Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 - Tiramissu
Vee
“Victoria Sinclair.” Suara bariton Profesor Hill terdengar rendah namun tegas saat kelas berakhir, menggema di ruangan kosong ini. Tatapan tajamnya membuat perutku menegang oleh gugup.
“Ya, Pak. Maaf kalau saya mengganggu kelas Anda hari ini. Saya baru tiba di Ashenwood pagi ini dan… jadwalnya cukup padat. Saya belum sempat beristirahat.” Aku berusaha tersenyum, meski wajahku terasa panas.
Dan seolah tubuhku ingin mempermalukanku lebih jauh, perutku tiba-tiba berbunyi keras. Pipiku langsung memerah. Profesor Hill menghela napas pelan, matanya menatapku sedikit lebih lama dari yang seharusnya.
“Kapan terakhir kali kamu makan?” Suaranya datar, tapi samar-samar terdengar nada khawatir di baliknya.
Aku berpikir sejenak. “Entahlah… mungkin tadi malam, sebelum penerbangan.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil jaketnya dan melangkah menuju pintu. Tubuhnya yang tinggi dan langkahnya yang teratur terdengar mantap. Aku hanya berdiri diam, terpaku.
“Sekarang sudah pukul enam sore,” katanya akhirnya, suaranya dalam. “Kamu merantau disini, dan seharian belum makan.” Ia menoleh ke arahku, tatapannya tajam namun hangat. “Ikut aku. Setidaknya, kamu harus makanan.”
Tenggorokanku terasa kering. Benarkah ini Profesor Hill yang tadi begitu dingin dan menakutkan? Bukankah dia seharusnya sudah muak dengan mahasiswa pindahan yang menyebalkan sepertiku?
Namun kemudian, perutku berbunyi lagi—lebih keras kali ini. Tubuhku kembali mengkhianatiku.
“Ayo,” katanya singkat.
Aku menunduk, berusaha menyembunyikan malu, dan cepat-cepat mengikutinya. “Baik, Pak.”
\~\~\~
Tyler
Apa yang kau lakukan, Tyler? Dia mahasiswi, dan kau dosennya. Walaupun sebenarnya hanya pengganti, karena Thomas lah seharusnya yang mengajar. Tapi tetap saja, saat ini dia masih menjadi mahasiswi mu. Dan kau malah membawanya ke Laura’s Kitchen
Satu-satunya tempat di Ashenwood dimana aku terbiasa menikmati makan malam yang sunyi. My comfort place. Apa yang ku pikirkan?
“Terima kasih sudah mengajak saya kesini, Pak”
Dia duduk di depanku. Wajahnya masih terlihat jejak lelah dari perjalanannya, rambutnya diikat, namun ikatannya mengendur, membuat beberapa helai rambutnya jatuh di bahunya. Namun, matanya masih memancarkan cahaya—that hazel eyes—bersinar terang dibalik kelelahannya.
“Pesan apapun yang kamu inginkan,” Aku berkata dengan nada datar. “Tapi jangan berlebihan, hanya yang sanggup kau habiskan saja. Tidak baik membuang makanan”
Matanya langsung berbinar dan membaca menu dengan seksama, membolak balik menu dengan semangat. Aku berusaha mengalihkan pandangan dengan melihat menu, menu yang sama yang sudah ku lihat berkali-kali. Namun malam ini, terasa berbeda.
Dari balik konter, Laura menatapku dengan senyum nakal, matanya menyipit penuh godaan. Ia mendekat ke meja kami, suaranya ceria.
“Selamat malam. Sudah memutuskan mau pesan apa?”
“Tagliatelle al Ragù untukku,” Aku menjawab cepat, “Dan Carbonara untuknya.”
Dia mengerutkan dahi, mengangkat sebelah alisnya.
“Bukankah Anda bilang tadi saya boleh pesan apapun? Kenapa malah memesan untuk saya?”
Aku menatapnya sekilas, menahan senyum. “Kau kelihatannya masih ragu, jadi ku pesankan untukmu. Jika tidak suka, boleh ganti pesan apapun yang kau inginkan”
Dia menghembuskan nafas, lalu menatap menu. “Baiklah, tapi aku ingin tambah Caprese Salad, Garlic Bread, dan… dessert apa yang paling enak disini, Pak?”
“Tiramisu. 1 porsi saja” Aku menjawab tegas. “Kau tidak akan sanggup menghabiskannya sendirian.”
