Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah Menikah, Tanpa Pesta, Tanpa Rasa.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Nayara binti Adiputra dengan mas kawin satu set perhiasan berlian, dibayar tunai.”
Suara Savero terdengar datar, dingin.
“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu.
“Sah.” jawab para saksi serempak.
Ayah dan ibu Savero langsung berdiri, tatapan ayahnya tajam, penuh kecewa, sebelum akhirnya melangkah keluar tanpa sepatah kata. Sementara orang tua Jingga hanya saling pandang, kaku dan kikuk.
“Kita pulang saja.” suara ayah Jingga terdengar hambar, lalu ia dan istrinya pergi, meninggalkan putri mereka begitu saja di rumah besar itu.
Tak ada foto, tak ada pesta, hanya akad yang tergesa. Pernikahan yang lebih menyerupai vonis.
Malamnya, kamar pengantin begitu hening. Jingga masih duduk di pinggir ranjang dengan kebaya yang belum sempat ia ganti. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, penuh perlawanan.
“Siapa yang suruh kamu duduk di tempat tidur saya?” suara Savero memecah keheningan, nyaring dan menusuk.
Jingga mengangkat wajah, menatapnya dengan sinis. “Terus saya harus duduk di mana? Kursi kerja kamu? Tadi kamu larang. Sofa juga kamu larang. Jadi maunya anda saya duduk di lantai, begitu?”
Savero melangkah mendekat, rahangnya mengeras. “Jangan ge-er. Cuma karena akad tadi sah, bukan berarti kamu punya tempat di hidup saya. Pernikahan ini cuma karena keterpaksaan. Kalau bukan karena khilaf malam itu, sampai dunia kiamat pun aku nggak akan menikahi kamu!”
Jingga terkekeh, pelan tapi menusuk. “Tenang aja, Pak. Saya juga nggak pernah mimpiin nikah sama orang kayak Bapak. Cowok jutek, tempramen nggak kira-kira, perfeksionis lebay, gengsi setinggi menara. Duh, mimpi buruk banget hidup sama Bapak.”
“Jaga mulutmu, Jingga!” bentak Savero, matanya yang tajam melotot.
Jingga malah bersedekap, kepalanya terangkat menantang, dengan senyum tipis. “Kenapa? Kesindir? Fakta kan, Pak. Hidup saya berantakan gara-gara satu malam. Bapak mabuk, saya yang harus nanggung. Jadi jangan kebalik ya, yang seharusnya jangan ge-er itu Bapak, bukan saya.”
Savero terdiam sejenak, dadanya naik turun. Tangannya mengepal, tapi ia menoleh ke arah lain, memilih memijit pelipisnya. “Diam, Jingga. Saya nggak mau dengar ocehanmu.”
“Pas banget.” Jingga berdiri, melangkah ke sisi lain ranjang, lalu mengambil bantal. “Saya juga malas ngomong sama orang kayak Bapak. Tenang aja, ranjang Bapak aman. Saya tidur di sofa.”
Savero menoleh cepat. “Sofa itu… “
“… Nggak usah banyak larangan.” Jingga memotong, suaranya tajam. “Mulai malam ini, aturannya satu, kita tinggal serumah, tapi hidup masing-masing. Setuju atau nggak, terserah. Yang jelas, saya nggak sudi jadi istri Bapak yang nurut-nurut manis. Catat itu, Tuan Savero.”
Ia melempar bantal ke sofa, rebah dengan santai, seakan ruangan itu miliknya.
Savero berdiri mematung, tatapannya gelap. Ia ingin marah, tapi kata-kata Jingga terlalu telak untuk dibantah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi Hari Setelah Akad
Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar besar itu. Jingga duduk di kursi rias, menyisir rambut panjangnya sambil bersenandung kecil. Wajahnya terlihat segar, meski semalam emosinya sempat meledak.
Savero keluar dari kamar mandi, kemeja putih sudah menempel di tubuhnya, rambut masih sedikit basah. Ia berdiri beberapa langkah di belakang Jingga, menatap pantulan perempuan itu di cermin.
“Kita harus bicara,” ucapnya datar.
Jingga berhenti menyisir, menoleh sedikit dengan senyum miring. “Waduh, pagi-pagi sudah pakai nada perintah. Jangan-jangan semalam belum puas ngomel ya, Pak Direktur?” suaranya ringan, jelas mengejek.
Savero tidak menanggapi candaan itu. Ia melangkah mendekat, jaraknya kini hanya beberapa meter dari Jingga. “Mulai hari ini, tidak ada satu orang pun yang boleh tahu kita sudah menikah. Di kantor, semuanya harus berjalan seperti biasa. Saya tetap Direktur Utama, kamu tetap staf keuangan. Mengerti?”
Jingga meletakkan sisirnya di meja, lalu menoleh penuh, menatap Savero dengan alis terangkat. “Rahasia negara banget, ya? Santai saja, Pak. Saya juga nggak mau orang tahu. Malu dong kalau ketahuan. Jadi tenang, bibir saya terkunci rapat, pakai segel super glue.”
Savero memicingkan mata, tidak yakin dengan sikap enteng perempuan itu. “Dan satu hal lagi,” lanjutnya dengan suara lebih dingin, “jangan pernah menganggap pernikahan ini mengikat apa pun. Kita open marriage. Saya bebas dengan siapa pun, kamu juga bebas.”
Butuh satu detik bagi Jingga untuk mencerna kata-kata itu. Lalu, alih-alih marah, ia justru tertawa renyah, lepas tanpa beban. “Hahaha! Serius, Pak? Jadi ini kayak nikah bohongan? Sah di atas kertas, tapi bebas di lapangan? Mantap! Saya suka perjanjian ini.”
Ekspresi Savero nyaris tak berubah, hanya dahinya yang sedikit berkerut. “Kamu malah senang?”
“Lha, kenapa enggak?” Jingga berdiri, meraih tas kerjanya dari sofa. “Artinya saya masih bisa sama Mahesa.” Ia menyebut nama itu dengan enteng, seolah sedang membicarakan teman lama.
Savero menoleh cepat. “Siapa itu Mahesa?”
Jingga langsung tergelak, ekspresinya cerah. “Ya Tuhan, Pak Direktur Utama nggak kenal? Padahal dia kerja di kantor juga. Asisten Manajer. Rajin banget orangnya, kalau saya pulang lembur suka dianterin ke halte. Baik hati pokoknya.”
Savero hanya menatap sekilas, lalu kembali sibuk merapikan dasinya. “Saya tidak peduli. Itu urusanmu.”
“Bagus,” jawab Jingga cepat, senyumnya makin lebar. “Berarti kita satu suara. Saya bebas, Bapak juga bebas. Partner in crime yang pura-pura asing tapi sah di mata hukum. Asyik juga ternyata hidup jadi istri Bapak.”
Savero menutup kancing terakhir di lengannya, matanya kembali menatap Jingga dengan sorot dingin. “Kamu benar-benar menyebalkan.”
Jingga sudah berdiri di ambang pintu, tapi sempat menoleh sambil mengangkat dagu. “Iya, tapi menyebalkan yang cantik.” Ia mengedipkan sebelah mata, lalu keluar sambil bersenandung riang.
Savero mematung beberapa detik, rahangnya mengeras. Perempuan itu benar-benar berisik. Dan sialnya, ia tidak tahu harus bagaimana menghadapinya.
(Bersambung)...
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya