The Great General'S Obsession
Embun pagi menetes dari dedaunan, membasahi tanah lembap yang diinjaknya. Gaun hijau lembutnya terangkat sedikit oleh tangannya, menghindari ranting liar dan genangan air sisa hujan semalam.
Di atas bahunya, tergantung kantong kain tipis berisi peralatan tabib dan catatan herbal yang sebagian tulisannya sudah mulai pudar
Udara segar menusuk paru-paru, tapi Yuer menghirupnya dalam-dalam seolah ingin menyimpan ketenangan itu untuk nanti.
Ia jongkok perlahan di bawah pohon tua yang kulitnya menghitam di satu sisi, mungkin termakan usia. Matanya jeli menyusuri akar-akar basah yang menonjol dari tanah.
"Guihua... seharusnya tumbuh di sekitar sini," gumamnya pelan, setengah berbicara pada dirinya sendiri, setengah berharap semesta mendengar.
Saat tangannya hampir menyentuh daun kecil dengan ujung berwarna ungu, sebuah suara lirih seperti desahan berat terdengar di antara desiran angin. Yuer memastikan geraman binatang, suaranya mirip seseorang yang tengah menahan rasa sakit.
Jika itu memang orang yang terluka, maka Yuer harus membantunya.
Ia melangkahkan kakinya hati-hati mengikuti arah suara. Langkah Yuer semakin dekat pada sebuah pohon besar dan ia bisa melihat ujung kaki seseorang. Itu memang manusia. Semakin ia mendekat sedikit demi sedikit hingga Yuer melihatnya.
Seorang pria. Bersandar lemah di batang pohon besar, jubah luarnya robek parah dan berlumuran darah. Rambut panjangnya sedikit acak-acakan, sebagian menutupi wajahnya yang pucat dan tajam. Matanya terpejam tapi dadanya naik turun perlahan.
Yuer terpaku, pria itu tampak berbahaya meski sedang terluka, sepertinya bukan orang biasa. Mungkin pembunuh bayaran? Tetapi bordiran di jubah luarnya terlalu mewah untuk seorang pembunuh bayaran. Namun kemudian Yuer melihat darah mengalir di sisi lengan dan tangan yang menutupi bagian sisi perutnya.
Tanpa berpikir panjang, Yuer melangkah maju.
Ia berlutut di samping pria itu dan membuka kantong kainnya. Kemudian tangannya bergerak cepat mencari sumber luka, berusaha menyingkirkan tangan pria yang menutupi perutnya. Namun, tangannya yang lain mencengkramnya.
Yuer mendongak dan matanya bertemu dengan sepasang mata yang bergetar lemah namun tetap memancarkan ketajaman dibaliknya.
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?"
Yuer menghembuskan napas pelan, menguatkan dirinya sendiri dan menggenggam tangan yang mencengkram tangannya yang ternyata tangan pria itu terasa begitu dingin.
"Tolong, biarkan aku mengobatimu. Aku seorang tabib."
Yuer menatap matanya, dan entah memercayai kata-kata Yuer atau ketulusan di matanya, sepasang mata pria itu melunak. Begitu pula cengkraman di tangannya. Yuer tidak membuang waktu dan segera melakukan pekerjaannya. Hal pertama yang dia lakukan adalah dia harus melihat lukanya.
Saat kain robek terbuka, Yuer hampir tersentak. Ada bekas sayatan panjang yang membelah kulit dan ototnya, terlihat dalam, tapi anehnya tidak mengenai organ vital. Tangannya gemetar sesaat, lalu ia mulai bekerja. Membersihkan luka dengan air herbal, menghentikan pendarahan dengan ramuan kental beraroma pahit, dan membalut luka dengan perban seadanya yang ia bawa.
Pria itu tetap diam. Tapi ketika jarinya menyentuh kulit Yuer secara tidak sengaja, gadis itu merasa seolah disentuh oleh arus listrik dingin. Suhu tubuhnya bagai bukan milik manusia biasa.
Beberapa menit kemudian, suara langkah berat terdengar dari balik pohon.
"Jenderal!" seru dua suara bersamaan, memecah keheningan.
Yuer mendongak. Dua pria bersenjata lengkap muncul dari balik kabut, tubuh mereka tegang dan mata mereka langsung menatap tajam ke arahnya.
"Siapa kau?!" hardik salah satu dari mereka, sementara yang lain segera berlutut memeriksa keadaan pria yang dipanggil "Jenderal Qi."
Yuer terpaku. Ia ingin menjawab, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
"Jenderal Qi, Anda terluka. Kami akan segera membawa Anda kembali," ujar salah satu lelaki dengan nada cemas. Ia menoleh ke temannya dan berbisik, cukup keras untuk didengar Yuer, "Perlu kubunuh gadis ini?"
Yuer menegang.
Tapi suara pria yang terbaring itu terdengar akhirnya. Serak, rendah, dan dalam. "Tidak perlu."
Ia membuka mata.
Sepasang mata hitam gelap seperti malam tanpa bulan menatap langsung ke mata Wen Yuer. Sekilas, hanya sekilas tapi cukup untuk membuat jantungnya berdebar tidak wajar.
"Bawa aku kembali," ucap Qi Zeyan, singkat. Kemudian matanya kembali tertutup.
