NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DETEKSI POLA KEKUASAAN

Aku berjalan pulang di bawah cahaya neon yang dingin, meninggalkan Nila yang kini diselimuti oleh harapan yang rapuh. Tubuh Amara terasa lelah, tetapi pikiran Kinara justru terasa segar.

Malam itu, aku tidak hanya mendapatkan informasi sensitif—aku mendapatkan amunisi, sebuah kasus nyata yang terbungkus dalam selimut akademik.

Begitu sampai di kamar kos yang berantakan, aku langsung menyalakan laptop Amara. Layar itu berkedip, menampilkan satu email baru dari Nila. Subjeknya hanya tertulis: "Draf Kurikulum dan Catatan Kecil."

Aku membuka lampiran. Draf kurikulum Nila—usulan tentang integrasi literasi lokal dalam mata kuliah sastra ternyata sangat rinci dan didukung data komparatif yang kuat. Secara akademis, proposal ini tidak bercela. Aku mengaktifkan Skill 'Fokus Absolut' dan mulai memindai setiap halaman.

Setiap argumen yang dibuat Nila adalah cermin dari idealisme Amara yang lama, dan juga Kinara yang dulu pernah mencoba melakukan reformasi kecil di tempat kerjanya sebelum akhirnya gagal dan meninggal.

“Sistem,” bisikku dalam hati, mengarahkan fokus ke data yang kuterima.

“Tolong analisis irisan data ini dengan koneksi Bu Saraswati, BEM, dan Bapak Surya.”

[KINERJA SISTEM: Menganalisis. Hasil: Draf kurikulum Nila mengancam kontrak kemitraan eksklusif universitas dengan 'Penerbit Cendekia Nusantara' (PCN), yang merupakan anak perusahaan di bawah kendali Konglomerat Bapak Surya (Target 4). Kerugian finansial yang diprediksi mencapai Rp 5 Miliar per tahun jika kurikulum Nila diadopsi. Ancaman ini menjadi alasan mengapa Bu Saraswati (faksi dekan) menekan Nila.]

Aku menarik napas tajam. Bukan hanya soal ambisi akademis. Ini soal uang. Uang lima miliar yang mengalir dari Target 4 ke faksi dekan, mensterilkan kurikulum dari ide-ide kritis dan lokal. Korupsi ini sunyi, tersembunyi di balik kata-kata indah seperti 'relevansi pasar' dan 'kebutuhan industri'.

“Jadi, sistem yang ingin aku koreksi ini dibangun di atas tumpukan uang dan kekuasaan, bukan kegagalan individu,” gumamku.

“Amara dihancurkan bukan karena dia buruk, tapi karena dia terlalu idealis dan mengganggu arus kas.”

Misi Seri 2 kini terasa lebih jelas: membongkar struktur perundungan yang didukung oleh Target 2, Rendra, sang Ketua BEM otoriter. Jika Rendra melindungi sistem ini, dia secara tidak langsung melindungi uang Bapak Surya. Dan aku harus menemukan cara untuk memecahkan benteng kekuasaan Rendra, bukan hanya dengan retorika, tetapi dengan fakta yang tak terhindarkan.

Pikiranku beralih pada Rendra. Rendra, Ketua BEM yang selalu tampil prima, efisien, dan diktator. Dia menggunakan BEM sebagai mesin politiknya, menjaga keteraturan agar tidak ada yang mengganggu kepentingan elit kampus. Untuk menjatuhkannya, aku tidak bisa menyerang frontal. Aku harus menggunakan soft power atau dalam konteks ini, data yang dilepas secara strategis.

Aku kembali membaca 'Catatan Kecil' dari Nila. Di sana, Nila menyebutkan sebuah grup diskusi tertutup BEM dan mahasiswa terkait anggaran acara kampus.

