Di atas kertas, mereka sekelas.
Di dunia nyata, mereka tak pernah benar-benar berada di tempat yang sama.
Di sekolah, nama Elvareon dikenal hampir semua orang. Ketua OSIS yang pintar, rapi, dan selalu terlihat tenang. Tak banyak yang tahu, hidupnya berjalan di antara angka-angka nilai dan tekanan realitas yang jarang ia tunjukkan.
Achazia, murid pindahan dengan reputasi tenang dan jarak yang otomatis tercipta di sekelilingnya. Semua serba cukup, semua terlihat rapi. Tetapi tidak semua hal bisa dibeli, termasuk perasaan bahwa ia benar-benar diterima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Kutu buku
Keesokan harinya, hari kedua Achazia di sekolah barunya, ia ingin berbaur dengan teman-teman lain. Namun dia tetap ingin menghargai Brianna sebagai teman pertamanya. Achazia, seorang gadis pendiam dan tidak banyak bicara, sebenarnya penasaran mengapa sekolah internasional ini tidak membiasakan siswanya berbicara dalam bahasa Inggris.
Seperti biasa, Achazia diantar jemput oleh Pak Gino, supir keluarganya sejak kecil. Saat Achazia membuka pintu mobil dan berpamitan, Brianna yang biasa naik bus sekolah terkejut melihat Achazia turun dari mobil mewah. Dugaan Brianna bahwa Achazia anak orang kaya semakin kuat.
Begitu Pak Gino pergi, Achazia melihat Brianna turun dari bus dan segera menghampirinya.
"Hai," sapa Achazia.
Brianna mengangguk lalu mengajak Achazia masuk ke dalam kelas bersama. Beberapa siswa lain, termasuk Elvareon yang melihat dari jendela kelasnya, memperhatikan Achazia diantar mobil mewah yang jarang mereka lihat.
Di kelas, pelajaran dimulai seperti biasa. Kali ini adalah pelajaran Matematika, mata pelajaran yang tidak disukai sebagian siswa, tapi tidak bagi Achazia.
Guru memberikan soal tentang aljabar. "Hah? Serius hanya aljabar?" ucap Achazia dalam hatinya. Baginya, soal itu sangat mudah. Ia langsung menyelesaikannya dengan cepat dan mengumpulkannya kepada guru.
Guru tersebut sedikit terkejut dengan kecepatan Achazia. Ia juga mendengar dari guru Bahasa Inggris kemarin bahwa Achazia adalah pindahan dari Beauty High School, sekolah yang terkenal dengan siswi-siswi pintar, cermat, dan berasal dari keluarga berkecukupan.
Guru matematika itu memberikan nilai A+ kepada Achazia dan mengizinkannya istirahat lebih dulu dibandingkan teman-temannya yang masih mengerjakan soal.
"Achazia memang sepintar itu, ya?" ucap Brianna dalam hatinya.
Sesampainya di luar kelas, Achazia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan sendirian. Ia berniat membaca dalam tenang. Namun, saat masuk, ia melihat ketua OSIS itu duduk membaca di meja yang sama seperti kemarin. Achazia mengambil buku tentang kecantikan remaja dan mulai membacanya.
Sekilas Elvareon melihat gadis itu. Ia ingin mengajaknya membaca bersama, namun ragu. Ia berpikir Achazia adalah anak orang kaya dan pasti tidak membutuhkan teman seperti dirinya.
Achazia melihat Elvareon meminjam enam buku sekaligus dan telah membaca empat di antaranya. Baginya, itu akan memakan waktu lama, tapi tidak bagi Elvareon yang bisa membaca dengan cepat dan memahami isinya.
Elvareon mengangkat kepalanya dan menatap Achazia.
"Hai, mau bergabung denganku?" ajak Elvareon.
Achazia mengangguk dan duduk di depan Elvareon.
"Kamu sangat pendiam ya," ucap Elvareon.
"Ya, mungkin." ucapnya singkat
"Eh sebentar, ini belum jam istirahat kelas Matematika, tapi kenapa kamu keluar?" tanya Elvareon penasaran.
"Tadi aku menjawab soal aljabar dengan cepat. Karena semudah itu, Bu Guru mengizinkanku istirahat."
Elvareon mengangguk. "Sepertinya gadis ini memang pintar," batinnya.
"Banyak sekali buku yang kamu baca," ucap Achazia.
