Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Sisa-Sisa Harapan di Balik Debu
Pagi menyapa dengan cahaya yang pucat, menyelinap masuk melalui celah gorden yang tidak tertutup rapat. Aris terbangun dengan leher kaku. Ia tertidur di atas meja kerjanya, dengan pipi yang menempel pada sketsa bangunan yang ia kerjakan hingga larut malam. Aroma kopi basi dan kertas tua memenuhi indra penciumannya. Bagi orang lain, ini mungkin pemandangan yang menyedihkan, namun bagi Aris, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Ada sebuah denyut kecil di dadanya yang sudah lama mati: rasa ingin tahu tentang hari esok.
Setelah membasuh wajahnya dengan air dingin yang seolah menampar kesadarannya, Aris mengenakan jaket tua yang warnanya sudah memudar. Ia mengambil tas selempang kulitnya, memasukkan buku sketsa dan beberapa lembar dokumen penting, lalu melangkah keluar.
Tujuannya adalah kantor dinas tata kota. Ia harus mencari tahu kejelasan status lahan di pinggir kota itu sebelum alat-alat berat benar-benar meratakan mimpinya.
Perjalanan dengan bus kota terasa lebih panjang dari biasanya. Aris menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung pencakar langit yang kini tampak seperti monster kaca yang angkuh. Dulu, ia adalah bagian dari mereka yang merancang kemegahan itu. Sekarang, ia merasa seperti semut yang berusaha menghindari injakan kaki raksasa.
"Pak, sudah sampai di Terminal Barat," tegur kondektur bus, membuyarkan lamunan Aris.
Aris turun dan berjalan kaki menuju gedung pemerintahan yang kaku dan dingin. Di dalam, ia disambut oleh hiruk pikuk birokrasi. Suara ketikan papan tik, langkah kaki yang terburu-buru, dan aroma kertas lembap. Setelah menunggu hampir dua jam di kursi plastik yang keras, namanya akhirnya dipanggil.
Di balik meja kayu yang penuh tumpukan map, duduk seorang wanita muda dengan kacamata berbingkai hitam. Papan namanya tertulis: Laras – Bagian Perencanaan Wilayah.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Laras tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar komputer.
Aris berdehem, mencoba membersihkan suaranya yang serak. "Saya ingin menanyakan status lahan di sektor 12-B, area hijau dekat bantaran sungai. Saya mendapat surat bahwa area itu akan dialihkan menjadi kawasan gudang."
Mendengar itu, Laras berhenti mengetik. Ia mendongak, menatap Aris dengan tatapan yang sulit diartikan—antara bosan dan kasihan. "Sektor 12-B? Itu sudah disetujui untuk pengembangan industri sejak enam bulan lalu, Pak. Surat yang Bapak terima itu hanya formalitas akhir. Pengerjaan konstruksi akan dimulai dalam waktu dekat."
Aris merasakan dunianya sedikit berguncang. "Tapi... lahan itu dulu direncanakan sebagai zona hijau dan fasilitas sosial. Saya punya draf awalnya."
Laras menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Dunia berubah, Pak. Kebutuhan logistik kota ini meningkat. Lahan kosong seperti itu lebih bernilai secara ekonomi jika dijadikan gudang daripada dibiarkan jadi semak belukar."
"Itu bukan semak belukar bagi saya," potong Aris dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan. "Itu adalah satu-satunya tempat yang tersisa untuk membangun sesuatu yang... bermakna bagi warga di sana."
Laras menatap Aris lebih dalam. Ia melihat tangan Aris yang sedikit gemetar saat memegang tasnya. Ada sesuatu di mata pria tua ini yang tidak ia temukan pada kontraktor-kontraktor perlente yang biasa datang ke mejanya. Ada ketulusan yang terasa kuno.
"Dengar, Pak Aris," suara Laras melunak. "Secara hukum, lahan itu milik pengembang sekarang. Kecuali... Bapak punya akses ke dewan pembina atau bisa membuktikan bahwa ada kepentingan publik yang jauh lebih mendesak dan sudah mendapatkan pendanaan."
Aris terdiam. Pendanaan? Ia bahkan kesulitan membayar tagihan listrik tepat waktu.
