Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Lift kantor JMG Tower bergerak turun perlahan, mengeluarkan suara desis halus yang akrab di telinga para pekerja. Di dalamnya, Renzi berdiri tegak dengan setelan jas Armani abu-abu tua yang sempurna, tangan terselip di saku, wajahnya seperti patung marmer yang dingin dan tak terbaca. Di sebelahnya, Herry bersandar pada dinding lift, mencerminkan gaya "playboy" yang ia usung.
Pintu lift terbuka di lantai lobi utama. Suasana Jumat sore terasa begitu kental. Lobi megah dengan dinding kaca setinggi langit-langit itu ramai dengan karyawan yang pulang. Suara obrolan, derap sepatu, dan gemerisik tas membentuk simfoni khas akhir pekan. Sinar matahari sore menyapu lantai marmer melalui dinding kaca, menciptakan pola cahaya keemasan.
Langkah mereka serempak meninggalkan lift, menuju arah pintu keluar utama di mana mobil sport mereka telah menunggu. Namun, langkah Renzi mendadak terhenti. Seluruh tubuhnya, yang biasanya begitu luwes dan penuh kendari, membeku bagai patung di tengah arus orang yang berlalu-lalang.
Di dekat pilar besar berlapis granit hitam, tempat cahaya sore jatuh dengan sempurna, berdiri Bima. Ia mengenakan setelan jas Zegna biru elektrik yang dipadukan dengan kemeja putih tanpa dasi, mencerminkan gaya santai namun elegan. Senyumnya hangat dan percaya diri, ditujukan sepenuhnya pada wanita yang baru saja turun dari lift executive.
Karmel.
Dia masih mengenakan blazer putih dan celana trousers hitam yang merupakan pakaian kerjanya, tetapi blazernya sudah dibuka, memperlihatkan blus sutra warna krem yang mengikuti lekuk tubuhnya. Rambutnya yang biasanya disanggul rapi untuk rapat, kini tergerai sebagian, mengitari wajahnya yang cantik dengan riasan natural yang mulai luntur seharian bekerja. Tas kerja kulit berwarna taupe terayun di bahunya. Namun, yang mencolok adalah senyum di wajahnya—cerah, tulus, dan agak lepas. Sebuah ekspresi yang jarang Renzi lihat di ruang rapat atau saat mereka berdua sendirian. Bima dengan santun mengambil tas kerjanya, dan Karmel menyerahkannya dengan anggukan kecil, percakapan mereka terlihat mengalir lancar.
"Ah," desis Herry di samping telinga Renzi, suaranya rendah namun menusuk seperti jarum es. "Oh, itu pacar baru Karmel. Pantes langsung move on dari lo." Setiap kata sengaja diiris tipis, penuh racun dan godaan. Matanya mengamati reaksi Renzi dengan cermat.
Renzi tidak bergerak. Namun, mata hitamnya yang biasanya seperti kolam beku, kini berkedip cepat, memantulkan cahaya dengan intensitas berbahaya. Otot rahangnya mengeras hingga terlihat jelas garis tegasnya. Tangannya di dalam saku mengepal begitu keras hingga sendi-sendi jarinya memutih. Ada gemuruh dahsyat di dalam dadanya—sebuah ledakan diam-diam yang melenyapkan rencana kencan dengan model Rusia, melenyapkan segala logika. Ini lebih dari sekadar rasa memiliki yang direnggut. Ini adalah kecemburuan primitif, membakar, liar dan asing, menyala-nyala di ruang hampa yang selama ini ia sangka adalah kekuatannya. Sebagai jenius yang licik, ia bisa membaca pasar, memanipulasi orang, tapi tidak bisa memanipulasi rasa sakit yang tiba-tiba menusuk ini saat melihat senyum Karmel ditujukan pada pria lain.
"Udah, biarin aja mereka kencan," Herry melanjutkan, menyembunyikan senyum tipis di sudut mulutnya. Dia tahu dia berhasil menyentuh urat nadinya yang sebenarnya rapuh. "Kita kan udah ada jadwal sama cewek lain juga." 'Lain' itu ditekankan, sengaja mengkontraskan dengan Karmel yang berdiri hanya sepuluh meter dari mereka.
Herry tahu segalanya. Dia tahu Renzi—sang manipulator ulung yang bisa menjungkirbalikkan akuisisi perusahaan sebelum makan siang—ternyata memiliki titik buta bernama Karmel. Bukan sekadar selingan, tapi wanita yang cerdas, pemberani, dan keras kepala itu telah merayap di celah-celah pertahanannya. Tapi Renzi adalah pria yang keras kepala dan angkuh, memandang cinta sebagai kontrak yang merugikan. Herry bertaruh dengan dirinya sendiri, bahwa suatu hari, sang raja tanpa mahkota ini akan berlutut.
