Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan Ibu
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar Elzhar. Azel mengeliat pelan, matanya masih setengah terpejam. Namun, begitu sadar dirinya sedang berada di ranjang yang bukan miliknya, ia langsung terduduk kaget.
“HAHHH!!!” teriaknya lirih sambil melihat sekeliling.
Matanya membelalak, sadar betul ini adalah kamar Elzhar yang semalam ia kagumi.
Dengan rambut berantakan dan selimut masih menempel di bahu, Azel panik. “Astaga… jangan bilang gue semalem… tidur bareng dia?!” pikirnya.
Belum sempat otaknya mencerna lebih jauh, terdengar suara dari luar kamar.
“Udah bangun, Zel? Gue bikin kopi dulu nih,” suara Elzhar terdengar santai.
Azel buru-buru menepuk pipinya sendiri. “Tenang, Zel. Jangan halu. Jangan mikir aneh-aneh…” gumamnya. Ia pun keluar kamar dengan wajah kaku, mencoba terlihat biasa saja.
Namun, begitu melihat Elzhar santai duduk di sofa dengan kaos polos dan celana pendek, Azel malah salah tingkah. Rambut Elzhar masih sedikit berantakan, tapi justru terlihat… ganteng banget.
“Lo… lo… tadi malam kita…” Azel menunjuk ranjang dengan ekspresi horor.
Elzhar menoleh, lalu menaikkan alisnya. “Apaan sih? Lo mikir gue macem-macem ya?”
“Hah? Enggak! Gue cuma… cuma…” Azel gagap, wajahnya langsung memerah.
Elzhar terkekeh, lalu meneguk kopinya. “Tenang aja, Zel. Gue nggak ada waktu buat nakal. Lo ketiduran di kursi pijat, jadi gue pindahin ke ranjang. Gue sendiri tidur di sofa.”
Azel langsung menutup wajah dengan kedua tangannya. “Astaga… malunya….”
Elzhar hanya tersenyum tipis melihat tingkahnya. “Eh, tapi jujur, lo keliatan lucu banget pas tidur. Kayak anak kecil yang lagi mimpi dapet es krim.”
“Apaaa?! Halah, jangan ngawur lo!” Azel reflek melempar bantal sofa ke arah Elzhar, membuat cowok itu tergelak.
Suasana canggung berubah jadi hangat dan kocak. Tapi jauh di lubuk hati, baik Azel maupun Elzhar merasakan sesuatu yang berbeda—ada kenyamanan yang sulit dijelaskan, meski keduanya masih berusaha keras menyangkalnya.
Di tengah suasana kikuk antara Elzhar dan Azel, tiba-tiba terdengar suara bel apartemen berdentang keras.
“TING TONG… TING TONG…”
Mereka berdua langsung saling berpandangan, mata membulat.
“Siapa tuh, L?” bisik Azel panik.
Elzhar menelan ludah, wajahnya berubah pucat.
Lalu, suara tombol smart lock berbunyi tanda seseorang sedang mencoba memasukkan kode pintu.
“BEEP! BEEP! BEEP!”
Elzhar langsung panik, gelagapan.
“Ibu… Ibuuu!!!” ucapnya terbata-bata.
Tanpa pikir panjang, dia mendorong Azel ke arah ranjang. “Cepet, Zel, ke sini!”
“Apaan sih lo, L—”
“Udah diem aja!”
Azel terhuyung ke ranjang, lalu Elzhar buru-buru menutup tubuhnya dengan selimut. Ia bahkan mengikat bagian bawah agar hanya kaki Azel yang terlihat menjulur keluar.
“L, ngapain sih?! Gue kaya korban penculikan gini!” bisik Azel panik.
“Diem, diem… ikut aja skenario gue,” Elzhar balas bisik.
Dan gila… Elzhar langsung membuka kaosnya sendiri, memperlihatkan dada bidangnya. Ia merapikan rambutnya supaya terlihat acak-acakan.
Azel yang menyembul sedikit dari selimut hampir teriak.
“L! Lo ngapain buka baju segala?! Astaga jangan bilang lo—”
“SSST! Kalau mau lolos, ikutin aja gue!” potong Elzhar dengan wajah super serius.
Tak lama, pintu terbuka.
“Klik!”
Rossa masuk sambil membawa paper bag. Namun langkahnya terhenti begitu melihat kondisi kamar.
Elzhar keluar dari balik pintu kamar dengan wajah pura-pura kaget, dada telanjang, rambut berantakan.
“Ibuuu… ada apa pagi-pagi tumben banget kemari?” tanyanya terbata.
Tatapan Rossa langsung jatuh ke ranjang. Dari balik selimut, terlihat jelas sepasang kaki wanita. Ia mengerling tajam.
“Elzhar… kalian tidur berdua semalaman? Atau… kalian memang sudah tinggal bersama?” tanyanya dingin, penuh selidik.
Elzhar menarik napas panjang, mencoba memainkan drama sampai habis.
“Ya, begitulah, Bu… Aku sangat nyaman bersama Azel. Aku nggak bisa jauh dari dia.”
