NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Senja di Bandung , Damai di rumah

Alisya, satu-satunya putri dari seorang ibu yang berpendidikan menempuh pendidikan hingga lulus dari jurusan Manajemen. Namun, di tengah pilihan karier yang terbuka lebar, ia memilih jalan yang berbeda. Ia memutuskan menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga sepenuh waktu—sebuah pilihan yang mungkin tak semua orang pahami, tetapi ia jalani dengan tulus.

Pagi itu, setelah suami dan anak semata wayangnya, Rasya, berangkat, Alisya mulai membereskan meja makan yang masih menyisakan jejak sarapan tergesa. Piring-piring kotor dikumpulkan ke bak cuci, sementara beberapa baju kotor di ruang tamu segera ia masukkan ke dalam mesin cuci. Rumah mungil mereka yang sempat riuh mulai kembali hening, menyisakan suara mesin dan sesekali angin yang menyusup dari jendela.

Tak ada keluhan dari bibir Alisya. Baginya, ini adalah bentuk cinta yang bisa ia berikan—menjaga rumah tetap hangat dan teratur.

Menjelang siang, ia bersiap menjemput Rasya dari sekolah. Ia mengenakan gamis sederhana dan hijab berwarna lembut, wajahnya dirias tipis. Meski tak banyak bertemu orang setiap hari, Alisya percaya bahwa merawat diri adalah bagian rasa hormat terhadap kehidupan yang ia jalani

Setelah menjemput Rasya, mereka mampir sebentar ke pusat perbelanjaan. Rasya ingin membeli alat tulis bar , sambil menggandeng tangan kecil anak nya , Alisya mengarah ke Toko alat tulis di lorong dekat eskalator ia mendengar seseorang memanggil .

"Alisya? Wah, kamu masih cantik banget!" sapa Maya sambil memeluknya hangat.

Rina menambahkan, "Kita kira kamu kerja di kantor juga. Nggak pernah nongol di LinkedIn."

Alisya tersenyum. "Aku di rumah. Ngurus Rasya, rumah, dan... suami."

Citra mengangkat alis. "Hebat ya, pilih jalur yang jarang dipilih. Kita juga Udah nikah anak juga Ada masih sibuk kejar target, kadang lupa sarapan. Tapi kamu... kelihatan damai banget."

Alisya tertawa kecil. Ada nada getir yang samar, namun ia tetap tenang. "Setiap pilihan ada konsekuensinya. Kalian hebat di jalur kalian, aku juga berusaha jadi hebat di jalurku."

Mereka sempat mengobrol sebentar dan berbagi kontak satu sama lain sebelum berpamitan. Rasya sudah mulai terlihat gelisah, ingin pulang dan membuka alat tulis barunya.

Di perjalanan pulang, Alisya sempat termenung. Ada bagian dari dirinya yang rindu dunia kerja—rapat pagi, deadline, pencapaian. Tapi ia tahu, setiap hari ia sedang menanam sesuatu. Mungkin tak berbentuk angka atau grafik, tapi ia sedang menanam kasih, kesabaran, dan nilai dalam kehidupan anaknya.

Sementara itu, di Bandung...

Udara Bandung menjelang sore terasa sejuk, sedikit berkabut, dengan aroma tanah basah usai gerimis singkat. Rendi berdiri di teras sebuah kafe semi-outdoor, memandang salah satu properti yang sedang ia pertimbangkan untuk dijadikan bagian dari lini bisnis restorannya. Ia mencatat sesuatu di ponsel, lalu masuk ke dalam melihat interior. Waktu kerjanya padat, namun semua ia jalani demi impian keluarga kecilnya.

Setelah mengunjungi dua venue lagi, ponselnya berdering. Nama “Ayah” tertera di layar. Rendi menghela napas sebentar sebelum mengangkat.

“Iya, Yah?”

“Kamu di Bandung, kan? Sempatkan ke vila. Ada yang ingin Ayah bicarakan,” suara ayahnya terdengar tegas, seperti biasa.

Tanpa banyak bertanya, Rendi menurut. Sore itu juga ia mengemudi menuju vila keluarga yang terletak di dataran tinggi, sedikit tersembunyi di antara rimbun pohon pinus. Rumah tua bergaya kolonial itu masih tampak megah, dengan aura yang seolah menyimpan cerita lama.

Setibanya di sana, Ayahnya sudah menunggu di ruang tamu, duduk berdampingan dengan seorang wanita muda yang belum pernah Rendi lihat sebelumnya.

“Rendi,” sapa sang ayah. “Kenalkan, ini Bunga. Anak teman lama Ayah waktu masih aktif di dunia bisnis.”

