sakit.
Bu Widya balas tersenyum, tampak senang karena Reva masih menjenguknya meski Radit tak jadi menikah dengannya.
Reva dengan tenang duduk di kursi dekat tempat tidur, menatap Bu Widya dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin.
"Tante, aku bawa kabar yang mungkin membuat Tante lebih lega atau malah sebaliknya," kata Reva pelan tapi penuh makna.
Bu Widya mengerutkan dahi, "Tentang apa, Reva?"
Reva membuka amplop itu, mengeluarkan surat hasil pemeriksaan, lalu berkata, "Tentang Rumi. Dokter bilang dia agak bermasalah dan kemungkinan besar akan sulit untuk punya anak. Jadi, Tante harus siap menerima kenyataan itu."
Mata Bu Widya menyipit, napasnya tersengal, tapi suaranya tetap dingin, "Jadi, apa menurutmu Tante harus menceraikan mereka karena alasan itu?"
Reva tersenyum tipis, "Aku hanya menyampaikan kenyataan, Tante. Tapi keputusan ada di tangan Tante."
Bu Widya menarik napas dalam-dalam, menatap kosong ke langit-langit, lalu suara dinginnya terdengar tegas, "Kalau dia tak bisa beri anak, Tante yang akan memastikan rumah ini tetap punya penerus. Jangan kira Tante mudah dipermainkan oleh wanita miskin macam Rumi."
Reva mengangguk, "Keputusan yang tepat, Tante. Baik Radit maupun Tante berhak untuk bahagia."
Suasana ruang perawatan itu jadi sunyi kembali, hanya suara alat-alat medis dan detak jantung yang terdengar, menandakan badai masalah baru tengah mengintai keluarga Radit dan Rumi.
...****************...
Radit duduk di ruang kerjanya yang megah di kantor pusat perusahaan, menatap tumpukan dokumen dan layar laptop yang terus menerus menyala. Telepon di meja berdering beberapa kali, menuntut perhatian dan keputusan cepat darinya. Jadwal perjalanan dinas sudah ditetapkan, dan Radit harus berangkat ke luar kota selama beberapa hari untuk menghadiri pertemuan bisnis penting yang akan menentukan masa depan perusahaan.
Pagi itu, sinar matahari menyelinap lembut ke sela tirai kamar. Rumi yang masih setengah sadar membuka matanya pelan, hanya untuk menemukan sisi ranjang sebelahnya sudah kosong. Tapi belum sempat ia berpikir macam-macam, Radit muncul dari kamar mandi dengan rambut sedikit basah dan kemeja yang belum sepenuhnya terpasang.
"Aku bangunin kamu, tapi kamu manja banget. Malah meringkuk makin dalem tadi," goda Radit sambil duduk di pinggir ranjang dan menyentuh pipi Rumi.
Rumi menguap kecil, lalu menarik tangan Radit agar ia berbaring kembali. "Lima menit aja lagi, temani aku dulu," bisiknya manja.
Radit tersenyum, membiarkan tubuhnya rebah di samping Rumi. Ia menatap istrinya itu dengan penuh sayang, membelai rambutnya yang sedikit kusut. "Aku harus berangkat, Sayang. Dinasnya sampai tiga hari. Tapi sumpah, aku benci banget ninggalin kamu."
Rumi mengusap dada Radit pelan, menggambar lingkaran kecil dengan jarinya. "Kenapa harus Mas Radit sih yang berangkat?"
"Karena aku CEO nya. Tapi kalau kamu keberatan, aku bisa—"
"Enggak, aku cuma ... bakal kangen," ujar Rumi, menyelipkan wajahnya di leher Radit.
Radit memejamkan mata. Pelukan itu bikin dia nyaris membatalkan segalanya. "Aku juga bakal kangen kamu gila-gilaan. Nanti malam aku video call, ya?"
Rumi mengangguk dalam pelukannya.
Radit pun mencium kening Rumi, kemudian bibirnya sebentar. Lalu ia bangkit dengan enggan, mengambil koper kecil di dekat pintu. Saat ia hendak melangkah keluar, Rumi memanggilnya lagi.
"Mas?"
