NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Pernikahan

Hari itu Bandung terasa berbeda. Udara pagi membawa bau bunga sedap malam yang baru dipetik, bercampur dengan wangi bedak dan parfum pengantin yang memenuhi ruangan rias. Suara gaduh dari halaman rumah terdengar samar suara kursi digeser, dekorasi diperbaiki, suara ibu-ibu tetangga yang sibuk memberikan arahan. Semuanya riuh. Semuanya semestinya penuh kebahagiaan.

Namun di dalam kamar pengantin, aku duduk diam. Jantungku berdetak tidak beraturan, bukan karena bahagia… tetapi karena gugup, bingung, takut semua bercampur menjadi satu hingga sulit kubedakan mana yang lebih dominan.

Hari ini aku menikah.

Bukan dengan seseorang yang kukenal lama. Bukan dengan lelaki yang kupilih sendiri. Melainkan dengan Ardi, laki-laki pilihan keluarga, pilihan yang katanya “terbaik” menurut mereka.

“Alya, jangan tegang begitu. Senyum dong, Nak,” kata Bu Murni sambil merapikan kerudung putihku. Suaranya terdengar berusaha ceria, tapi aku tahu ia sendiri sedang menahan sesuatu. Matanya tampak berkaca-kaca, mungkin bangga, mungkin sedih, atau mungkin keduanya.

Aku mengangguk lemah. “Iya, Bu.”

Di belakangnya, Mbak perias melanjutkan pekerjaannya. Bedak ditepuk perlahan di pipiku, bibirku dipoles lipstik warna lembut. Di cermin besar di hadapanku, aku melihat wajah yang tampak tenang padahal di baliknya ada badai yang tidak berhenti.

“Tadi Ayah sudah berangkat ke gedung,” kata Ibu lagi. “Beliau bantu panitia.”

Seketika dadaku mencelos.

Ayah tidak sempat menemuiku sebelum berangkat. Tidak ada ucapan apa pun. Tidak ada tatapan yang menenangkan. Tidak ada pelukan.

Beberapa bulan sebelumnya, Ayah dan Ibu sering berselisih soal pernikahanku. Ayah berkeras bahwa Ardi adalah pilihan yang tepat. Ibu… tidak sepenuhnya setuju. Ibu merasa aku belum siap. Tapi saat keluarga besar mendesak, Ibu kalah suara.

Dan akhirnya… aku di sini. Duduk dengan gaun putih, menjadi pengantin yang tak pernah membayangkan hari pernikahannya seperti ini.

“Al…” Ibu menyentuh tanganku. Hangat. Lembut. “Ibu tau kamu belum sepenuhnya kenal Ardi. Tapi pelan-pelan ya, Nak. Semua pernikahan butuh waktu untuk jadi rumah.”

Aku mengangguk, walaupun kata-kata itu tidak sepenuhnya membuat tenang.

“Aku takut, Bu,” bisikku jujur.

Ibu tersenyum kecil, namun matanya ikut berkaca-kaca. “Ibu juga dulu takut waktu nikah sama Ayahmu. Kita semua punya rasa itu. Tapi kamu perempuan kuat, Alya. Kamu pasti bisa menjalani ini.”

Kalimat itu begitu menenangkan… dan pada saat yang sama menyesakkan.

Karena kini aku tahu bertahun-tahun setelah menikah, pernikahan Ibu sendiri justru retak. Retak yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

Ketika Ibu merapikan jilbabku sekali lagi, aku menahan tangannya. “Bu…”

“Iya, Nak?”

“Kalau suatu hari aku… nggak kuat, apa aku boleh cerita ke Ibu?”

Ibu terdiam. Sejenak wajahnya menunjukkan kesedihan yang dalam, seolah ia teringat semua luka yang ia simpan selama tiga puluh tahun menikah dengan Ayah.

“Kamu boleh cerita apa pun ke Ibu,” katanya pelan. “Tapi Ibu juga ingin kamu bahagia. Jangan simpan luka sendirian.”

Aku menelan ludah. “Terima kasih, Bu.”