“Baiklah.”
Ada kilatan kemenangan di matanya, seperti habis memenangkan sesuatu.
Laura menuliskan pesanan, bibirnya menahan tawa. “Baiklah saya ulangi pesanannya, Tagliatelle al Ragù, Carbonara, Caprese Salad, Garlic Bread, dan satu porsi Tiramisu untuk sharing. Minumnya?”
“Sparkling water saja.”
“Baiklah, tunggu sebentar yaa.” Dia berbalik, namun sempat berkedip nakal ke arahku.
Tentu saja. Bagi Laura, ini pasti terlihat seperti… kencan.
\~\~\~
Vee
Sepuluh menit berlalu sejak pelayan mengambil pesanan kami, dan tak satu pun dari kami berbicara. Profesor Hill tenggelam dalam bukunya, kacamatanya sedikit melorot di hidung. Sementara aku sibuk berpura-pura tertarik pada segala hal di restoran—lantai kayu gelap, lampu gantung, bahkan garam di meja seketika terlihat sangat menarik. Apapun untuk mengalihkan perhatianku dari keheningan ini.
Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku harus bicara.
“Professor Hill, apakah—”
“Tyler.” Suaranya memotong, tegas, tanpa menatapku.
Aku tertegun.
“Usia kita tidak terpaut jauh. Lagipula, saya hanya dosen pengganti. Tidak perlu terlalu formal saat tidak di lingkungan kampus,” dia menambahkan, suaranya lebih lembut kali ini.
“Jadi, ehm….Tyler.” Lidahku terasa kaku. Rasanya aneh memanggilnya langsung dengan nama. Bagaimanapun, beliau masih mengajar di kelas. “Prof Rodriguez berkata kalau ingin berdiskusi terkait tugas akhir dengan Professor Hunt bisa melalui anda.”
“Professor Hunt sedang cuti, sampai waktu yang belum bisa ditentukan.” Dia berkata sembari membalik halaman bukunya. Aneh sekali bagaimana dia bisa berkonsentrasi membaca dan berbicara
“Jadi saya belum bisa bertemu dengan beliau ya? Sayang sekali, ini tahun terakhir saya disini. Saya penggemar berat beliau, sudah menonton semua karyanya terutama The Last Duchess, yang sudah saya tonton berkali-kali sampai hafal semua dialog nya, seperti saat Christopher si pengembara mengonfrontasi Duchess Kathrine karena sudah menghancurkan hidupnya ‘Katakan padaku wahai Duchess, apa yang kau inginkan kali ini?.....’”Ujarku sembari mencontohkan beberapa adegan yang ku ingat.
Kali ini, matanya terangkat dari buku, lalu menatapku. Tatapannya begitu dalam sampai rasanya aku ingin meleleh saja ke kursi. “Lalu? Kau pikir kau special? Ada ratusan, bahkan ribuan penggemar beliau seperti kau.”
Aku memaksakan senyum kecil “Tapi, saya pindah universitas dan jurusan, jauh-jauh kesini, ke Ashenwood University, hanya untuk belajar langsung darinya”
“Oh ya? Sayang sekali kau tidak bisa belajar langsung dari beliau” Nadanya sarkas menusuk, tapi anehnya membuat jantungku berdetak lebih cepat. “Pasti berat meninggalkan kota besar hanya untuk bertemu ‘idola’. Dari mana asalmu?”
“Cali. Sekitar 4 jam dari ibukota. Disana hangat, dan dekat dengan Pantai. Anda harus kesana sesekali, mungkin bisa mencerahkan suasana hati Anda..”
Tyler menutup bukunya perlahan, lalu meletakkan di meja. Kali ini melipat tangannya di meja, lalu menatapku dengan tajam
“Kau pikir saya belum pernah ke Cali?”
Aku menelan ludah. “Entahlah, mungkin saja belum?”
“Saya sudah pernah kesana sekali. Dan biasa saja, saya tidak mengerti mengapa orang begitu melebih-lebihkan Cali. Disana terlalu panas. Lebih baik Ashenwood, saya sudah tinggal disini selama 27 tahun.”
Aku tertawa gugup. “Benar juga. Saya juga ingin pergi sejauh mungkin dari Cali…”
Untungnya, pelayan yang tadi datang membawa makanan kami, sebelum Tyler bisa membaca lebih jauh apa yang baru saja ku katakan. Walaupun, matanya masih menatapku seperti ingin menggali lebih jauh.
Aku menatap makanan di meja—Spaghetti carbonara yang dengan saus creamy kental, dan garlic bread. Baunya sangat menggugah selera makan, dan perutku kembali berbunyi, tapi aku tidak peduli. Akhirnya aku betemu makanan setelah sekian lama.
“Makanlah,” Tyler berkata.
Aku mengangguk lalu meraih garpu. Saat mencoba memutar spaghetti di piring, tanganku tidak sengaja menyentuh garlic bread jatuh ke meja. Secara refleks aku meraihnya—Saat Tyler mencoba meraihnya pada waktu yang bersamaan.
Tangan kami bersentuhan. Hangat, dan tak terduga.
Aku menarik tanganku cepat. “Maaf! Saya—”
Ia menatapku sekilas, rahangnya menegang. Lalu dengan tenang, ia meletakkan sepotong garlic bread itu di piringku. Suaranya dingin.
“Makanlah perlahan, fokus pada piringmu. Jangan jadikan makan malam ini hancur karena kecerobohanmu.”
Aku meringis, lalu terkekeh pelan. “Baik, Pak—eh, maksudku, Tyler.”
Ia menghela napas, tapi aku menangkap sedikit gerakan di ujung bibirnya. Hampir seperti… senyum.
Aku mencoba mencairkan suasana. “Tahu tidak, saya pernah mencoba masak carbonara sendiri. Hasilnya… tidak bisa dimakan. Sausnya menggumpal, pastanya lembek, dan adikku bilang rasanya seperti makanan bayi.”
Tyler meletakkan garpunya, menatapku tajam. “Lalu?”
Aku tersenyum malu. “Sejak itu saya bersumpah tidak akan menyiksa siapa pun dengan eksperimen masakanku lagi. Bahkan microwave pun tampak gugup kalau aku mendekat.”
Hening.
Lalu, sesuatu yang mengejutkan. Suara rendah, tertahan… tawa. Singkat, pelan… tapi nyata.
Aku menatapnya, ternganga. “Barusan itu… tawa? Astaga, ternyata Anda bisa tertawa!”
Ia menutup mulut dengan tangan, menggeleng. “Jangan besar kepala. Itu cuma… refleks.”
Tapi aku melihatnya, hangat yang berkilau di matanya.
Untuk pertama kalinya malam itu, suasana rasanya tidak terlalu canggung lagi diantara kami.
Makan malam berlalu dalam ritme aneh tapi lembut. Tyler tetap tenang, berhati-hati, tapi sesekali aku menangkap sisi lembut di balik ketegasannya. Dan setiap kali aku berhasil membuatnya tersenyum walau sedikit, rasanya seperti kemenangan kecil.
Ketika Laura kembali, ia membawa sepiring tiramisu, krimnya lembut, taburan coklat bubuknya sempurna. “Satu porsi Tiramissu,” katanya dengan nada penuh arti, lalu pergi lagi.
Aku menatap dessert itu sejenak, lalu melirik Tyler. “Anda yakin ini cukup untuk dua orang?”
“Percayalah. Kamu tidak akan sanggup menghabiskannya sendiri. Terutama saat kau sudah makan seluruh Caprese Salad dan Garlic Bread di meja”
Ia menyendok sedikit, mendorong piring ke arahku. “Coba.”
Aku mengulurkan sendok, tapi beradu dengan sendoknya. Bunyi logam yang lembut membuatku terdiam. Tatapan kami bertemu—dan aku merasa kali ini, ia tak lagi menatapku sebagai dosen. Pandangannya lebih dalam. Berbeda.
Aku buru-buru mencicipinya, berusaha menyembunyikan kegugupan. Krim manis dan pahit kopi meleleh di lidahku. “Enak sekali,” bisikku.
Tyler mencicipi bagiannya. Ia mengangguk sekali. “Lumayan.” Tapi sorot matanya jelas lebih memperhatikan reaksiku daripada rasa tiramisu itu sendiri.
Kami makan perlahan, saling bergantian, sendok kami sesekali bersentuhan lagi. Setiap kali itu terjadi, jantungku berdebar makin kencang. Di sekitar kami, restoran mulai sepi, hanya musik jazz lembut yang tersisa di udara.
Dan saat itu aku menyadari sesuatu. Dinding di sekitar Tyler—yang dingin, kokoh, dan tak tersentuh—mulai retak.
Dan aku? Aku sudah terjatuh melewatinya…
\~\~\~