Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertemuan tak terduga
Kirana yang kelelahan setelah perjalanan jauh akhirnya tertidur pulas di kamar Mbak Lilis. Hawa sejuk dari pendingin ruangan dan kasur yang jauh lebih empuk dari miliknya di desa membuat gadis itu terlelap dengan cepat, memimpikan kesembuhan adiknya, Luki.
Malam semakin larut ketika suara deru mesin mobil mewah terdengar berhenti di depan lobi rumah. Pintu besar terbuka, menampakkan sosok pria tinggi tegap dengan garis wajah tegas dan tatapan mata yang tajam. Dia adalah Bastian Rajendra.
Bastian melangkah masuk dengan sangat tenang, kedua lengannya menggendong Freya yang sudah tertidur pulas di pundaknya. Rambut putri kecilnya yang berantakan tertutup oleh jas kerja Bastian yang sengaja disampirkan untuk melindunginya dari angin malam.
Lilis yang memang sudah menunggu di ruang tengah segera berdiri dan membungkuk hormat. "Selamat malam, Tuan," sapa Lilis dengan suara pelan agar tidak membangunkan Freya.
Bastian hanya mengangguk singkat sebagai jawaban. Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu bertanya dengan suara rendah yang berat dan dingin.
"Sudah sampai pengasuhku?" Bastian mengoreksi kalimatnya dengan cepat tanpa ekspresi. "Maksud saya, pengasuh Freya."
"Sudah, Tuan. Dia sedang istirahat di kamar saya," jawab Lilis sopan.
Bastian tidak bertanya lebih lanjut tentang asal-usul atau bagaimana rupa Kirana. Ia seolah tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti itu, asalkan putrinya bisa terurus dengan baik.
"Ya sudah. Besok pagi suruh dia ke kamar putri saya dan langsung mulai bekerja," perintah Bastian tanpa menoleh, lalu melangkah menuju tangga lantai dua untuk mengantarkan Freya ke kamar.
Lilis menghela napas lega. "Hanya itu?" gumamnya pelan. Memang benar apa yang ia katakan pada Kirana tadi; Bastian sangat irit bicara dan seolah memiliki dinding es di sekelilingnya.
Sementara itu, Kirana masih belum menyadari bahwa mulai besok pagi, hidupnya akan berurusan dengan pria paling dingin yang pernah ia temui
Suara azan Subuh berkumandang dari masjid sekitar, memecah kesunyian rumah mewah itu. Cahaya fajar mulai mengintip dari celah gorden, membangunkan Lilis dan Kirana dari tidur mereka.
Setelah membersihkan diri dan melaksanakan salat Subuh berjamaah, Kirana tampak sedikit merapikan pakaiannya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di lingkungan yang benar-benar asing baginya.
Lilis menoleh ke arah Kirana sambil melipat sajadahnya. "Rana, kamu segera ke kamar Freya ya. Bantu dia mandi dan siapkan perlengkapan sekolah PAUD-nya hari ini," ucap Lilis memberikan instruksi awal.
"Oh, iya Mbak," sahut Kirana patuh. "Kamarnya di sebelah mana ya?"
"Naik ke lantai atas. Ada dua pintu besar di sana. Kamar sebelah kanan itu kamar Pak Bastian. Nah, kamar sebelah kiri lagi itu kamar Freya. Jangan sampai salah masuk ya, ingat pesan Mbak kemarin."
Kirana meneguk ludah, membayangkan betapa luasnya lantai atas. "Loh, emang berani Mbak, si kecil Freya tidur sendiri?" tanya Kirana heran. Di desanya, anak seumur itu biasanya masih tidur berdesakan dengan orang tua atau kakaknya.
Lilis tersenyum tipis. "Berani dong. Freya itu anak yang mandiri, tapi ya tetap saja dia butuh bantuan untuk hal-hal kecil seperti mandi dan pakai baju. Makanya sekarang itu jadi tugas kamu."
"Siap Mbak, aku ke atas sekarang ya," ucap Kirana mencoba mengumpulkan keberanian.
Dengan langkah pelan, Kirana menaiki anak tangga satu demi satu. Karpet bulu yang tebal meredam suara langkah kakinya. Sampai di atas, ia melihat dua pintu kayu jati yang kokoh. Kirana menarik napas dalam-dalam, menatap pintu sebelah kiri.
Ingat, kanan itu Bos Dingin, kiri itu Freya, batinnya mengingatkan diri sendiri.
Baru saja tangannya hendak mengetuk pintu kamar Freya, pintu sebelah kanan—kamar Bastian—tiba-tiba terbuka. Kirana tersentak kaget dan hampir saja memekik.
Bastian Rajendra berdiri di sana. Pria itu sudah rapi dengan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, memancarkan aura intimidasi yang kuat. Mata tajamnya menatap Kirana dari atas ke bawah dengan datar, tanpa sapaan, tanpa senyum.
"Kamu pengasuhnya?" suara berat Bastian memecah keheningan koridor, membuat Kirana membeku di tempat.
"Astaghfirullah haladzim, gue kira setan!" gumam Kirana dalam hati sembari mengelus dadanya yang berdegup kencang. Ia tidak menyangka sang majikan sudah bangun sepagi ini dengan penampilan sesempurna itu.
"I-iya, Tuan. Saya Kirana," jawabnya terbata, berusaha menjaga sopan santun meski nyalinya menciut melihat tatapan tajam pria di depannya.
Bastian tidak langsung menyahut. Untuk beberapa detik, pandangannya tertahan pada sosok gadis di hadapannya. Bastian memperhatikan paras cantik Kirana yang tampak natural tanpa riasan. Tubuh gadis itu mungil, tingginya mungkin hanya sekitar 150-an sentimeter, membuat Kirana harus sedikit mendongak untuk menatapnya. Rambutnya yang dipotong sebau serta bola mata berwarna coklat terang milik gadis itu memberikan kesan hangat, sangat kontras dengan suasana dingin yang selalu dibawa Bastian.
Namun, Bastian segera membuang muka, kembali ke ekspresi datarnya yang seperti tembok batu.
"Ya sudah. Masuklah, bangunkan dia dengan lembut," perintah Bastian singkat tanpa basa-basi lagi.
"Baik, Tuan," sahut Kirana cepat. Ia segera memutar tubuhnya menuju pintu kamar Freya, merasa risih karena sempat merasa diperhatikan oleh pria sedingin itu.
Bastian tidak beranjak. Ia tetap berdiri di depan pintu kamarnya, memerhatikan punggung kecil Kirana yang menghilang di balik pintu kamar putrinya.
Di dalam kamar, Kirana terpaku sejenak melihat kemewahan kamar anak kecil itu. Di atas tempat tidur besar bertema princess, Freya masih terlelap. Kirana mendekat, lalu mengusap kepala Freya pelan.
"Sayang... Bangun, Nak. Sudah pagi, kita sekolah ya?" bisik Kirana dengan nada paling lembut yang ia miliki.
Freya menggeliat pelan, membuka matanya yang bulat. Bukannya menangis atau takut melihat orang asing, bocah itu justru tersenyum lebar melihat Kirana.
"Kakak siapa?" celoteh Freya dengan suara serak khas bangun tidur.
Kirana tersenyum lega. Setidaknya, menghadapi putri sang bos jauh lebih menyenangkan daripada menghadapi ayahnya yang irit bicara itu. Tanpa Kirana sadari, Bastian masih berdiri di koridor luar, mendengarkan percakapan itu dengan tangan terlipat di dada.
Semoga dia bertahan lebih lama dari yang sebelumnya, batin Bastian sebelum akhirnya melangkah pergi menuju ruang makan.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.