Wen Yuer dikirim sebagai alat barter politik, anak jenderal kekaisaran yang diserahkan untuk meredam amarah iblis perang. Tetapi Yuer bukan gadis biasa. Di balik sikap tenangnya, ia menyimpan luka, keberanian, harga diri, dan keteguhan yang perlahan menarik perhatian Qi Zeyan.
Tapi di balik dinginnya mata Zeyan, tersembunyi badai yang lambat laun tertarik pada kelembutan Yuer hingga berubah menjadi obsesi.
Ia memanggilnya ke kamarnya, memperlakukannya seolah miliknya, dan melindunginya dengan cara yang membuat Yuer bertanya-tanya. Ini cinta, atau hanya bentuk lain dari penguasaan?
Namun di balik dinding benteng yang dingin, musuh mengintai. Dan perlahan, Yuer menyadari bahwa ia bukan hanya kunci dalam hati seorang jenderal, tapi juga pion di medan perang kekuasaan.
Dia ingin lari. Tapi bagaimana jika yang ingin ia hindari adalah perasaannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sungoesdown, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Bayangan
Wen Yuer berdiri di pelataran kediaman Jenderal Wen dengan tatapan kosong. Udara ibukota terasa lebih padat, lebih panas, dan entah kenapa lebih menyakitkan untuk dihirup. Rumah besar berlapis kayu mahal itu tampak sama seperti dalam ingatannya—ingin, megah, dan asing. Tidak ada kehangatan yang menyambut di balik dinding-dinding tinggi dan atap berhiaskan ukiran emas. Tidak ada yang berubah, kecuali dirinya.
Dua pelayan yang membukakan pintu hanya meliriknya sekilas sebelum menunduk dengan formalitas kosong. Tak satu pun menyebut namanya. Seolah ia hanya tamu asing, bukan darah daging dari pemilik tempat ini.
Saat ia melangkah melewati pintu utama, suara langkah tergesa terdengar dari dalam aula marmer yang berkilau.
"Kau datang juga," ucap seorang perempuan muda dengan senyum miring yang nyaris menyindir. Gaunnya berkilau lembut, rambutnya ditata rumit dengan hiasan giok, dan bibirnya merah seperti buah delima matang. Sikapnya seperti bunga mekar yang tahu ia selalu jadi pusat perhatian.
"Shuangni," jawab Yuer datar, mengangguk singkat tanpa senyum.
Wen Shuangni, adik tirinya. Putri dari istri Jenderal yang baru, Nyonya Yao, perempuan paling disanjung di kalangan istri pejabat. Mereka sama-sama perempuan, namun dunia memperlakukan mereka seperti siang dan malam. Satu disambut bak bintang pagi, satu lainnya dibungkam seperti bayangan yang tak layak disebut.
Shuangni mendekat sambil menelusuri pakaian Yuer dengan pandangan geli. "Masih mengenakan baju kasar seperti itu? Kupikir setelah bertahun-tahun, kau akan belajar menyesuaikan diri."
Yuer tidak menjawab. Tatapannya tetap lurus ke arah aula dalam, tempat suara langkah berat dan tawa rendah samar terdengar dari balik dinding ukiran naga. Ia tak tertarik beradu sindir.
"Ayah sedang bicara dengan Kak Xianzhe," lanjut Shuangni, nada suaranya ringan namun jelas. "Mereka sangat sibuk akhir-akhir ini, kau tahu... urusan negara. Tapi aku yakin kau tidak mengerti soal itu."
Yuer menghela napas pelan. Sudah biasa. Rumah ini selalu penuh dengan kata-kata yang tak perlu dibalas.
Di balik pintu aula, Jenderal Wen duduk di kursi utama, tubuhnya tegap meski usia mulai merambat di garis rambutnya. Di sisinya berdiri seorang pemuda, Wen Xianzhe, kakaknya. Laki-laki tinggi berseragam militer lengkap, dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Pewaris sah kedudukan ayah mereka. Semua orang menyebutnya harapan kekaisaran.
Ia menoleh saat melihat Yuer masuk, mengangguk kecil. "Yuer."
"Kakak." Yuer membalas dengan sopan.
"Kau tampak sehat," ujarnya datar. "Guru Bai rupanya melakukan tugasnya dengan baik."
Yuer menatapnya sejenak. Begitu, ya? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, hanya itu? Tapi ia menahan diri. Percuma berharap lebih.
Jenderal Wen mengisyaratkan semua pelayan keluar. Ruangan jadi hening. Suasana berubah seperti batu yang dilempar ke danau tenang.
"Duduklah, Yuer."
Ia duduk. Punggungnya lurus, tangan di atas pangkuan. Tubuhnya tenang, tapi dalam hatinya, angin bertiup liar.
"Aku memanggilmu kembali bukan tanpa alasan," Jenderal Wen memulai, nadanya seperti biasa, tenang dan mutlak. "Negeri ini sedang dalam keadaan genting. Pemberontakan di utara semakin meluas. Kau tentu sudah dengar."