"Udah, biarin aja," tambah Herry lagi, suaranya seperti bisikan iblis di telinga. "Mereka lagi dimabuk cinta. Besok juga Karmel nongol lagi di depan muka lo."
"Berisik!"
Seruan Renzi pecah, keras dan kasar, memotong keriuhan lobi. Beberapa karyawan yang lewat menoleh, lalu segera berpaling melihat raut wajahnya yang berbahaya. Wajahnya masih tampak terkendali, tapi ada retakan besar di topeng kebanggaan itu. Sorot matanya tajam bagai silet, menghujam Herry.
Herry hanya mengangkat kedua tangan, berpura-pura menyerah, tapi matanya berbinar dengan kemenangan kecil.
Renzi memalingkan wajahnya dari pemandangan yang menyiksa itu. Dari sudut matanya, ia melihat Bima dengan lembut menyentuh lengan Karmel, menuntunnya berbalik ke arah pintu keluar lain. Dadanya terasa sesak, udara di lobi ber-AC itu terasa panas dan pengap. Tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik dengan gerakan tajam bagai pedang yang dihunus. Kaki panjangnya melangkah cepat kembali ke arah bank lift, menyisihkan kerumunan orang dengan aura dinginnya yang tiba-tiba menjadi tajam.
Pintu lift yang lain terbuka. Renzi masuk dan jarinya yang dingin menekan tombol 'B1'—parkir basement eksekutif—dengan tekanan yang bisa menghancurkan plastiknya. Dalam pantulan dinding lift yang mengkilap, ia melihat bayangan dirinya: pria tampan dengan setelan mahal, wajah sempurna, tapi mata yang memandang kosong, dihantui bayangan wanita bergaun kerja putih dan senyum yang bukan untuknya.
Sementara itu, di luar lobi utama, Herry menghela napas dan mengarahkan langkahnya ke tempat panggilan valet, menghubungi sopir untuk membawa mobilnya keluar. Senyum lebar akhirnya pecah di wajahnya. Taruhannya berjalan sempurna. Malam ini, rencana telah berubah.
Di seberang lobi, dekat taman indoor, Karmel yang sedang berjalan dengan Bima tiba-tiba merasa sesuatu. Dia menoleh sekilas ke arah bank lift, tepat saat melihat sosok tinggi dengan jas abu-abu tua yang sangat dikenalnya masuk ke dalam sebuah kabin. Jantungnya berdebar kencang sekali. Ekspresinya sedikit mengeras, senyumnya pudar sesaat.
"Ada apa?" tanya Bima ramah.
"Nggak ada,"jawab Karmel, memaksakan senyum kembali. "Ayo."
Lift terus turun, membawa Renzi ke dalam kesunyian basement yang terang benderang, jauh dari keramaian lobi dan cahaya matahari sore. Tapi ia tidak bisa melarikan diri dari bayangan itu: dari ingatan bagaimana Karmel memandang Bima, dan dari kenyataan mengerikan bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, sang licik yang selalu mengendalikan permainan, justru merasa dikalahkan oleh perasaannya sendiri. Rencana kencannya dengan model Rusia tiba-tiba terasa tak berarti. Yang ada hanyalah keinginan buta untuk memutar waktu, untuk meraih lengannya dan menariknya pergi dari sana. Tapi kebanggaan, seperti belenggu besi, menahannya tetap di tempat.
***
Mobil SUV hitam Bima meluncur mulus meninggalkan kemegahan JMG Tower, menyusuri jalanan yang mulai padat oleh lalu lintas akhir pekan. Di dalam kabin yang beraroma kayu sandalwood dan pembersih kulit premium, suasana berbeda sama sekali dengan ketegangan yang ditinggalkan di lobi.
Bima dengan satu tangan santai di setir, tangan lainnya dengan lembut menyesuaikan suhu AC. "Arah anginnya jangan langsung ke wajahmu, ya? Nggak baik," ujarnya, suaranya berat namun lembut. Matanya yang berwarna coklat madu melirik sekilas ke arah Karmel sebelum kembali fokus ke jalan. Bukan lirikan penuh nafsu atau penilaian, tetapi perhatian murni.
Karmel, yang masih diam dengan pikirannya tertambat pada bayangan sosok di lift, hanya mengangguk. "Makasih, mas."