Bunga berdiri, tersenyum ramah. Kulitnya cerah terawat, rambut panjang tergerai rapi di balik blazer krem yang menonjolkan kesan profesional. Wajahnya manis, dengan riasan tipis yang membuatnya tampak dewasa, meski jelas masih jauh lebih muda dari Rendi. Posturnya tegap, percaya diri, dan ada aura menawan yang seolah membuat ruangan sedikit lebih terang.

“Senang bisa bertemu langsung, Mas Rendi,” ucapnya sambil menjulurkan tangan. “Selama ini saya hanya dengar cerita tentang Bapak dan bisnis keluarga kalian.”

Rendi menjabat tangan itu sebentar, lalu menatap ke arah ayahnya.

“Ayah langsung saja,” lanjut sang pria tua. “Mulai Hari ini, Bunga akan jadi sekretaris pribadimu. Banyak urusan bisnis yang butuh tangan kanan yang bisa Ayah percaya.”

“Aku sudah punya tim sendiri,” ujar Rendi perlahan. “Sekretaris, admin, semuanya—”

“Ayah bilang ini soal kepercayaan. Mau tidak mau, kamu harus mau. Dia bukan cuma pintar, dia tahu cara kerja orang-orang kita. Ini bukan soal kinerja, ini soal kesinambungan.”

Bunga masih tersenyum, sopan, tanpa sedikit pun terganggu dengan ketegangan yang mulai mengendap di ruangan .

Rendi masih belum memberikan jawaban atas pernyataan ayahnya. Matanya menatap Bunga—diam-diam mencoba membaca maksud tersembunyi di balik wajah ramah gadis itu. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Nama Alisya tertera di layar. Video call.

Ia meminta izin sejenak, berdiri sedikit menjauh dari ruang tamu. Sementara ayahnya hanya mengangguk, dan Bunga tetap duduk tenang, memainkan cincin kecil di jarinya.

Layar ponsel menyala, memperlihatkan wajah Alisya yang polos tanpa riasan, hijabnya sedikit berantakan seperti habis bermain dengan Rasya. Dan di sampingnya, kepala kecil Rasya menyembul, matanya berbinar.

“Ayah di mana?” tanya Rasya langsung, polos.

“Kapan pulang?” sambungnya cepat, tanpa memberi jeda.

Rendi tersenyum, menahan letih yang mengendap sejak pagi. “Ayah pulangnya malam, sayang. Mau dibawain apa?”

Rasya berpaling, menatap bundanya, lalu berbisik kecil, malu-malu. Ia tak menjawab, malah berlari ke depan televisi, pura-pura sibuk mencari remote.

Alisya tertawa kecil melihat tingkah anak mereka, lalu menatap kembali ke layar. Wajahnya tanpa makeup, tapi tetap memiliki pesona yang selalu berhasil membuat dada Rendi terasa hangat. Ada sesuatu yang sederhana dan tulus dalam sorot mata istrinya—yang tak bisa digantikan.

“Sayang, aku pulang malam ya,” ucap Rendi pelan, matanya tak lepas dari layar.

Alisya mengangguk. “Iya, hati-hati ya. Tadi Rasya makan banyak, terus dia gambar kamu pegang robot. Nanti aku kirim fotonya.”

Rendi tersenyum kecil, namun hatinya terasa berat. Ia memindahkan panggilan menjadi panggilan suara. Suaranya menjadi lebih dalam, lebih serius.

“Lis, Ayah minta aku kerja bareng seseorang di sini. Anaknya teman lama... cewek, namanya Bunga. Katanya harus jadi sekretarisku.”

Di ujung telepon, suara Alisya terdiam sejenak. Lalu terdengar pelan, “Kamu setuju?”

“Aku belum jawab. Makanya... aku cerita ke kamu dulu.”

Ada jeda. Sebuah kesunyian yang meluruh perlahan lewat sinyal telepon. Lalu suara Alisya terdengar lagi, lembut, tak menyalahkan.

“Kamu yang tahu mana baiknya. Tapi aku percaya... kamu tahu batas dan pulangnya ke mana.”

Kalimat itu sederhana, tapi masuk tepat ke dada Rendi. Ia memejamkan mata sejenak, menenangkan suara-suara yang mulai berbisik di kepalanya.

“Terima kasih,” ucapnya pelan.

Di belakangnya, sang ayah memanggil lagi. Waktu untuk mengambil keputusan tinggal sebentar.

Rendi menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah, kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Matanya melirik ke arah Bunga dan ayahnya yang sedang duduk tak jauh dari sana. Keduanya tampak larut dalam tawa dan obrolan hangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Sementara itu, Rendi berdiri kikuk, tak tahu harus berbuat apa—bagai tamu yang tak diundang dalam cerita yang bukan miliknya.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!