Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 DBAP
"Kalau ada yang ingin dibicarakan, bicarakan saja sekarang, Kak," ucap Arsen tenang namun tajam. Dirinya tahu apa yang direncanakan kakaknya tentang makan malam ini. Kalau bukan bujukan Puput yang menyatakan makan malam ini untuk meminta maaf pada Naya, tentu saja ia tidak akan datang, apalagi bertemu dengan Zayan.
Walau bagaimanapun, antara Zayan dan Naya dulu pernah ada hubungan istimewa. Argh... sekali lagi, mengingat jika Naya memiliki hubungan dengan lelaki lain, kenapa hatinya langsung panas?
Puput menarik napas pendek lalu tersenyum tipis. "Kita makan saja dulu, ya," ucapnya, menggiring semua orang ke meja makan dengan nada yang terdengar berusaha tetap ceria.
Suasana makan malam berlangsung sunyi. Hanya suara sendok menyentuh piring yang sesekali terdengar. Arsen menunduk, tangannya sekadar memindahkan lauk ke piring, tanpa benar-benar berniat memakannya. Sesekali, matanya melirik ke arah Naya yang duduk di sampingnya. Perempuan itu tampak kikuk, jemarinya menggenggam erat tisu di pangkuannya.
Zayan, yang duduk di sebarang Naya, terlihat tenang. Namun sorot matanya tak bisa bohong ia kerap mencuri pandang ke arah Naya. Dan itu cukup membuat dada Arsen terasa sesak, lagi.
Puput akhirnya berdeham pelan, mencoba memecah keheningan. "Nay, setelah makan nanti, kita bisa bicara sebentar?"
“Bi... bisa, Bu...” jawab Naya, sedikit canggung. Wajar saja, wanita yang dulu adalah dosennya, kini telah menjadi kakak iparnya.
Arsen nyaris tak bereaksi, sampai Dito yang duduk di samping kirinya berbisik, “Ar, aku juga ada hal yang mau kubicarakan sama kamu nanti.”
Belum sempat Arsen menjawab, Zayan menyahut sambil tersenyum santai pada ayahnya, “Kalau gitu, kita ngobrol berdua aja ya, Yah…”
Roki yang sejak tadi hanya mengamati dalam diam, tersenyum canggung mendengar candaan anaknya. Meski tak berkata apa-apa, dari sorot matanya, terlihat jelas ia sedang membaca situasi dengan hati-hati.
Makan malam itu berakhir dengan khidmat, karena Puput memang tidak ingin membawa masalah pribadi ke meja makan yang bisa merusak selera dan suasana.
***
Puput mengenal Naya sebagai gadis yang sopan, pintar, dan lugas. Itulah sebabnya, saat dulu anaknya berpacaran dengan Naya, ia tak pernah melarang. Namun kini, pada akhirnya keluarganya justru terjerat dalam situasi yang melibatkan Naya dan mau tak mau, hal itu membuka matanya bahwa Naya bukanlah gadis seperti yang selama ini ia bayangkan.
Mereka berdiri berdua di balkon, hanya disinari cahaya temaram dari ruang tamu yang menyelinap keluar melalui tirai. Udara malam terasa lembap, namun bukan itu yang membuat dada Puput terasa berat. Tatapannya jatuh pada Naya, memindai wajah yang dulu ia percaya, kini dengan perasaan yang sulit ia artikan.
Masih ada sisa keraguan dalam hatinya. Masih sulit dipercaya bahwa Naya, gadis yang dulu ia banggakan, kini memiliki niat tidak baik pada adiknya.
“Nay, bagaimana keadaanmu?” tanya Puput pelan, mencoba memulai dari percakapan ringan. Ia tahu Naya belum lama keluar dari rumah sakit, dan kondisi emosionalnya mungkin masih rapuh.
“Aku baik-baik saja, Bu,” jawab Naya pelan, mencoba terdengar tegar.
Puput mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis. “Ini pertama kalinya kita bicara sebagai ipar. Kamu tak perlu memanggilku 'Bu'. Sampai sekarang, kamu masih istri Arsen.”
Naya tersenyum canggung. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Tubuhnya refleks menegakkan bahu, seolah membangun benteng pertahanan. Dulu, hubungan mereka seperti dosen dan mahasiswa. Tapi kini, status telah berubah. Dan orang bilang, ipar itu seperti dua sisi mata pisau.
