Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2 Shock
“Oh! Jadi begini kalau selingkuhan kamu datang?” suara Nyonya Merti menggema lantang di ruang tamu. Tatapannya menusuk tajam, penuh kebencian. “Bagus! Bagus sekali. Lihat ini—” Ia mengangkat ponselnya dengan senyum sinis. “Sudah aku kirimkan videonya ke suami kamu, Dinda. Tidak lama lagi, kamu akan merasakan akibatnya. Suamimu pasti menceraikan kamu.”
“Ma… jangan, Ma! Itu salah paham!” seru Adinda panik, air matanya mulai menetes. “Dia ini Kak Vikto, sahabat almarhum Kak Erizon! Dari kecil kami sudah kenal. Mana mungkin Dinda—”
“Diam kamu!” bentak Nyonya Merti, suaranya menggema seperti cambuk di udara. “Memang itu yang Mama inginkan! Kamu dan Riko harus segera bercerai. Hidupmu di rumah ini sudah cukup lama jadi beban keluarga!”
“Nyonya, mohon dengarkan saya dulu!” ujar Vikto dengan nada tegas tapi tetap menahan diri. “Sudah sering saya jelaskan, bahwa saya ini hanya pengganti peran almarhum Erizon untuk menjaga Dinda. Tidak ada hubungan apa pun diantara kami!”
Nyonya Merti menyeringai, menatap keduanya dengan tatapan mencemooh.
“Terus, kamu pikir aku akan percaya? Percaya sama dua orang yang pandai bersandiwara di depan mata?”
Tiba-tiba, ponsel di tangan Nyonya Merti berdering. Nama “Riko” muncul jelas di layar. Dengan sengaja, ia menunjukkan layar itu ke arah Dinda dan Vikto, bibirnya tersenyum penuh kemenangan.
“Lihat ini,” katanya pelan tapi menusuk. “Suamimu menelpon. Dengar baik-baik apa yang dia bilang.”
Sambungan telepon dibuka. Dari seberang terdengar suara Riko, terdengar berat dan penuh amarah.
“Ma…” suaranya menahan emosi. “Adinda benar-benar keterlaluan. Aku di sini kerja siang malam buat masa depan kami, tapi dia malah asyik bertemu laki-laki lain di rumah!”
“Riko, dengarkan dulu aku—” Adinda berusaha menyela, tapi suara dari ponsel menimpanya lebih keras.
“Cukup, Dinda! Aku nggak mau dengar alasan lagi! Aku akan segera pulang dan urus perceraian ini. Kalau memang itu yang kamu mau… semoga kamu puas!”
Deg!
Dunia seakan berhenti berputar.
Adinda terpaku di tempat, dadanya serasa diremas dari dalam. Ucapannya tertahan di tenggorokan, sementara air mata menetes tanpa bisa dihentikan.
Di seberangnya, Nyonya Merti menatap puas, senyum licik tersungging di bibirnya.
Sementara Vikto hanya bisa menggenggam tangan Adinda yang gemetar, berusaha menenangkan perempuan yang hatinya baru saja dirobek oleh orang yang paling ia cintai.
Belum sempat Adinda menenangkan diri, suara Nyonya Merti kembali menggelegar memenuhi ruangan.
“Sudah cukup sandiwaranya! Sekarang kamu, Vikto, keluar dari rumah ini!”
“Maaf, Nyonya,” ujar Vikto masih berusaha tenang, meski wajahnya mulai memerah menahan amarah. “Saya datang bukan untuk membuat masalah, saya hanya ingin menjenguk Dinda. Nyonya terlalu jauh menuduh sesuatu yang tidak terjadi.”
“Diam!” bentak Nyonya Merti. Tatapannya penuh kebencian dan penghinaan. “Jangan sok suci di depan saya! Saya sudah punya bukti. Dan mulai hari ini, kamu tidak diizinkan lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Pengawal!” serunya lantang.
Beberapa staf rumah yang sedari tadi berdiri di ujung ruangan mulai mendekat, membuat suasana semakin tegang.
Vikto memandang Adinda yang mulai menangis.
“Dinda… aku minta maaf. Aku tidak bermaksud memperburuk keadaan.”
Adinda hanya bisa menggeleng pelan, air matanya jatuh deras.
“Pergilah, Kak Vikto. Aku tidak mau kamu disakiti karena aku.” Suaranya bergetar, tapi matanya menatap tulus, penuh luka yang tak bisa diungkapkan.
“Dengar itu!” seru Nyonya Merti dengan senyum puas.
Vikto mengepalkan tangannya, menahan emosi yang hampir meledak. Ia menatap Nyonya Merti dengan dingin.
“Suatu hari nanti, Nyonya akan tahu siapa yang benar. Dan saat hari itu datang, jangan menyesal telah menghancurkan perempuan sebaik Adinda.”