“Obrolan soal anggaran acara kampus yang tiba-tiba ditutup sepihak sama BEM…”

Aku tersenyum tipis. Bingo. Setiap organisasi memiliki titik lemah: dana yang tidak transparan. Jika aku bisa menghubungkan penekanan terhadap Nila dengan masalah transparansi dana BEM, Rendra akan dipaksa bergerak dan menunjukkan tangan aslinya.

Keesokan harinya, aku menjalankan rencana. Aku tidak akan melaporkan Nila's case secara resmi. Itu akan langsung diblokir oleh Bu Saraswati.

Aku harus mencari celah digital. Aku merangkai sebuah dokumen anonim yang sangat halus: "Sebuah Tinjauan Kritis terhadap Kemitraan Kurikulum dan Dampak Ekonomi Lokal." Aku tidak menyebut nama Nila, Bu Saraswati, atau Bapak Surya.

Aku hanya membeberkan data kerugian yang mungkin terjadi jika universitas hanya fokus pada literasi Barat, dan mengaitkannya dengan potensi keuntungan penerbit tertentu. Kemudian, aku mengirimkannya secara anonim ke grup diskusi tertutup yang disebutkan Nila.

Pagi menjelang siang, aku memutuskan untuk melakukan observasi langsung. Aku tahu, Rendra pasti ada di kantor BEM yang terletak di gedung lama fakultas. Aku sengaja mengenakan pakaian yang cukup mencolok (sebagai Amara, ini wajar) dan berjalan santai ke sana, membawa buku tebal Sosiologi Kritis sebuah simbol pemberontakan halus yang kubawa dari kelas Pak Arka.

Kantor BEM adalah sarang lebah yang sibuk. Aroma kertas dan kopi dingin memenuhi udara. Aku berdiri agak jauh, di dekat papan pengumuman yang jarang dihiraukan orang, pura-pura membaca jadwal seminar.

Beberapa saat kemudian, aku melihat Rendra. Dia baru saja kembali dari rapat, posturnya tegak, karismanya tak terbantahkan, tetapi raut wajahnya tegang, sebuah kontras yang tidak biasa.

Aku mengaktifkan 'Deteksi Pola Sosial'. Benang-benang biru yang melambangkan kewenangan dan kekuasaan Rendra tampak lebih kusut dari biasanya. Benang merah tipis, melambangkan kemarahan yang tertahan, berdenyut di sekitar kepalanya.

Rendra masuk ke ruang kerjanya yang berdinding kaca buram. Aku melihat dia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu dengan sangat cepat, lalu membantingnya pelan di atas meja. Tak lama kemudian, Tania, tangan kanannya, masuk dengan wajah panik.

Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi aku bisa membaca bahasa tubuh mereka. Ini adalah momen yang kubutuhkan.

Aku berjalan mendekat, seolah ingin mengambil pamflet di meja resepsionis BEM. Rendra mendongak, matanya bertemu mataku melalui kaca buram. Dia tidak hanya melihat Amara yang lama—dia melihat ancaman baru.

Aku memutuskan untuk memancingnya. Aku tersenyum tipis, senyum Kinara yang penuh strategi, dan sedikit membungkuk seolah menyapa, sebelum melanjutkan mengambil pamflet. Aku tahu, itu cukup.

Lima menit kemudian, saat aku pura-pura mempelajari pamflet tentang donor darah, pintu kaca Rendra terbuka. Dia keluar, langkahnya terukur, tetapi matanya mengunci padaku.

“Amara,” sapanya, suaranya dingin dan terkontrol. Gelar kehormatan 'Ketua BEM' melekat erat di setiap suku katanya. “Lama tidak melihatmu di sekitar sini. Sudah bosan dengan perpustakaan?”

Aku berbalik, menaruh pamflet itu kembali. “Ketua Rendra. Selalu menyenangkan melihat Anda sibuk bekerja untuk mahasiswa. Sayang sekali, saya bukan lagi mahasiswa yang mudah terkesan oleh kesibukan tanpa hasil nyata.”