Tentu saja, konflik yang memecah kekuatan kekaisaran. Beberapa pemimpin wilayah terpecah belah, mereka yang membenci kekaisaran memilih bergabung dengan pemimpin pemberontakan—Qi Zeyan, pria yang dia obati sebelumnya.
Jenderal Wen melanjutkan, suaranya rendah namun menusuk, "Ada seseorang yang perlu ditenangkan."
Yuer menoleh, alisnya mengernyit. "Ditenangkan?"
"Negosiasi," jawabnya singkat. "Tapi tidak dengan perundingan biasa."
Keheningan turun perlahan, seperti selimut yang makin menyesakkan dada. Yuer mulai merasakan arah pembicaraan ini.
"Kami memutuskan untuk menawarkan seseorang dari pihak kami. Sebagai tanda itikad baik. Kesungguhan untuk berdamai."
Ia menunduk sejenak, lalu mendongak dengan napas yang nyaris patah menatap ayahnya tak percaya. Dia tahu maksudnya.
"Dan orang itu... aku?"
Jenderal Wen menatapnya, sorot matanya tajam. "Kau adalah pilihan yang paling tepat."
Dari balik dinding, Shuangni berdiri pura-pura mengamati lukisan, kipas di tangannya bergerak pelan. Tapi ekspresinya jelas mendengar semuanya.
Yuer tertawa kecil. Tawa pendek dan getir, bukan karena lucu, tapi karena akhirnya teka-teki itu lengkap.
"Kenapa bukan Shuangni?" tanyanya dengan nada nyaris lembut, tapi tajam. "Dia lebih cantik. Lebih lembut. Lebih... mewakili keluarga kita di mata orang lain."
Ayahnya tak menjawab. Tapi tentu saja Nyonya rumah ini tidak tinggal diam.
"Beraninya! Shuangni masih terlalu muda, lagi pula dia terlalu berharga untuk para pemberontak itu."
Yuer tertawa getir. "Kalau begitu kenapa bukan Kak Xianzhe? Nikahkan dia dengan wanita dari mereka, maka akan lebih mudah untuk mengendalikan mereka bukan?” lanjutnya. "Bukankah akan lebih menunjukkan kesungguhan kalau yang dikirim adalah pemimpin pasukan sendiri?"
Xianzhe menegang. Tapi tetap diam. Seperti biasa.
"Oh, tentu saja." Yuer mengangguk pelan. "Karena aku yang paling mudah dikorbankan. Yang paling tidak berarti."
Jenderal Wen bersuara lebih keras. "Jangan mengada-ada. Ini demi negeri."
Negeri. Alasan suci yang selalu digunakan untuk membenarkan pengorbanan. Tapi siapa yang benar-benar berkorban? Dan siapa yang hanya duduk di balik meja dan memutuskan nasib orang lain?
Yuer tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap ke luar jendela. Taman kecil dengan kolam di tengahnya. Dulu, ia tak pernah diizinkan bermain di sana. Tak boleh menyentuh apa pun yang bisa "mengotori" kesan rumah ini. Padahal taman itu, dengan bunga yang tumbuh, lebih hidup daripada seluruh keluarga ini. Ibunya yang menanam bunga-bunga disana.
Lalu, seolah waktu berjalan mundur, ia mendengar kembali suara gurunya. Lembut, sabar, menenangkan.
"Jika suatu hari kau diminta untuk menyerahkan sesuatu yang melukai hatimu, kau berhak menolak."
Yuer memejamkan mata sesaat.
Lalu membuka lagi.
Maafkan aku, guru.
Dengan suara tenang dan mantap, ia berkata.
"Baik. Aku akan pergi."
Kejutan terpancar sekejap di wajah Jenderal Wen dan Xianzhe. Bahkan Shuangni berhenti memainkan kipasnya.
"Kau tidak bertanya akan dikirim pada siapa?" tanya ayahnya.
"Tidak perlu," jawab Yuer. "Aku yakin siapapun orangnya, lebih ringan daripada tinggal di rumah ini."
Sunyi kembali turun. Tapi kali ini, bukan karena kuasa ayahnya, melainkan karena tak ada yang bisa membantahnya.
...
Malam itu, di sebuah kamar besar yang tak pernah ia kenali, Wen Yuer duduk di depan cermin tinggi dengan bingkai emas. Wajahnya terpantul dengan jelas. Tenang. Datar. Sedikit asing.
Ia mengangkat tangannya, menyentuh pipinya. Tapi perempuan yang menatap balik dari cermin, bukan lagi gadis kecil yang pernah menangis di sudut aula karena kehilangan ibunya.
Ia menghela napas. Dalam, panjang, dan berat.
"Jika aku adalah alat," gumamnya, lirih, "maka aku akan menjadi alat yang tak bisa mereka kendalikan."
Lalu ia tersenyum tipis. Bukan senyum lega, bukan pula kemenangan. Tapi senyum dari seseorang yang untuk pertama kalinya dalam hidupnya, memilih jalannya sendiri.
Dan besok, saat kereta utusan berangkat, Wen Yuer akan duduk di dalamnya bukan sebagai seseorang yang dikorbankan, tapi sebagai pion yang tahu dirinya mungkin saja bisa diuntungkan
susunan kata nya bagus