NovelToon NovelToon
Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Status: tamat
Genre:Toko Interdimensi / Tamat
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: Made Budiarsa

Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.

Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:

Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.

Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku membakar ingatanku

Anak bodoh!

Anak tidak tahu malu!

Dasar jalang!

Kakak, kenapa melakukan ini semuanya, apa yang terjadi?

Ya, ya, dan ya, kalian hanya bertanya tentang itu. Bukankah kalian menginginkan hidup berkecukupan, memiliki rumah yang indah dan dapat bersantai setiap pagi dan sore, berdiam diri diteras, menyaksikan keindahan cahaya matahari dan hamparan hutan yang dipenuhi pohon? Itu bukan yang kalian inginkan? Aku tahu, itu yang kalian inginkan dan aku juga berharap seperti itu. Namun... Ketahuilah, saat gadis kecil yang penuh harapan dan mimpi besar untuk kedua orang tuanya juga memiliki etika yang baik, tapi itu perlahan-lahan dihancurkan oleh dunia yang kejam.

Di kota, tidak ada orang yang datang mengatakan kasihan, tidak ada orang yang dapat membagi, dan bahkan membuang kencing pun punya aturan yang ketat. Jika ingin aman, semuanya butuh uang. Kota yang aku impikan menjadi tempat megah untuk menata kehidupan baru berubah menjadi momok yang menakutkan. Apa yang harus aku lakukan?

Aku sering merasa hancur ketika melihat rambut ayah dan perlahan-lahan memutih, tersiksa melihat Ibu yang sakit-sakitan dan adiku kecilku harus bekerja keras membantu keluarga alih bermain bersama teman-temannya. Pemandangan itu membuatku hancur, menderita, tidak mampu melihatnya. Aku ingin kalian merasakan keindahan kehidupan sebelum jiwa kalian diambil lagi. Kalian adalah orang-orang yang pantas mendapatkan kehidupan yang baik setelah melakukan semua tugas Kalian.

Jiwa-jiwa yang diberikan kepada Kalian sudah cukup Kalian gunakan untuk mengabdi untuk masyarakat. Kalian adalah sumber pangan mereka, namun sayangnya nasib kalian tidak sesuai dengan pekerjaan mulia yang Kalian lakukan.

Aku disini, punya harapan, tekad yang kuat untuk melakukannya. Aku Melakukan apa saja. Di banjiri keringat. Dibasahi hujan, dipanggang oleh Matahari. Semuanya aku lakukan untuk kalian. Tapi, biji yang memiliki kualitas rendah ini tidak akan bisa tumbuh baik dimana pun, bahkan ditempat yang subur sekali pun.

Sebab itu, aku mengambil pekerjaan itu dan menyerahkan seluruh tubuhku, bukan jiwaku. Namun akhirnya kedua hancur. Aku melihat anak kecil dipantai. Angin bertiup dan ombak ingin mendekatinya, suaranya lirih. Dia memegang buku tebal dan membakarnya. Api melahap semuanya tanpa sisa, angin dengan senang hati membantunya. Ibu, ayah dan adikku, lihat dia membakar buku yang selalu dipegangnya, menjadi pendomanya dan satu-satu hal yang membuatnya hidup. Tapi... Kalian menghancurkannya hingga berkeping-keping. Jiwa yang rapuh itu seharusnya kalian rangkulan, peluk dan jika perlu cium dia dan katakan, “Tidak apa-apa, kami mengerti semuanya. Kamu benar-benar kuat melakukannya. Kami tidak menyangka.”

Tapi justru hinaan yang Kalian lontarkan, menghancurkan Jiwanya yang rapuh dan membuatnya hancur.

Setiap pagi, aku harus mengumpulkan kepingan-kepingan jiwa lewat sinar matahari dan setiap hujan, aku berusaha menggenggamnya erat-erat. Oh, betapa melelahkannya. Lalu aku menjadi kosong. Kupikir akan mati dan tidak ada menangisiku. Aku pikir setelah melakukannya semua ada seseorang yang menangisi kepergianku, tapi tidak ada satupun yang menangisiku. Benar-benar menyedihkan.