"Siapa pengembangnya?" tanya Aris lirih.
"Grup Mahakarya," jawab Laras singkat.
Aris tertegun. Nama itu tidak asing. Itu adalah perusahaan tempat ia bekerja sepuluh tahun lalu, perusahaan yang memecatnya saat ia mulai vokal menyuarakan etika lingkungan dalam pembangunan proyek mereka. Takdir seolah sedang mempermainkannya dengan cara yang paling ironis.
Aris keluar dari gedung itu dengan bahu yang merosot. Matahari siang terasa membakar kulitnya, namun hatinya terasa beku. Ia berjalan tanpa arah hingga sampai di sebuah taman kecil yang gersang di tengah kota. Ia duduk di salah satu bangku kayu yang catnya sudah mengelupas.
Ia mengeluarkan buku sketsanya. Di halaman tengah, ia melihat gambar "Rumah Senja" yang ia buat semalam. Di sana, ia menggambar jendela-jendela besar agar cahaya matahari sore bisa masuk sepenuhnya, menyinari wajah anak-anak yang mungkin belum pernah merasakan kehangatan rumah yang sesungguhnya.
"Mungkin mereka benar, Aris," bisiknya pada diri sendiri. "Kamu hanya orang tua yang keras kepala yang mencoba mengejar matahari yang sudah tenggelam."
Saat ia hendak menutup buku itu, angin kencang berembus, membalik halaman buku sketsanya ke bagian paling belakang. Di sana, ada sebuah catatan kecil tulisan tangan Sarah: "Jangan pernah berhenti menggambar garis, Aris. Karena setiap garis adalah harapan bagi mereka yang tidak bisa melihat jalan."
Aris memejamkan mata. Bayangan Sarah terasa begitu dekat, seolah-olah istrinya itu sedang duduk di sampingnya, memegang tangannya yang kasar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi kertas sketsa yang kering.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun dengan pakaian yang kotor dan wajah penuh debu berdiri di depan Aris. Anak itu membawa tumpukan koran bekas.
"Kek, gambarnya bagus," kata anak itu dengan polos sambil menunjuk sketsa Rumah Senja.
Aris menghapus air matanya dengan cepat, merasa malu dilihat oleh seorang anak kecil. "Terima kasih, Nak."
"Itu rumah apa? Kenapa jendelanya banyak sekali?" tanya anak itu lagi, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa lelahnya.
Aris menatap anak itu. Inilah alasan mengapa ia memulai semua ini. Inilah wajah-wajah yang ia bayangkan saat ia dan Sarah berdiskusi hingga larut malam dulu. "Itu rumah untuk siapa saja yang ingin beristirahat saat mereka lelah berjalan," jawab Aris pelan.
Anak itu tersenyum lebar, menampakkan giginya yang tidak rata. "Kalau rumah itu sudah jadi, apa aku boleh berteduh di sana kalau hujan? Satpam di gedung sana selalu mengusirku."
Pertanyaan sederhana itu seperti petir yang menyambar Aris. Ia menyadari bahwa ia tidak boleh menyerah hanya karena birokrasi atau perusahaan besar. Ini bukan lagi soal egonya atau kenangannya tentang Sarah. Ini adalah soal janji yang harus ditepati bagi mereka yang terlupakan.
Aris berdiri, menatap anak itu dengan keyakinan baru. "Bukan hanya berteduh, Nak. Kamu akan punya kamar di sana."
Anak itu tertawa kecil, menganggap Aris sedang bercanda, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya. Namun bagi Aris, itu adalah janji suci.
Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus menemui seseorang dari masa lalunya, seseorang yang mungkin membencinya namun memiliki kekuatan untuk mengubah keputusan di Grup Mahakarya. Aris berjalan menuju halte bus dengan langkah yang lebih mantap. Ia akan bertarung di waktu senjanya, bukan dengan senjata, melainkan dengan garis-garis harapan yang ia miliki.
Sore itu, langit kembali memerah. Namun kali ini, Aris tidak hanya melihatnya sebagai akhir. Ia melihatnya sebagai latar belakang bagi perjuangan besarnya yang baru saja dimulai.