Radit menoleh, dan saat itu Rumi berdiri di dekat pintu kamar, masih dengan daster tidur dan rambut terurai.
"Jaga diri, jangan kerja terlalu keras, dan jangan godain cewek," katanya sambil tersenyum jahil.
Radit tertawa kecil. "Yang terakhir itu jelas enggak. Soalnya aku udah punya satu, dan dia ngambeknya serem banget."
Rumi tersipu, tapi tersenyum puas. Radit pun beranjak pergi, meninggalkan jejak cinta yang terasa hangat di dada mereka berdua.
Siang hari yang terik mulai mereda saat Rumi tiba di rumah. Ia baru saja pulang dari tempat mengajar, masih mengenakan kemeja putih dan rok panjang krem yang agak kusut karena aktivitas. Lelah, tapi tetap sempat tersenyum melihat suasana rumah yang tenang.
Ia melepas jam tangan, mengganti pakaian dengan daster pendek berwarna biru lembut, lalu beranjak ke dapur untuk mencari minuman dingin.
Baru saja menuang air ke dalam cangkir, terdengar suara bel pintu.
"Siang begini siapa yang datang, ya?" gumamnya pelan.
Ia hendak melangkah ke arah pintu, namun salah satu asisten mencegahnya dan menawarkan diri untuk membukakannya.
Begitu pintu dibuka, wajah Rumi langsung berubah. Di depan sana, berdiri dua sosok yang tak diharapkannya hari itu, Bu Widya dan Reva.
"Bu Widya, ada perlu apa datang tiba-tiba? Em, dan bagaimana kabar Ibu?" Rumi mencoba tetap sopan.
Bu Widya melangkah masuk tanpa diundang. "Kamu pikir rumah ini milikmu sampai-sampai harus izin segala?" ucapnya sinis.
Reva hanya tersenyum, berdiri dengan angkuh sambil menatap Rumi dari ujung kepala ke kaki.
Rumi menelan ludah, mencoba tetap tenang. Ia membiarkan mereka duduk di ruang tamu.
"Kamu baik-baik saja, Rumi?" Reva tiba-tiba bertanya, namun nadanya menyiratkan ejekan. "Aku dengar kabar kurang enak dari rumah sakit. Sayang sekali, ya. Perempuan sepertimu ternyata tidak bisa memberi Radit keturunan."
Rumi membeku. Ia menatap Reva dengan tatapan tak percaya.
"Apa maksudmu?"
Bu Widya bersuara, lebih tajam dari biasanya. "Jangan pura-pura bodoh. Aku tahu hasil pemeriksaan kalian."
"Tapi, kami tidak─" Rumi tertahan. Ia terdiam, mulai menyadari sesuatu. "Apa Ibu mengutus seseorang untuk mengintai kami?"
Bu Widya tersenyum dingin. "Aku punya banyak kenalan. Termasuk di rumah sakit. Dan Reva, dialah yang mengingatkan saya untuk memperhatikan kesehatan anakku. Kamu itu hambatan, Rumi. Hambatan bagi kebahagian Radit."
Reva ikut menimpali, "Radit pantas mendapatkan istri yang bisa memberinya keturunan. Bukan hanya cantik, tapi juga sehat secara lahir dan batin. Sepertiku ini."
"Sudah cukup!" Rumi bangkit berdiri, air matanya menahan diri agar tak jatuh. "Apa kalian datang hanya untuk menghina? Rumah ini bukan tempat untuk mencaci. Pergilah."
Bu Widya berdiri juga. "Kamu pikir bisa bicara seperti itu pada orang yang membiayai hidup suamimu sejak kecil? Saya tidak akan diam melihat anak satu-satunya saya disia-siakan oleh perempuan kelas bawah yang bahkan tak bisa memberinya anak!"
Reva menarik lengan Bu Widya. "Sudahlah, Tante. Kita pergi. Lagipula, tak lama lagi Radit pasti sadar siapa yang pantas berdiri di sisinya."
Mereka pergi, meninggalkan pintu terbuka.
Rumi jatuh terduduk di sofa. Matanya berkaca, dadanya sesak.
Hatinya mulai runtuh, dan Radit tak ada bersamanya.