Tanpa menunggu jawaban, Vikto berbalik. Langkahnya berat, tapi tegas. Pintu besar rumah itu tertutup di belakangnya dengan bunyi keras, meninggalkan keheningan yang menusuk di dalam ruangan.
Adinda terisak dalam diam. Tubuhnya lemah, namun hatinya jauh lebih hancur.
Sementara Nyonya Merti hanya berdiri tegak, menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, bibirnya menyeringai dingin.
“Sudah selesai. Sekarang tinggal tunggu Riko pulang,” katanya pelan, penuh kepuasan.
Mbak Tia segera membantu Adinda masuk ke kamar. Wajah Adinda pucat, matanya sembab, dan tubuhnya terasa lemah.
Ia duduk perlahan di tepi ranjang, menatap kosong ke arah lantai.
Perasaannya hancur berkeping-keping.
Riko, suaminya, orang yang dulu bersumpah akan menjaganya, kini justru percaya pada fitnah yang ditiupkan oleh ibunya sendiri. Padahal Riko tahu, Vikto hanyalah pengganti sosok kakaknya, Erizon, yang dulu selalu melindunginya. Tapi waktu dan hasutan membuat logika suaminya kabur, hatinya buta oleh amarah.
“Nona, minumlah dulu,” ucap Mbak Tia lembut sambil menyerahkan segelas air hangat. “Biar pikiran Nona sedikit tenang. Jangan banyak berpikir dulu, ya? Pikirkan kesehatan Nona. Saya tidak mau lihat Nona sakit lagi.”
Adinda menerima gelas itu dengan tangan gemetar, meneguknya perlahan, lalu menarik napas panjang.
Air mata yang tadi sempat tertahan kini kembali mengalir tanpa bisa dibendung.
“Seburuk itukah aku di mata suamiku, Mbak?” suaranya lirih, hampir berbisik. “Bukankah sudah jelas aku tidak punya hubungan apa pun dengan Vikto? Tapi kenapa… kenapa dia begitu tega menuduhku tanpa bukti?”
Mbak Tia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu tak ada kata yang benar-benar bisa menenangkan hati Adinda saat ini.
“Nona sabar, ya. Semoga nanti, kalau Tuan Riko sudah pulang, dia bisa berpikir jernih. Semoga Tuan tidak lagi mudah dihasut oleh Nyonya, dan bisa melihat siapa Nona sebenarnya.”
Adinda menggeleng pelan, menatap ke arah jendela yang tertutup tirai tebal.
“Aku tidak tahu, Mbak… rasanya di rumah ini aku bukan lagi istri, bukan juga manusia. Aku seperti tahanan, diawasi, dikekang, difitnah. Dan yang paling menyakitkan… tidak ada satu pun yang percaya padaku.”
Mbak Tia menunduk, menahan tangis yang nyaris pecah.
Ia tahu, kesabaran Adinda hampir habis. Yang tersisa kini hanyalah perempuan rapuh yang berjuang sendirian di tengah keluarga yang seharusnya melindunginya.
Karena khawatir kondisi Adinda semakin drop, Mbak Tia berusaha membujuk dengan lembut.
“Nona, istirahat dulu, ya. Jangan terlalu banyak berpikir. Nanti badan Nona bisa makin lemah.”
Adinda hanya mengangguk pelan. Matanya terasa berat, pikirannya masih sesak oleh kejadian yang baru saja menimpanya. Ia berharap dengan tidur, luka hatinya sedikit saja bisa mereda.
Mbak Tia duduk di kursi di sisi ranjang, matanya tak lepas mengawasi Adinda. Ia tidak berani jauh, takut kalau tiba-tiba Nona-nya membutuhkan sesuatu. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan menandai waktu yang berjalan lambat di rumah itu.
Beberapa menit berlalu.
Adinda tiba-tiba terbangun. Napasnya memburu, dadanya naik-turun cepat, seolah baru saja keluar dari mimpi yang menakutkan. Wajahnya pucat, dan peluh dingin membasahi pelipisnya.
“Nona?” Mbak Tia segera berdiri dan mendekat, panik melihat perubahan itu. “Nona baik-baik saja?”
Adinda hanya mengangguk pelan, matanya masih tampak kosong.
“Aku… aku mimpi buruk, Mbak,” katanya dengan suara serak. “Tolong ambilkan air minum. Tenggorokanku kering… rasanya panas.”
“Baik, Nona. Tunggu sebentar.”
Mbak Tia cepat mengambil segelas air dari meja kecil di dekat tempat tidur, lalu menyerahkannya.
Adinda menerima gelas itu dengan tangan gemetar, meneguknya perlahan.
Setiap tegukan terasa berat, seperti menelan luka dan air mata yang belum kering. Setelah itu, ia menatap kosong ke langit-langit kamar, bibirnya bergetar seolah ingin bicara, tapi yang keluar hanya satu helaan napas panjang yang penuh sesak.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..