Dua pengawalnya segera menuruti. Mereka mengangkat tubuh Qi Zeyan dengan hati-hati dan mulai berjalan menjauh, tanpa menoleh lagi ke arah Yuer. Hanya kabut yang tersisa. Dan bekas darah di daun-daun basah.
Yuer tetap terduduk di sana selama beberapa saat.
Ia menarik napas pelan, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Tangannya masih gemetar.
Siapa dia?
Jenderal Qi, mereka bilang? Qi Zeyan?
Itu nama yang sering disebut para jenderal di kota sebagai iblis perang. Pemimpin pemberontak, pembantai di utara. Legenda hidup yang ditakuti dan dibenci, tapi juga tidak bisa dikalahkan.
Wen Yuer kembali mengingat pakaiannya. Jubah hitam, bordiran merah gelap seperti api. Bahkan dalam keadaan sekarat, auranya begitu menekan.
Yuer menggigit bibirnya. Ia berdiri perlahan, lalu mengemasi alat-alatnya. Siapapun yang dia selamatkan tadi, Yuer hanya melakukan kewajibannya sebagai seseorang yang bertugas menyembuhkan. Selebihnya, bukan urusannya.
Saat ia berjalan kembali menuju kediaman gurunya, kabut mulai menipis. Tapi pikirannya tetap berkabut.
...
Rumah gurunya berada di pinggir kota kecil bernama Jiangbei. Sebuah kediaman sederhana beratap genteng abu-abu, dikelilingi taman herbal yang ia rawat sendiri setiap pagi. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur berkat tangan Yuer yang telaten. Daun mint, akar peony, bunga chrysanthemum, dan lain-lain. Di tempat ini, Wen Yuer tinggal selama hampir sepuluh tahun.
Wen Yuer bukan tabib sejak lahir. Ia adalah anak dari Jenderal Wen—jenderal tertinggi kekaisaran, pria yang dihormati banyak orang karena kekuatannya memimpin perang perbatasan. Tapi tidak banyak yang tahu bahwa putri pertamanya hidup jauh dari gemerlap kediaman keluarga militer. Tidak tinggal di paviliun mewah yang dikelilingi pelayan.
Ia memilih tinggal bersama seorang tabib tua yang biasa dipanggilnya Guru Bai sejak usia dua belas tahun. Awalnya karena sakit keras yang tak bisa diobati oleh dokter manapun, lalu berlanjut menjadi kedekatan yang tak bisa dipisahkan. Guru Bai menyelamatkan hidupnya, dan sejak itu, Yuer menjadi muridnya.
Alasan lain mengapa Yuer memutuskan ikut dengan gurunya adalah karena ia tahu, sejak kecil, tak ada yang benar-benar menginginkannya di rumahnya sendiri. Bahkan ibunya meninggal saat ia masih kecil dan ayahnya menikah lagi. Ia tumbuh di antara wajah-wajah asing, kasih sayang yang dingin, dan keheningan yang tak pernah dijelaskan.
Itulah sebabnya saat seorang pelayan mendekatinya terburu-buru pagi itu, wajah Yuer berubah kaku.
"Nona Wen, ada tamu dari kediaman Jenderal. Mereka menunggu anda di aula."
Yuer mematung. "Utusan ayahku?"
"Benar. Mereka datang membawa surat perintah."
Saat ia melangkah menuju aula, gurunya berdiri di depan pintu. Mata lelaki tua itu memandangnya penuh iba, seperti tahu lebih dari yang ia katakan. Namun, tatapan guru Bai melihat kain bagian lengannya berlumuran darah.
"Yuer, kau terluka?"
Yuer menggeleng. "Ah, ini darah seseorang yang terluka di hutan. Aku mengobatinya."
Guru Bai menghela napas lega tapi kemudian bahunya kembali mengendur.
"Yuer, aku tidak tau apa yang akan ayahmu lakukan tapi..." katanya lembut. "Jika kau diminta untuk melakukan sesuatu yang berat oleh keluarga yang bahkan tak pernah memelukmu, kau tahu kau berhak menolak."
Yuer menatap lelaki itu. "Apakah Guru tahu apa maksud kedatangan mereka?"
"Aku hanya tahu, kau jauh lebih berarti dari yang mereka kira."
Yuer diam sesaat dan mengangguk. Dengan napas berat, Yuer membuka pintu aula.
Di dalam, dua pria berbaju resmi membungkuk padanya. Salah satunya membuka gulungan sutra.
"Putri Wen Yuer, atas perintah Jenderal Wen, Anda diminta kembali ke kediaman utama hari ini juga."
Yuer menggigit bibirnya pelan. Setelah bertahun-tahun, hanya surat dan satu kalimat perintah seolah Yuer bukanlah putrinya? Bukan bagian dari keluarga?
Tapi ia mengangguk. "Baik. Aku akan bersiap."
Di luar pintu, angin membawa harum tanaman yang ia tanam sendiri.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Wen Yuer akan kembali ke rumah. Rumah yang tidak pernah menganggapnya bagian dari mereka. Dan tanpa ia sadari, pertemuan tadi pagi di hutan akan menjadi awal dari benang takdir yang perlahan menjeratnya dalam konflik, rahasia, dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari luka yang pernah ia sembuhkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Arix Zhufa
Thor aku mampir...semoga tidak hiatus. Cerita nya awal nya udah seru
2025-08-02
1