Azel di bawah selimut langsung mendengus kesal, hampir ketawa campur malu. “Ya Allah, L… lo drama banget sih! Gila, ini fix udah kebangetan!” batinnya.
Rossa hanya terdiam sejenak, menatap putranya dengan penuh tanda tanya. Ia meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja tanpa sepatah kata pun, lalu berbalik pergi.
Suasana kamar hening kembali, hanya terdengar detak jantung Azel yang makin kencang di balik selimut.
Elzhar menghembuskan napas lega, menutup pintu perlahan.
Begitu menoleh ke arah ranjang, Azel sudah bangun dari selimut dengan wajah merah padam.
“GILA lo ya, L!!! Gue disuruh pura-pura… terus lo buka baju segala! Mau bikin gue jantungan?!”
Elzhar malah nyengir, mengambil kaosnya yang tergeletak.
“Hehe, sukses kan? Tuh, ibu gue percaya. Acting gue mantap banget, kan?”
Azel mendengus keras, lalu melempar bantal ke arahnya.
“Actor kelas kakap! Cih!”
Elzhar hanya tertawa puas, sementara di dalam hati… ia sadar dirinya sudah makin jauh terseret ke dalam perasaan aneh tiap kali bersama Azel.
Suasana hening sejenak, Azel langsung duduk di pinggir ranjang dengan wajah kusut. Tangannya memegangi kepalanya, masih shock dengan kejadian barusan.
“L… sumpah ya, gue malu banget sama Ibu lo. Rasanya gue bersalah banget ke dia. Gue bener-bener nggak bisa kayak gini terus.” Suaranya lirih, nyaris bergetar.
Elzhar yang baru selesai mengenakan kaos hanya melirik, lalu mendekat.
“Zel, jangan gitu. Tenang aja. Gue yang tanggung jawab kok.”
Azel mendongak, matanya tajam menatap Elzhar.
“L! Gue serius. Tolong hentikan semua drama ini. Gue nggak mau lagi pura-pura pacaran. Gue capek harus pasang muka manis di depan keluarga lo, harus pura-pura mesra, apalagi barusan bikin ibu lo salah paham begitu…gue gk mau di sangaka wanita gk baik L”
Elzhar menghela napas panjang. Ia duduk di sebelah Azel, mencoba menahan nada suaranya agar terdengar sabar.
“Zel, lo tau nggak? Kalau gue nggak nikah sama lo, gue pasti langsung dijodohin sama anak temen nyokap. Itu udah fix. Dan… gue nggak mau itu.”
“Tapi kenapa harus gue?!” Azel meninggikan suara, emosinya pecah.
Elzhar menatapnya lama, lalu dengan nada lebih lembut berkata,
“Karena cuma sama lo gue bisa bebas nolak mereka. Kalau gue udah bilang gue punya pacar, terus nunjukin lo… ya mereka nggak bisa maksa. Paham, Zel?”
Azel terdiam. Hatinya campur aduk antara kesal, bingung, dan… sedikit tersentuh karena Elzhar memilih dirinya sebagai tameng.
Ia mendesah berat, lalu bergumam,
“Kadang gue mikir, apa hidup gue jadi makin ribet sejak ketemu lo…”
Elzhar menatapnya sambil menahan senyum.
“Ya tapi… kalau nggak ribet, kita nggak bakal ketemu kan?”
Azel spontan melirik sekilas, wajahnya memerah. Ia buru-buru memalingkan muka sambil menghela napas keras.
“Gila lo, L. Udah ah, gue pulang sekarang!”
Azel berdiri dengan cepat, meraih tasnya yang ia taruh di atas meja kecil dekat ranjang. Wajahnya masih merah karena kesal, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam—campuran kecewa, malu, dan lelah.
“Gue pulang sekarang, L. Jangan cegah gue lagi,” ucapnya singkat sambil melangkah ke pintu.
Elzhar spontan bangkit, tangannya hampir terulur untuk menahan Azel, tapi ia terdiam di tempat. Ada sesuatu dalam tatapan Azel yang membuatnya ragu. Tatapan yang seakan berkata tolong jangan bikin gue lebih sakit hati lagi.
Hening sejenak, hanya suara langkah Azel yang terdengar. Elzhar akhirnya membuka mulut, suaranya dalam namun lirih,
“Zel… maaf. Gue nggak bermaksud bikin lo setersiksa ini.”
Azel berhenti sejenak, punggungnya kaku. Ia tidak menoleh, hanya menggenggam erat tasnya.
“Lo udah dapet apa yang lo mau, L. Gue udah cukup ikut campur di hidup lo. Gue cuma pengen tenang sekarang dan gue gk mau semakin merasa bersalah sama keluarga lo.”
Setelah itu, ia melangkah keluar tanpa menunggu jawaban. Pintu apartemen tertutup pelan, meninggalkan Elzhar yang berdiri mematung di ruang tamu.
Elzhar mendesah panjang, tangannya meremas rambutnya sendiri frustasi.
“Kenapa sekarang malah gue yang ngerasa takut kehilangan” gumamnya pelan, menatap pintu yang baru saja dilewati Azel.