Ongoing
Feng Niu dan Ji Chen menikah dalam pernikahan tanpa cinta. Di balik kemewahan dan senyum palsu, mereka menghadapi konflik, pengkhianatan, dan luka yang tak terucapkan. Kehadiran anak mereka, Xiao Fan, semakin memperumit hubungan yang penuh ketegangan.
Saat Feng Niu tergoda oleh pria lain dan Ji Chen diam-diam menanggung sakit hatinya, dunia mereka mulai runtuh oleh perselingkuhan, kebohongan, dan skandal yang mengancam reputasi keluarga. Namun waktu memberi kesempatan kedua: sebuah kesadaran, perubahan, dan perlahan muncul cinta yang hangat di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
beberapa bulan kemudian pagi datang tanpa cahaya hangat. Langit di luar jendela abu-abu, seperti meniru suasana di dalam rumah itu sunyi, dingin, nyaris tak bernapas. Feng Niu terbangun dengan kepala berat dan rasa pahit di tenggorokan. Bukan karena alkohol semata, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih mengganggu.
Ia beranjak dari ranjang, langkahnya goyah. Di kamar mandi, ia berhenti mendadak. Perutnya bergejolak. Rasa mual naik cepat, tak memberi waktu berpikir. Feng Niu menutup mulutnya, membungkuk di depan wastafel. Ia muntah keras, menyakitkan, seolah tubuhnya menolak sesuatu dari dalam.
Tangannya bergetar saat ia menyalakan keran. “Kenapa…” gumamnya lirih. Ini bukan pertama kalinya pagi terasa seperti ini. Sudah beberapa hari. Awalnya ia mengira hanya kelelahan atau efek dari malam-malam panjang tanpa tidur. Tapi hari ini, rasa itu terlalu nyata. Terlalu jelas.
Feng Niu menatap pantulan wajahnya di cermin. Kulitnya pucat. Mata indah yang biasanya tajam kini terlihat lelah, terganggu. Ia mengerutkan dahi, mencoba mengingat..Tanggal. Hitungan. Dadanya terasa menghimpit.
“Tidak,” bisiknya cepat, seperti mantra penyangkalan. “Tidak mungkin.” Ia keluar kamar mandi dengan langkah cepat, membuka laci meja rias, membongkar isinya tanpa rapi. Tangannya menemukan benda kecil berbungkus plastik alat tes kehamilan yang dulu ia beli tanpa pikir panjang, hanya untuk berjaga-jaga.
Kini benda itu terasa seperti ancaman. Feng Niu berdiri lama di kamar mandi, alat itu di tangannya. Jantungnya berdetak terlalu keras. Setiap detik terasa seperti hukuman. Saat garis itu muncul—
Dua garis. Jelas. Tak terbantahkan. Feng Niu menjatuhkan alat itu ke lantai. “Tidak…!” Suaranya pecah. “Tidak. Ini tidak boleh terjadi.” Ia mundur selangkah, punggungnya menyentuh dinding dingin. Napasnya memburu. Otaknya kosong, tapi dadanya penuh oleh rasa panik yang tak terarah.
Anak. Kata itu terasa asing. Berat. Menakutkan. Anak berarti terikat. Anak berarti tidak bebas. Anak berarti… Ji Chen. Air mata tidak langsung jatuh. Yang ada justru amarah panas, liar, tidak rasional. “Kenapa harus sekarang…” desisnya.
Ia menatap perutnya, datar, belum berubah apa-apa. Tapi di sana… ada sesuatu yang tumbuh. Sesuatu yang mengikatnya pada kehidupan yang tidak pernah ia inginkan.
Di lantai bawah, Ji Chen sudah bersiap berangkat kerja. Jasnya rapi, dasinya lurus. Seperti biasa tenang, terkendali. Ia mendengar langkah kaki tergesa dari atas. Feng Niu turun tanpa menatapnya. “Kau tidak sarapan?” tanya Ji Chen pelan.
“Tidak lapar.” Nada suaranya tajam. Ji Chen mengamati wajah istrinya pucat, gelisah. “Kau sakit?” Feng Niu berhenti. Ia menoleh cepat. “Jangan sok peduli.”
Kata-kata itu meluncur tanpa rem. Ji Chen terdiam, tapi tidak marah. Ia hanya menghela napas kecil. “Aku hanya bertanya.” Feng Niu tertawa singkat. Sinis. “Tentu. Kau selalu hanya ‘bertanya’.”