"Ah iya, aku suka buku dari aku kecil sampai sekarang. Buku pelajaran, sejarah, fiksi, dan lain sebagainya."
LAchazia menganggap itu keren.
"Oh, menarik," Achazia tersenyum.
"Ngomong-ngomong, di mana temanmu Brianna? Bukannya kemarin kalian bersama?" tanya Elvareon penasaran.
"Dia masih mengerjakan soal aljabar itu, dia tadi belum selesai."
"Jadi hanya kamu yang menyelesaikannya dengan cepat?"
"Iya." ucapnya singkat
Elvareon terkesan. Tidak biasanya ia melihat siswi sepintar ini, apalagi Achazia juga tidak menunjukkan kalau ia berasal dari keluarga berkecukupan.
Achazia membaca buku tentang kecantikan itu. Dia jadi teringat dengan sekolah lamanya. Sekolah yang mengajarkan para gadis untuk menjadi perempuan yang tegar, feminime, mandiri dan lain sebagainya. Berbeda dengan sekolah ini, sekolah umum yang menerima murid baik perempuan dan laki-laki. Dia juga masih merasa terpaksa pindah ke sekolah ini karena ayahnya yang pindah tugas.
"Achazia, kalau boleh tahu kenapa kamu pindah sekolah?" tanya Elvareon penasaran
"Karena papa ku pindah tugas"
Elvareon tercengang. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan "papa". Tidak diragukan lagi dia adalah anak dari keluarga yang berkecukupan apalagi tadi Achazia diantar oleh supirnya Pak Gino.
Karena penasaran, Achazia dengan berani bertanya pada Elvareon
"Buku apa yang kamu baca?"
"Oh ini buku tentang sains. Aku suka sains," ucap Elvareon
"Sains? Aku juga suka," ucap Achazia
Selang beberapa menit, Brianna lalu masuk ke dalam perpustakaan menemukan Achazia dan Elvareon membaca dimeja yang sama lalu dia menghampiri mereka berdua.
"Sesuai firasatku pasti kamu disini," ucap Brianna kepada Achazia
"Iya, maaf tadi aku tidak bilang padamu kalau aku ke perpustakaan," ucap Achazia
"Eh, maaf? Gak apa-apa lho"
Achazia tersenyum sedikit. Dia kembali membaca bukunya. Brianna tidak mengambil buku, dia hanya duduk disamping Achazia dan melihatnya membaca buku tentang kecantikan.
"Kamu suka buku itu?" tanya Brianna penasaran
"Iya," ucap Achazia singkat.
Elvareon sebenarnya agak terganggu karena kedatangan Brianna. Dia ingin lebih banyak tahu mengenai Achazia, dia masih ingin menanyakan dimana dia tinggal, apa makanan kesukaannya, apa buku favoritnya, warna favoritnya dan lain lagi. Namun ada yang menjanggal, bagaimana mungkin Elvareon hanya anak laki-laki biasa bisa menumbuhkan perasaan pada gadis yang baru saja ditemuinya kemarin. Apalagi mereka beda status, seorang gadis manis dan pintar yang kehidupannya sudah diatur bagus oleh orang tuanya pasti tidak setara dengan Elvareon.
"Aku tidak mungkin segila itu," ucap Elvareon dalam hatinya.
Dengan berani Elvareon menanyakan dimana Achazia tinggal
"Achazia, kalau boleh tahu kamu tinggalnya dimana?"
"Aku tinggal di kota Venzor kalau kamu tahu," Achazia menutup bukunya
"Oh iya aku tahu."
Elvareon lalu terdiam dan kembali ke bukunya. Ya, itu adalah kota para pengusaha. Dia tidak mungkin berpikir untuk bisa bersama gadis itu. Sungguh jauh jika dia berpikir seperti itu.
Brianna bingung kenapa Elvareon menanyakan hal seperti itu kepada Achazia. Dengan keberanian juga Achazia menanyakan dimana Elvareon tinggal
"Bagaimana denganmu?"
"Aku... aku tinggal di desa, aku selalu naik sepeda ke sekolah," ucap Elvareon sambil menundukkan kepalanya.