Aku pergi, mencari tempat untuk bernaung, mencari kehangatan dan akhirnya aku menemukan selimut tua yang rusak. Dia seorang pria pekerjaan kantoran berusia tiga puluh tahunan yang mempunyai wajah gelap dan lelah yang dipenuhi karena dunia.

Aku waktu itu diam dibawah lampu jalan kecil dipertigaan gang yang sepi. Cahya putih ditiang itu membuatku merasa aman. Hanya cahaya itu yang aku miliki untuk memegang jiwa-jiwaku yang berlarian. Aku duduk, memeluk lutut dan menenggelamkan wajah dalam dua lutut yang ramping. Diam, menunggu seseorang datang. Dan waktu itu akhirnya orang itu datang, bertanya, “hey, mengapa kau sendiri disini?”

Aku mengangkat wajahku. Memperhatikannya lalu berkata, “Dunia itu melelahkan ya.” Aku diam sebentar memperhatikan Wajannya lalu berkata sendu, “Aku tidak punya tempat untuk pergi. Jika kau mau, kau bisa membawaku, memeliharaku dan beri aku makan setiap hari. Dengan begitu, aku, kucing ini akan setia denganmu.”

Mungkin karena tubuh ini, dia membawaku pulang, menikahiku dan aku mengatakan apa yang aku sebut pembatas. Dia setuju dan tidak mencampuri urusanku. Ini adalah awal dari duniaku yang baru.

Sekarang, didalam ruangan yang dingin dan suram aku duduk, membuat tulisan yang tidak akan pernah dimengerti seorang pun.

Laki-laki itu belum pulang dan tidak menyadari ibu memanggil kemarin. Ibu, aku tidak suka dengan ibu. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku berhenti menulis dan saat itu pintu dibuka dengan pelan dan penuh kecapean. Laki-laki itu muncul dengan wajah lesu.

Aku menghampirinya layaknya kucing dan membantunya melepaskan semua pakaiannya.

Dia melihat dadaku dan aku bertanya, “Kau menginginkannya malam ini?”

Dia sepertinya sangat lelah dan mengangguk atau malu mengatakannya. Aku membuka satu persatu kancing bajuku, membiarkan laki-laki ini menatap tubuh yang putih dan segar ini, tapi tidak suci lagi. Kemudian memperlihatkan belahan dada yang besar. Dia penuh nafsu. Aku bertanya, kamu menyukainya? Dia lagi-lagi mengangguk. Aku memerasnya kemudian membuka celanaku hingga memperlihatkan semuanya tanpa sehelai kain.

Nafsunya menjadi liar. Aku berkata, “Jika kamu harimau atau serigala maka aku akan mati dilahapmu. Sayangnya kamu bukan seperti itu.”

Dengan begitu aku menjatuhkan diri tanpa jiwa dan penuh kekosongan.

Keesokan harinya, aku bangun seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Pergi kebalkon dan menyiapkan satu cangkir teh. Aku duduk dan mulai mengumpulkan kepingan-kepingan jiwa yang keluar dari cahaya matahari yang hangat. Aku penasaran sampai kapan jiwaku akan sepenuhnya terbentuk kembali. Aku sudah membakarnya sebagai seorang anak kecil yang penuh dengan kehancuran, dan semuanya tidak bisa kembali lagi.

Aku mengambil teh, menghirup aroma kematian dan merasakan betapa dinginnya teh ini. Wajah adiku kecil muncul. Oh, dia yang polos dan orang yang menghentikan langkahku untuk pergi dari rumah. Dia ingin aku tetap tinggal, tapi aku tidak bisa melakukannya. Dia adalah satu-satunya wanita paling polos yang aku temukan dan sedikit mengalami perubahan dalam hidupnya. Jika bisa, biarkan dia begitu saja tanpa harus berjuang mencari kehidupan yang lebih layak. Kehidupan yang layak itu adalah kesederhanaan didesa, mencangkul, menanam padi dan duduk melihat gerombolan burung-burung melintasi langit. Aku lupa jika hidupnya sudah sempurna tapi karena aku tidak mengucapkannya, dia menjadi korban dari dunia ini.

Aku mulai berpikir aku egois, tapi bukankah semua orang itu egois?

