Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1: Perintah Raja
"Yang Mulia, saya membawakan pesan Baginda Raelys"
Sosok wanita berambut keemasan yang kusut menoleh ke belakang. Matanya begitu sayu, seakan dia sudah menyerah akan kehidupannya.
Dada pemuda berseragam pengawal itu, terasa begitu sakit saat melihat wajah perempuan itu yang kini tak tersenyum lagi.
"Baginda, ingin bertemu dengan Anda" jawab pemuda itu menundukkan kepalanya.
Perempuan itu membuang pandangannya, seakan enggan menjawab ataupun menatap pengawal itu terlalu lama. Namun, pengawal itu tidak kunjung pergi, dan membuat kekesalan dari hati perempuan berambut emas itu.
"Apa yang kau tunggu? Pergi dari hadapanku" ucapnya.
Pengawal dengan rambut hitam legam itu, masih menatap punggung Putri Raelys yang enggan menatapnya.
"Baginda, meminta saya untuk mengantarkan Anda" jawabnya.
Tidak ada jawaban.
Putri Andralia Raelys segera berdiri dan berjalan terlebih dahulu melewati Pengawalnya itu.
Rambut keemasannya yang kini kusut, hanya bisa dipandang dari jauh oleh Lucian Beasley, Pengawal Kerajaan Erundil yang dipercaya oleh Raja Alvart Raelys.
...♧♧♧...
Di dalam ruangan luas dengan aroma rempah yang kuat, Alvart Raelys, Raja Kerajaan Erundil harus terbujur di ranjangnya karena kondisinya yang terluka setelah penyerangan di malam itu. Dan di malam yang sama, suami Putri Andralia dan juga Pangeran Kedua Kerajaan Xerl tewas tertikam oleh penyusup itu.
"Putri Andralia sudah tiba, Baginda" Kyle Beasley, tangan kanan Alvart membantu mempapahkan tempat duduknya.
Kyle Beasley adalah tangan kanan Alvart Raelys. Dia adalah Prajurit tipe penyerangan yang terkenal dengan sebutan Iblis pembunuh. Sayangnya, di malam tewasnya suami Andralia, dia telah dilumpuhkan oleh musuh terlebih dahulu dengan racun tipe bius.
Kyle menoleh ke arah Lucian begitu mereka berdua memasuki kamar Alvart. Lucian paham dengan maksud ayahnya. "Yang Mulia, saya akan menunggu di luar" ucap Lucian.
Namun, Alvart berkata lain. "Kamu masuk Lucian. Kyle, tetaplah di sini."
Andralia tidak banyak berbicara, dia segera mendekat ke arah ranjang Ayahnya dan duduk di kursi dekat ranjang itu.
Alvart menatap wajah putri cantiknya yang kini kehilangan sinar mudanya. Kulit pucat itu dulu begitu hangat setiap kali tersenyum padanya. Kini, hanya keheningan yang menatap balik.
"Andralia..." suara Baginda begitu serak dan berat, "kau masih menyalahkan dia?"
Andralia tidak menjawab. Jemarinya meremas ujung gaunnya yang lusuh, menahan gemuruh di dadanya.
Lucian berdiri kaku di sisi pintu, tak berani menatap langsung. Tapi dalam diamnya, dia mendengar bagaimana napas sang putri bergetar.
"Keputusan Lucian itu benar"
Ucapan Alvart membuat mata sayu Andralia terbuka lebar. Dia begitu berani menatap Ayahnya dengan tatapan penuh amarah itu.
"Lucian adalah Pengawal Ayah. Kematian suamimu tidak bisa dihindari malam itu. Jangan menyalahkan Lucian karena dia tidak datang menyelamatkan suamimu"
"TAPI AYAH! DIA SUDAH BERJANJI UNTUK DATANG SETIAP AKU MEMANGGILNYA!" Suara Andralia begitu nyaring. Setiap suara yang keluar, siapapun yang mendengarnya bisa merasakan sakitnya.
"Andralia. Jika tidak ada Lucian, baik Ayah ataupun kamu, kita berdua bahkan petinggi Erundil bisa tewas, nak" Alvart masih bersikap lembut kepada Putri tunggalnya.
Air mata Andralia pecah. Membasahi pipinya. Napasnya tak terkendali, dia sesegukan. "Pernikahan kami, belum genap 3 bulan, Ayah...." suara Andralia melemah. Dia menutup wajahnya dengan tangan kanan, seolah ingin meraupnya dengan kasar.
Andralia begitu marah, namun dia hanya bisa diam dan menangis.