"Oh begitu ya. Kamu tidak lelah mendayung sepeda?" tanya Achazia
"Tidak. Aku sudah biasa dari kecil. Lagipula aku sangat suka sepeda,"
Melihat reaksi Achazia yang biasa saja, Elvareon merasa tegang dan ada rasa malu didalam dirinya. Namun, Achazia lalu tersenyum dan menganggap bahwa Elvareon adalah anak yang mandiri dan pekerja keras apalagi jika tinggal di desa.
"Kalau Brianna aku sudah tahu. Pasti naik bus kan?" tanya Achazia
Brianna mengangguk dan menjawab "Iya benar. Rumah ku gak terlalu jauh sih dari sekolah. Kalau kamu mau main ke rumah aku, ayo"
Achazia lalu mengangguk. Disekolah itu tidak seperti yang Achazia bayangkan. Ternyata banyak murid yang kehidupannya sederhana termasuk Elvareon. Mereka tidak semewah Achazia yang diantar jemput setiap hari oleh supir pribadinya. Dia menganggap teman-temannya hebat.
"Kalau begitu aku kembali ke kelas ya, sudah mau mulai," ucap Elvareon
"Iya," ucap Achazia singkat.
Saat Elvareon pergi, Achazia menyadari bahwa dia lupa membawa enam buku yang dipinjamnya.
"Elvareon, tunggu!" panggil Achazia
Elvareon lalu menoleh ke belakang
"Ini bukumu ketinggalan," ucap Achazia
"Oh itu sudah selesai aku baca. Aku lupa astaga, akan ku simpan,"
Elvareon lalu menyimpan buku itu ke rak. Membaca sebanyak enam buku dalam waktu setengah hari sangat tidak mungkin bagi sebagian orang. Namun bagi Elvareon itu adalah hal yang biasa dia lakukan. Dia dijuluki sebagai "kutu buku" di sekolahnya. Mulai dari dia kecil hingga dia meranjak ke SMA dia sangat menyukai buku. Pastinya Elvareon sangat memiliki keinginan untuk mengoleksi buku dikamarnya. Namun apalah daya bagi Elvareon buku itu mahal, dia hanya memanfaatkan waktunya di perpustakaan untuk membaca buku.
"Nah, sudah. Sampai jumpa," ucap Elvareon sambil meninggalkan perpustakaan.
Achazia merasa terkesan dengan hobi membaca yang dilakukan Elvareon. Jarang-jarang baginya ada orang yang membaca buku sebanyak itu dalam setengah hari. Berbeda dengan Achazia, dia memang siswi yang pintar matematika dan bahasa inggris. Namun dalam hal membaca, dia kurang tertarik apalagi dia harus seharian penuh bisa menangkap plot yang ada didalam buku itu.
"Elvareon sehebat itu," ucap Achazia pada Brianna
"Iya dia memang anak yang rajin. Sewaktu kelas sepuluh dan sebelas, dia mendapatkan beasiswa penuh, bahkan sampai kelas dua belas sekarang. Dia dikenal dengan julukan "kutu buku". Dia juga selalu membantu orang tuanya di sawah. Dia memang anak dari keluarga yang kurang mampu tapi dia memiliki banyak prestasi,"
"Oooh jadi sewaktu kelas sepuluh dan sebelas kalian sekelas ya?" tanya Achazia
"Iya. Kelas dua belas aja yang pisah. Dia itu juga banyak relasi, pintar bergaul. Dia tidak pernah memilih-milih teman."
Mendengar hal itu, Achazia merasa terkesan. Dia memang tidak tahu bagaimana rasanya tinggal didesa apalagi ke sawah. Yang dia tahu dia adalah putri yang dibesarkan orang tuanya dengan kemewahan.
Achazia memang tidak pilih-pilih teman, dia akan menemani siapapun tanpa pandang status. Dia tahu bahwa kehidupan setiap orang pasti berbeda-beda. Ya, walaupun orang tuanya menyarankan untuk memilih teman yang setara dengannya, dia menghiraukan itu. Achazia memang gadis yang taat pada orang tuanya tapi perihal memilih teman adalah hal yang salah baginya. Menurut Achazia, berteman dengan orang yang sederhana cukup mengagumkan.
Ada sesuatu perasaan yang tidak dia rasakan. Di sekolahnya dulu, semua berisi dari anak yang berkecukupan. Sekolah ingin benar-benar mengubahnya, dia mungkin adalah anak orang paling kaya di sekolahnya itu. Para gadis dikelasnya juga menyukainya, dia gadis yang tidak sombong, tidak memandang pertemanan dengan status.