Aku meminum teh kembali dan menghirup aroma bunga Dantura, tapi bukan aroma harumnya yang datang tapi kematian. Lalu angin tiba-tiba berhembus dan seorang wanita muda memakai rok putih berdiri diujung pagar menatapku dengan ekspresi tersenyum.

“Kamu pergi?”

Dia masih tersenyum.

“jika kamu pergi, silahkan. Kamu harus mengembalikan jiwa yang kamu pinjam.”

Dia hanya tersenyum lagi.

Aku percaya rohnya tidak tenang dan mencariku. Bunuh diri membuat rohnya rusak dan pemiliknya tidak mau mengambilnya lagi dan kemudian membiarkannya berkeliaran didunia ini. Mungkin roh-roh yang rusak ini adalah cikal bakal dari hantu-hantu yang berkembang dimasyarakat.

Aku sarapan dengan menu yang sama, cuaca yang sama dan bahkan dengan orang yang sama juga. Dia tidak berkata apa-apa dan ikut denganku makan, makan dengan seadanya, tanpa sesuatu yang baru. Mungkin karena itulah aku merasa tidak perlu mengganti hidangan ini. Aku ingin terus mencoba mencari hal-hal baru diantara hal-hal yang sering kulihat, kugunakan, bahkan yang kumakan.

Kami makan dalam suasana yang hening, tapi sebenarnya ada banyak hal yang bisa menarik perhatian kami, seperti suara-suara kendaraan yang lalu lalang, banyak orang yang rela berbaris masuk ke sebuah toko dan gerombolan burung dara yang terbang dengan peluit dikakinya. Aku bisa mengatakan kota itu banyak bicara dan membandingkannya dengan desa tempatku tinggal sebelumnya. Aku bisa bertanya, toko apa itu yang ramai pembeli hingga membuat orang mengantri untuk masuk dan juga memuji suara peluit burung itu yang menyemburkan suasana pagi. Namun... Kami hanya diam, tidak mengatakan apa, kecuali menikmati makanan yang membosankan.

Mungkin akan jauh lebih baik makan dengan hidangan yang baru, tapi aku lebih memilih hidangan yang lama. Dengan hidangan ini, aku bisa merasa menyelam kedalam masa alu, menghirup berbagai macam tanah dan menikmati bagaimana tumbuh kembang desa yang pergi kekota dengan penuh harapan. Bagaimana dia berjuang. Kesulitan-kesulitan apa yang dialaminya hingga akhirnya menghancurkan tubuhnya sendiri lalu berkata, ‘tidak apa-apa menghancurkan tubuh ini, aku masih punya jiwa’ lalu Jiwanya juga hancur.

Kisah yang indah jika aku bisa menjelaskannya dengan detai, mulai dari suasana, wajahnya, tindakannya hingga bagaimana dia berekspresi. Tapi... Lebih baik hanya sepotong demi sepotong. Tidak ada alasan khusus, hanya menyesuaikan selera.

Aku teringat ibu.

Betapa aku ingin membuangnya, aku masih mengingatnya, bukan merindukan kehadirannya, tapi kematiannya. Bagaimana jika ibu bunuh diri, menggantung dirinya, bukan karena ingin menghukumku, tapi tidak punya pilihan dan merasa malu karena tidak bisa memberikan pendidikan yang baik untuk anak perempuannya, sehingga terjun dalam dunia yang gelap.

Jika aku tahu itu yang terjadi, maka aku akan jauh lebih baik. Setidaknya sedikit, namun yang melakukan itu adalah adik perempuanku yang lugu. Aku tidak salah lagi, jika yang baik sepertinya akan mudah dihancurkan.

Aku merasa terbawa kemasa lalu memikirkannya. Aku melihat dia berjalan kerumah megah dibukit dengan ekspresi muram. Apa yang terjadi? Ah, tidak seperti yang kubayangkan, rumah itu ditinggalkan dan terbengkalai. Di sanalah adik perempuanku melepaskan Jiwanya. Aku berpikir rumah itu memiliki nama rumah pelepasan jiwa. Orang-orang akan takut pergi kesana setelah kejadian itu, tapi aku akan selalu datang, tidak tahu kapan dan berbicara sedikit dengan jiwa yang ada disana.

Namun, mengapa aku memikirkan semua ini? Aku sudah membakarnya bukan?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!