"Aku harus bagaimana lagi, Ayah?"
"Banyak hal yang kami cita-citakan berdua. Tapi, segalanya hancur malam itu, Ayah" ucap Andralia dengan hati yang sangat berat.
Alvart melihat ke arah Lucian yang ada di kejauhan, berdiri disanding pintu kayu besar yang tertutup rapat. Lucian masih berdiri dengan sikap sempurna bagi Pengawal, namun wajahnya masih menatap lantai. Kyle yang ada di sebelah Lucian, tidak mengerti tatapan pilu yang Alvart tunjukkan saat melihat Lucian.
"Aku sangat malu dengan statusku sekarang, Ayah. Akan banyak orang dari kalangan Bangsawan yang menganggapku sebagai aib" Andralia melihat perlahan ke arah Alvart yang masih memandang Lucian.
"Ayah..." panggilan itu, membuat Alvart menoleh dengan cepat.
"Kalau begitu, bagaimana dengan Lucian?"
Kedua mata Andralia kembali terbulat lebar. Begitu juga Lucian yang mendengarnya, langsung melihat ke arah Alvart.
"Ayah tidak bisa terlalu lama di singgahsana. Ayah memanggilmu karena hal ini. Luka Ayah terlalu parah untuk bertahan di kursi Erundil"
Udara dalam ruangan terasa berat, seakan waktu berhenti bersamaan dengan ucapan itu.
Andralia terdiam, matanya bergetar menatap Ayahnya yang kini terlihat jauh lebih tua dari seminggu lalu.
"Ayah... maksud Ayah?" suaranya nyaris berbisik, antara takut dan tak percaya.
Alvart menarik napas dalam-dalam, napas yang disertai rasa sakit di dadanya.
“Lucian…” katanya lirih. “Dia akan menjadi tangan kananmu. Dan… jika takdir mengizinkan, penggantiku.”
Andralia sontak berdiri, kursi di belakangnya terguling. “Ayah!” serunya penuh penolakan. “Dia… dia hanya seorang pengawal! Seorang… orang biasa yang bahkan tak mengerti apa artinya darah Erundil!”
Kyle menunduk, matanya gelap, menahan diri agar tak ikut bereaksi. Lucian, sementara itu, masih terpaku. Seolah jantungnya berhenti berdetak.
Namun, Raja Alvart tetap tenang.
“Lucian bukan orang biasa, Andralia. Seiring waktu berjalan, kamu akan mengetahuinya" Alvart mengulurkan tangannya pada putrinya.
Andralia memandang ayahnya tanpa berkedip, air mata baru kembali jatuh. Tapi kali ini bukan sekadar kesedihan, melainkan kekecewaan.
Angin dari jendela mengusap tirai sutra, menimbulkan suara lirih seperti helaan napas terakhir.
Lucian akhirnya berlutut di sisi lain ranjang Alvart.
“Yang Mulia…,” katanya pelan, “saya mohon, jangan bebankan kehendak ini pada Putri. Saya tidak pantas.”
Namun Alvart mengelengkan kepalanya, kemudian menatap lurus ke arah pemuda itu.
“Takdir tidak menunggu siapa pun, Lucian. Saat malam menelan Erundil, cahaya hanya akan datang dari orang yang berani menanggung kebencian untuk melindunginya”
Kedua mata Lucian terbelalak, seakan dia paham maksud lain dari ucapan Alvart.
Andralia pergi dari kamar Alvart tanpa permisi. Langkahnya begitu kasar, bahkan dia membanting pintu kamar Alvart.
Alvart tersenyum tipis kepada Lucian, saat mata merah itu menatapnya dengan raut kesedihan. "Aku tidak pernah menyesali keputusanku, nak. Aku sudah mengenalmu sejak lama. Kau sudah ku anggap seperti anak sendiri" Alvart melambaikan tangannya pada Lucian untuk mendekat ke arahnya.
Lucian mengikuti perintah Alvart.
"Biarkan aku serakah sedikit lebih banyak padamu. Tolong lindungi Andralia lebih dariku. Darah Erundil mengalir pada nadinya. Maafkan aku karena sudah membuatnya benci padamu" Alvart mengusap rambut hitam legam Lucian.
Lucian hanya menunduk, tidak menjawab 'iya' maupun 'tidak'. Baginya, ini sungguh seperti mimpi. Jantungnya terus berdebar, dia merasa begitu senang bisa mendapatkan sosok yang dia cintai selama ini, meski harus dengan cara yang paling kotor.