Rendra menyilangkan tangannya di dada. Matanya menyipit. “Tampaknya kelas Sosiologi Kritis Pak Arka benar-benar mengubah cara pandangmu. Dari pengangguran intelektual menjadi… kritikus amatir.”

“Kritik, Ketua, adalah bagian penting dari dinamika sosial, bukan? Sama pentingnya dengan transparansi. Saya dengar BEM sedang menggodok kembali anggaran untuk proyek tahunan.

Bagaimana perkembangannya?” Aku menembaknya langsung, mengaitkan dua hal yang dia coba sembunyikan: arogansinya dan dana rahasia.

Wajah Rendra tidak berubah, tetapi benang merah di sekelilingnya berdenyut lebih cepat. “Itu urusan internal BEM, Amara. Mahasiswa non-pengurus tidak perlu khawatir tentang detail administratif.”

“Oh, benarkah?” Aku memiringkan kepala. “Bukankah mahasiswa non-pengurus adalah penyumbang iuran pembangunan dan juga target dari setiap kebijakan BEM? Bukankah kebijakan yang baik selalu dimulai dari data yang terbuka, bukan dari keputusan sepihak di ruang tertutup?”

Rendra tersenyum tipis, senyum yang terasa seperti baja dingin. “Kau belajar retorika dengan baik. Sayangnya, retorika tanpa posisi kekuasaan hanyalah gertakan kosong. Ada banyak isu yang lebih mendesak, Amara, daripada meributkan detail anggaran. Misalnya… kasus skripsi mahasiswa beasiswa yang terlalu ambisius.”

Aku tahu dia sengaja menyebut Nila. Dia tahu Nila datang padaku, atau setidaknya, dia tahu isu kurikulum itu baru muncul setelah aku berinteraksi dengan faksi anti-status quo.

“Ambisius?” Aku mengangkat alis. “Atau kritis? Mengapa BEM, sebagai perwakilan mahasiswa, justru membiarkan anggota fakultas menekan mahasiswa yang ingin kurikulumnya lebih relevan dengan konteks lokal, hanya karena itu mungkin merugikan… katakanlah, kepentingan penerbit tertentu?”

Rendra terdiam sejenak. Keheningan itu lebih mematikan daripada ledakan emosi. Dia adalah seorang politisi yang sangat muda. Dia mengerti bahwa aku telah melihat koneksi antara kurikulum, Bu Saraswati, dan kepentingan korporat.

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan,” katanya datar.

“BEM fokus pada isu mayoritas. Jika ada mahasiswa yang merasa tertekan, mereka harus melaporkannya melalui jalur resmi. Dan sejauh yang kami tahu, kasus skripsi itu sudah ditangani secara akademik oleh Bu Saraswati. BEM tidak bisa mengintervensi urusan dosen.”

“Itu namanya membiarkan perundungan struktural, Ketua,” balasku, suaraku tetap tenang namun menusuk.

“Anda menggunakan otoritas Anda untuk menormalisasi ketidakadilan. Anda bilang BEM adalah perwakilan mahasiswa, tapi Anda hanya mewakili mahasiswa yang patuh pada sistem. Dan sistem itu, Rendra, disubsidi oleh uang kotor.”

Rendra melangkah mendekat, auranya kini sepenuhnya otoriter. “Amara. Aku tidak peduli apakah kau sekarang mendapatkan IPK 4.0 atau berhasil melunasi utang judimu. Aku hanya peduli pada ketertiban. Kau sekarang mengganggu ketertiban. Dan kau salah jika berpikir bahwa mengkritik dekan atau bahkan faksi dosen adalah cara yang benar. Kau seharusnya diam, belajar, dan melupakan kegilaan masa lalumu.”

“Diam? Tepat sekali. Itu yang diinginkan sistem. Mereka ingin semua orang yang kritis menjadi seperti Amara yang lama: berantakan, terlilit utang, dan akhirnya, diam,” kataku, membiarkan sedikit rasa sakit Amara meresap ke dalam suaraku.