Ia meraih tasnya, hendak pergi. Tapi sebelum melangkah, ia berhenti. Tangannya mengepal kuat. “Aku hamil.” Kalimat itu keluar kaku. Seperti lemparan benda tajam. Ji Chen membeku.
“Apa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Aku hamil,” ulang Feng Niu, lebih keras. “Anakmu.” Hening. Detik-detik berjalan lambat. Ji Chen tidak langsung bereaksi. Wajahnya kosong sejenak lalu sesuatu berubah. Matanya melebar sedikit, napasnya tertahan. Tangannya yang tergantung di sisi tubuh mengepal tanpa sadar. “Hamil…?” Ia menelan ludah. “Sejak kapan?”
“Aku tidak tahu,” jawab Feng Niu cepat. “Dan itu tidak penting.” Ji Chen melangkah mendekat, tapi Feng Niu mundur refleks. "Jangan sentuh aku.”
Ji Chen berhenti. Tangannya menggantung di udara, lalu perlahan turun kembali. “Kenapa kau marah?” tanyanya hati-hati. Feng Niu menatapnya tajam. Amarahnya mencari sasaran dan Ji Chen ada tepat di depannya. “Karena ini perangkap,” katanya tajam. “Karena hidupku sekarang benar-benar selesai.”
Ji Chen terdiam lama. “Ini anak kita,” katanya akhirnya. Suaranya rendah, berusaha tenang. “Aku akan bertanggung jawab.” Itu kesalahan terbesar yang bisa ia ucapkan.
Feng Niu tertawa keras. Tawa kosong, pahit. “Bertanggung jawab?” Ia melangkah maju, menatap Ji Chen lurus. “Kau pikir ini soal uang? Rumah? Nama keluarga?”
Ia menunjuk dadanya sendiri. “Aku tidak mau ini. Aku tidak mau jadi ibu.” Kata ibu keluar dengan nada jijik. Ji Chen menegang. “Kau belum mencoba—”
“Dan aku tidak akan,” potong Feng Niu tajam. “Aku tidak meminta ini. Pernikahan ini saja sudah cukup membuatku tercekik.” Ji Chen menatapnya lama. Ada sesuatu yang retak di dalam dirinya, tapi ia menahannya. "Kau tidak sendirian,” katanya pelan. “Aku ada.”
Feng Niu menggeleng keras. “Itu masalahnya,” bisiknya dingin. “Aku tidak ingin kau ada.” Kalimat itu menghantam lebih keras dari tamparan. Ji Chen tidak membalas. Ia berdiri diam, menerima semua itu tanpa perlawanan. Seperti biasa. Feng Niu mengambil tasnya dan pergi, pintu tertutup keras di belakangnya.
Di dalam mobil, Feng Niu menggenggam setir erat. Tangannya gemetar. Air mata akhirnya jatuh bukan karena sedih, tapi karena marah pada tubuhnya sendiri.
Ia menghubungi Qin Mo. “Aku hamil,” katanya begitu sambungan tersambung. Di seberang sana, Qin Mo terdiam sesaat, lalu tertawa kecil. “Dan kau panik?”
“Ini tidak lucu.”
“Aku tahu.” Nada Qin Mo berubah lembut. “Tapi dengar aku. Kehamilan bukan akhir dunia. Kau masih punya pilihan.”
Pilihan. Kata itu membuat Feng Niu terdiam. “Jangan biarkan siapa pun memaksamu menjalani hidup yang tidak kau pilih,” lanjut Qin Mo. “Termasuk suamimu.” Feng Niu menatap jalan di depannya. Kata-kata itu menenangkan dan berbahaya.
Sementara itu, Ji Chen duduk sendirian di ruang makan yang sunyi. Sarapan di meja belum tersentuh.
Anak. Ia akan punya anak. Seharusnya kabar itu membahagiakan. Tapi yang tersisa di dadanya hanyalah kekosongan yang dalam dan ketakutan. Ia mengangkat ponselnya, hampir menghubungi kakaknya, Fu Ji Rong. Tapi jarinya berhenti.
Belum. Ia menatap kursi kosong di seberangnya. Di antara mereka, kini ada kehidupan baru. Dan untuk pertama kalinya, Ji Chen menyadari sesuatu yang membuat dadanya sesak. Anak itu mungkin tidak akan pernah diinginkan oleh ibunya.