“Nay,” suara Puput kembali terdengar, kali ini lebih serius. “Usia Arsen sudah tiga puluh dua tahun. Tentu, aku ingin dia menikah, punya keluarga, meskipun aku tahu... dia tidak sempurna. Salah satunya, karena dia tidak bisa punya anak.”
Naya menunduk pelan, menahan napas.
“Dulu, dia pernah hampir menikah. Tapi saat calon istrinya tahu soal kondisinya, dia pergi. Sejak itu, Arsen berubah. Dia membentengi dirinya, memilih fokus pada karier. Dan sekarang, dia berada di puncak. Apa kamu tahu, ada banyak wanita yang mencoba mendekatinya karena hal itu?”
Puput menatap Naya lekat-lekat. Kali ini tidak ada senyum di wajahnya hanya tatapan seorang kakak yang tengah menjaga adiknya.
Naya mengangguk perlahan. "Saya tahu, Bu... maksud saya, Kak," ucapnya pelan, mengoreksi sapaan karena merasa segan. Sorot matanya jatuh pada lantai balkon yang dingin, seolah di sana ia bisa menemukan pijakan untuk hatinya yang gemetar.
“Jadi, Nay,” suara Puput terdengar lebih dalam, berat dengan muatan emosi. “Sebagai kakak, aku hanya ingin memastikan Arsen nggak tersakiti lagi. Dia sudah cukup terluka di masa lalu. Maka aku harus bilang ini dengan jelas, jangan jadikan pernikahan ini sebagai aji mumpung.”
Naya menahan napasnya.
“Aku tahu apa yang terjadi padamu adalah karena kesalahan Zayan. Dan sebagai keluarga, aku akan ikut bertanggung jawab. Tapi aku tidak akan membiarkan kamu mengikat Arsen dengan cara seperti ini.”
Suara Puput terdengar tegas, tapi masih mengandung kendali. Ia menahan emosinya agar tidak meledak. “Berhenti membalikkan kenyataan, Naya. Berhenti mengatakan bahwa anak itu milik Arsen. Kamu tahu dokter sudah bilang Arsen tidak bisa punya anak.”
Naya mematung. Dada dan tenggorokannya terasa sesak. Mengapa, lagi dan lagi dirinya sebagai korban justru kini berbalik menjadi tersangka?
“Aku hanya ingin kamu jujur. Jangan menambah luka yang bahkan belum sembuh,” ucap Puput, kini lebih pelan, tapi jauh lebih menohok. Membuat Naya ingin segera berteriak untuk membela diri. Namun, sebelum suaranya keluar terdengar suara Arsen yang cukup mengambil alih situasi yang sudah tercipta.
"Kakak!"
Suara lantang Arsen yang tiba-tiba, membuat Puput menegang seketika, terlebih saat ini tersirat jelas kemarahan di wajahnya. Tadinya Arsen ingin berbincang dengan Dito, namun niat itu ia urungkan saat mendengar Zayan dan Roki membicarakan hal yang akan disampaikan Puput pada Naya.
Arsen melangkah perlahan, setiap langkahnya terasa begitu dingin. Saat ia mulai mendekat, Arsen menatap wajah Naya lalu menggenggam tangan perempuan itu dengan erat.
“Siapa yang memberimu hak berbicara seperti itu padanya?” tanyanya tajam, suaranya dalam dan menggetarkan malam.
Puput terdiam sesaat, lalu membalas, “Ar, aku hanya ingin kamu membuka mata. Dia menipumu!”
“Menipu?” Arsen menyipitkan mata, sorot matanya tajam menusuk. “Kakak menarik garis besar masalah ini darimana?”
Puput mulai gusar. “Ar, kamu tahu jelas anak itu… bukan darimu.”
"Aku tahu. Dan aku tegaskan, Naya tidak pernah menyatakan bahwa anak dalam kandungannya adalah anakku. Tapi aku mengakuinya, karena malam saat Zayan memberikan obat pada Naya, malam itu juga, di tempat yang sama, akulah lelaki yang telah mengambil kehormatannya," ujar Arsen dengan suara yang sangat jelas, meskipun ada sedikit getaran yang terdengar. Bukan getaran karena takut mengakui di hadapan kakaknya, melainkan ketakutan terhadap Naya.
Arsen melihat keterkejutan di mata sang kakak, sayangnya saat ia melihat Naya ia tidak melihat keterkejutan itu sama sekali. Dan dengan dada yang masih naik turun karena emosi ia bergumam,
"A... Apa dia sudah tahu?"
terimakasih