“Tapi kini, saya bersih. Dan saya tidak akan diam. Anda mungkin efisien, Ketua, tetapi efisiensi Anda hanya melayani korupsi.”

Rendra mencondongkan tubuhnya, menatapku dengan mata yang tajam dan perhitungan.

“Kau menguji kesabaranku. Jika kau terus menyebarkan rumor tentang dana atau kurikulum, aku akan menggunakan otoritas BEM untuk mengajukan surat teguran resmi ke fakultas atas nama ‘gangguan ketertiban publik’. Kau punya sejarah, Amara. Aku hanya perlu mengingatkan semua orang siapa dirimu.”

“Silakan,” tantangku, tidak gentar. “Jika Anda menggunakan otoritas Anda untuk menekan kebenaran, maka Anda bukan pemimpin, Rendra. Anda hanyalah penjaga gerbang dari sistem yang bobrok. Dan saya, Amara yang baru, akan membongkar gerbang itu.”

Aku tahu aku sudah terlalu jauh. Ini bukan lagi observasi; ini adalah deklarasi perang. Tapi aku harus memprovokasinya agar dia melakukan kesalahan. Aku harus memaksanya keluar dari zona nyamannya.

Rendra menahan napas sejenak, wajahnya menunjukkan kombinasi terkejut dan marah. Dia berbalik ke Tania, yang sedari tadi menyaksikan adegan itu dengan ngeri.

“Tania,” perintah Rendra, suaranya kembali dikontrol, tetapi lebih keras.

“Mulai hari ini, Amara masuk dalam daftar pemantauan khusus BEM. Dan temukan siapa yang membocorkan dokumen kurikulum itu di grup diskusi malam tadi. Aku ingin tahu siapa yang membantunya.”

Rendra kembali menatapku. “Kau mulai bermain api, Amara. Dan BEM punya cukup banyak minyak untuk membakarmu. Kau ingin membongkar gerbang? Aku akan pastikan kau terperangkap di dalamnya.”

Dia berbalik dan berjalan cepat kembali ke ruangannya. Aku berdiri sejenak, merasakan tatapan tajam Tania di punggungku, serta kekagetan mahasiswa lain yang menyaksikan konfrontasi singkat itu.

Aku telah mendapatkan yang kuinginkan: Rendra kini menjadikan Kinara sebagai target utama, dan dia mengakui bahwa isu dana dan kurikulum adalah titik lemahnya.

Aku berjalan meninggalkan kantor BEM, ponselku bergetar. Sebuah notifikasi dari Sistem.

[TARGET TERDETEKSI: Rendra (Target 2) telah memindahkan Anda ke status ‘Ancaman Prioritas’. Misi Seri 2 Diperbarui: Tahan serangan balik dari BEM dan gunakan ‘Deteksi Pola Sosial’ untuk menemukan bukti yang mengaitkan Rendra dengan dana kotor dalam tujuh hari ke depan.]

Tujuh hari. Itu waktu yang sangat sempit untuk menembus tembok kekuasaan yang dibangun Rendra dengan hati-hati. Aku tahu, serangan balik Rendra tidak akan berupa kata-kata kasar, melainkan sesuatu yang terstruktur dan mematikan.

Aku harus lebih cepat. Aku harus menemukan bukti digital sebelum dia menemukan cara untuk membersihkan jejaknya.

Saat aku berjalan keluar dari gedung, aku melihat bayangan Rendra di balik kaca buram, masih berdiri di ruangannya, menatap ke arahku pergi. Aku tahu dia sedang menyusun strategi.

Aku tahu dia sedang mempersiapkan jebakan. Dan aku harus bersiap untuk melangkah masuk ke dalam jebakan itu, membawa bukti yang akan menjatuhkan bukan hanya Rendra, tetapi juga seluruh sistem yang diwakilinya.

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!