Situasi hening sejenak. Perias selesai memoles pipiku dan menyingkir pelan, membiarkan aku menatap diriku sendiri. Wajahku terlihat dewasa hari itu. Terlalu dewasa untuk hari yang seharusnya hanya penuh kebahagiaan.

Pintu kamar tiba-tiba diketuk. Dimas masuk dengan setelan rapi.

“Yuk, Al. Waktunya berangkat,” katanya.

Aku berdiri perlahan. Gaun pengantin mengembang, terasa berat di bagian bawah mungkin sama beratnya dengan langkah kakiku.

Dimas menatapku sebentar dan mendekat, lalu berbisik, “Kalau kamu nggak siap, bilang. Kakak masih bisa batalin. Serius.”

Aku menatapnya lama. Matanya menunjukkan kekhawatiran seorang adik, bukan sekadar formalitas. Dimas selalu menjadi sosok pendiam, tapi hari itu ia terlihat paling vokal.

Aku menggeleng perlahan. “Semua sudah terlalu jauh, Mas.”

Dimas meremas bahuku. “Kalau nanti Ardi nyakitin kamu, bilang ke aku duluan.”

Aku tersenyum getir. “Iya…”

Saat kami keluar dari kamar, rumah sudah penuh oleh keluarga dan tamu. Semua orang tersenyum melihatku, seakan hari ini adalah jawab dari segala doa. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan. Mereka tidak melihat getaran kecil di ujung jariku atau napas yang sedikit berat karena nervous.

Langkahku menuju mobil pengantin terasa panjang. Laras memelukku sebelum aku masuk. Perutnya masih rata saat itu ini sebelum tragedi menimpa bayinya.

“Kak…” katanya sambil tersenyum. “Semoga pernikahan kakak lebih kuat dari hati kakak.”

Aku meneguk ludah, menahan air mata yang mulai naik. “Aamiin. Makasih, Ras.”

Raka hanya mengangkat tangan kecilnya sebagai salam. Ia tersenyum malu-malu, seakan masih belum percaya kakak perempuannya menikah hari itu.

Mobil perlahan melaju menuju gedung.

Bandung menyambutku dengan gerimis tipis, seperti berkat atau peringatan aku sendiri tidak tahu mana yang benar.

Di kursi belakang, aku memandang keluar jendela. Jalanan basah, pepohonan bergoyang tertiup angin, dan langit gelap seolah tidak yakin ingin cerah atau hujan. Persis seperti isi hatiku.

Dan di tengah perjalanan itu, satu pikiran muncul: Apakah ini benar jalan untukku? Atau hanya jalan yang dipilih orang lain untukku?

Namun sebelum jawabannya muncul, mobil berhenti di depan gedung pernikahan. Musik sudah terdengar, lampu-lampu terang, dan semua mata akan segera tertuju padaku.

Aku menarik napas panjang. Hari pernikahanku dimulai.

Alya berdiri di balik tirai tipis kamar rias, menatap halaman rumah yang sudah dipenuhi kursi putih berbalut pita emas. Musik lembut terdengar dari speaker kecil, sementara para tamu mulai berdatangan. Di kejauhan, tenda besar dengan lampu-lampu gantung terlihat berkilauan meski matahari masih tinggi. Semua terlihat indah setidaknya menurut orang lain. Tapi bagi Alya, semua itu justru membuat dadanya semakin sesak.

Di belakangnya, ibunya, Bu Murni, sibuk membenarkan kerudung sambil sesekali menahan air mata.

“Cantik sekali kamu, Nak…” bisiknya, suaranya bergetar. “Ibu masih nggak percaya kamu sebentar lagi jadi istri orang.”

Alya memaksakan senyum. “Alya juga masih nggak percaya, Bu.”

Jawabannya keluar terlalu jujur, terlalu cepat. Bu Murni terdiam, menatap putrinya lewat pantulan cermin.

“Sayang… kalau kamu mau batalkan, masih bisa. Ibu sama Ayah nggak akan marah. Yang penting kamu bahagia.”

Ucapan itu membuat hati Alya tersentak. Ia langsung menggeleng pelan.

“Sudah terlanjur sejauh ini, Bu. Lagian… Ardi orangnya baik. Ibu sendiri bilang begitu.”

“Iya, Ardi memang anak baik. Sopan, pekerja keras. Tapi… baik saja nggak cukup kalau hatimu nggak ke sana.”

Alya menunduk. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi. Yang ia tahu, ia hanya tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Ia tak ingin menjadi alasan keluarganya dipandang jelek oleh keluarga besar. Dan… entah kenapa, ia juga tak ingin melihat Ardi malu di depan banyak orang. Untuk alasan yang ia sendiri belum pahami.

Pintu kamar rias diketuk pelan.

Tok… tok… tok…

“Ya?” tanya Bu Murni.

“Bu, rombongan keluarga laki-laki sudah datang,” kata seorang sepupu Alya lewat sela pintu. “Ardi juga sudah siap, Bu.”

Alya merasakan jantungnya seperti jatuh. Ini dia. Saatnya tiba.

Prosesi berlangsung cepat terlalu cepat. Sementara semua orang tampak tegang dan khusyuk mengikuti jalannya akad, pikiran Alya justru kosong. Ia hanya mendengar potongan suara: bacaan ijab kabul, sahutan para saksi, gumaman tamu-tamu, dan kemudian…

“Sah!”

Kata itu menggema seperti gema panjang di telinga Alya. Semua orang bersorak pelan. Seolah seluruh beban dunia berpindah ke pundaknya dalam sekejap. Tubuhnya goyah. Tangannya mendingin.

Ardi menoleh pada Alya, memberikan senyum tipis. Senyum itu bukan senyum berlebihan seperti pria yang sedang jatuh cinta bukan. Senyum itu lebih seperti bentuk rasa syukur, lega, dan… sedikit ragu yang coba ia sembunyikan. Seolah ia pun masih tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Saat prosesi sungkeman dimulai, Ardi berlutut di hadapan kedua orang tua Alya. Ia menunduk dalam-dalam sambil mengucapkan janji bahwa ia akan menjaga Alya sebaik-baiknya. Suaranya tenang, tanpa getaran. Nyaris seperti seseorang yang sudah mempersiapkan diri untuk hal ini sejak lama.

Alya memperhatikan gerak-geriknya, dan untuk pertama kalinya hari itu, ia merasakan sesuatu yang tak terduga: rasa aman. Hanya sedikit, tapi cukup untuk membuatnya menelan air liur.

Giliran Alya maju. Lututnya lemah. Ia memeluk ibu dan ayahnya satu per satu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

“Nak, kamu harus kuat,” bisik Pak Rahman sambil menepuk punggung putrinya. “Pernikahan itu bukan hanya soal cinta… tapi juga komitmen.”

Kata-kata itu menusuk halus namun dalam.

Setelah prosesi selesai, para tamu dipersilakan menikmati hidangan. Musik dangdut lembut mulai terdengar, menghidupkan suasana pesta yang semakin ramai. Namun Alya tetap duduk diam di kursi pelaminan, jemari tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.

Ardi duduk di sampingnya.

Untuk beberapa menit, mereka hanya diam. Dua orang yang kini sah menjadi suami istri… tetapi belum saling mengenal sepenuhnya.

“Capek?” Ardi akhirnya bertanya, suaranya tenang dan tidak memaksa.

Alya hanya mengangguk. Ia tidak tahu harus berkata apa.

“Aku tau semuanya terasa mendadak buat kamu,” lanjut Ardi, masih dengan nada lembut. “Tapi… aku janji aku bakal usaha buat bikin kamu nyaman. Nggak akan paksa kamu apa-apa.”

Kata-kata itu membuat Alya menoleh. Untuk pertama kalinya, ia melihat ketulusan jelas di mata lelaki itu. Bukan cinta… tapi niat baik. Dan mungkin, itu sudah cukup sebagai permulaan.

“Terima kasih,” bisik Alya pelan.

Ardi tersenyum. Senyum yang sederhana. Senyum yang mungkin nanti akan sangat berarti atau justru menjadi awal dari segala kekacauan.

Alya belum tahu. Yang ia tahu hanyalah: hidupnya baru saja berubah. Dan tak ada jalan kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!