Lalu, tanpa diminta, Bima menekan tombol di sisi setir. Alunan musik jazz instrumental yang lembut mengalir pelan dari speaker berkualitas tinggi. "Musiknya bantu rileks," katanya, tanpa bertanya apakah Karmel menyukai jazz. Seolah-olah dia sudah tahu, atau setidaknya, instingnya mengatakan ini yang dibutuhkan.
Saat lampu merah, Bima tidak memanfaatkannya untuk melihat ponsel atau menatapnya. Sebaliknya, dia memalingkan badan sedikit. "Meeting terakhir tadi berat, ya? Kayak abis bertarung sama spreadsheet raksasa," ucapnya, disertai senyum kecil yang memahami.
Karmel terkejut. "Kelihatan?"
"Nebak aja," jawabnya ringan, menghapus kesan bahwa ini adalah pujian atau analisa. Hanya pengakuan sederhana antara sesama pekerja keras.
Ketika mobil memasuki area yang agak macet, Bima dengan sabar tidak menunjukkan kegelisahan. Sebaliknya, dia membuka glove compartment dan mengeluarkan sebotol air mineral kecil yang masih dingin. "Ini, minum dulu. Dehidrasi bikin pusing tambah parah." Botol itu sudah dibuka segelnya, tetapi tutupnya dikembalikan dengan rapat—detail kecil yang menunjukkan dia memastikan kebersihan dan kemudahan.
Perhatiannya tidak berlebihan, tidak terkesan dipaksakan. Semua mengalir natural. Saat Karmel mulai bercerita tentang proyeknya, dia mendengarkan dengan total—matanya tetap di jalan, tetapi dia memberikan umpan balik dengan anggukan tepat, atau pertanyaan lanjutan yang cerdas yang menunjukkan dia benar-benar menyimak, bukan sekadar pura-pura.
Mendekati rumah Karmel, Bima bertanya, "Udah makan malam? Aku lewat tadi lihat resto yang enak di sudut itu masih buka. Mau aku belikan takeaway? Jadi kamu tinggal panasin nanti, nggak usah repot masak."
Tawaran itu tulus. Tidak disertai tekanan atau harapan untuk ikut masuk ke rumahnya. Murni untuk kenyamanannya.
Saat mobil berhenti di depan rumah karmel, Bima segera turun dan berkeliling dengan cepat untuk membukakan pintu untuk Karmel. Gerakannya lancar, penuh hormat. Dia mengulurkan tangan untuk membantu dia turun—tawaran yang sopan, tanpa memaksa.
"Sampai sini saja, mas Bima. Makasih banyak udah jemput dan anterin," kata Karmel, merasa sedikit terbebani oleh kebaikan yang begitu tulus.
"Jangan bilang begitu," bantahnya sambil mengeluarkan tas kerja Karmel dari kursi belakang dengan hati-hati. "Ini," ujarnya, menyerahkan tas tersebut dengan kedua tangan. "Besok Sabtu, kamu ada rencana? Kalau nggak, aku ada tiket untuk pameran seni kontemporer di Grand Museum. Katanya seru. Tapi nggak usah jawab sekarang. Kamu istirahat dulu, nanti kalau ada energi, baru kabari aku." Dia memberikan ruang, tidak mengekang.
Dia kemudian masuk kembali ke mobilnya. Tidak menunggu Karmel benar-benar masuk ke dalam rumah, yang mungkin akan membuatnya merasa diawasi. Dia hanya melambai pendek, tersenyum, kemudian pelan-pelan menjauhkan mobilnya, memberikan Karmel ruang dan privasi.
Karmel berdiri terdiam, tas kerjanya di tangan, menatap SUV hitam yang menghilang di tikungan. Di hatinya, ada kehangatan yang asing. Sebuah perhatian yang tidak menuntut, tidak bermain game, dan sama sekali tidak menusuk. Setelah berbulan-bulan terjebak dalam dinamika beracun dengan Renzi—yang panas, penuh tantangan, tapi seringkali menyakitkan dan membuatnya merasa tidak cukup—kebaikan Bima yang stabil dan tulus ini terasa seperti oasis di gurun. Ia membuatnya merasa dilihat, bukan sebagai tantangan yang harus ditaklukkan, tetapi sebagai manusia yang layak diperlakukan dengan baik.
Dan untuk sesaat, bayangan mata dingin Renzi di lift tadi, sedikit memudar, digantikan oleh memori senyum hangat Bima dan cara matanya yang penuh perhatian memperhatikan setiap detail kenyamanannya. Ini adalah jenis perhatian yang bisa membuat siapapun, termasuk wanita sekuat Karmel, terpukau dan berpikir ulang tentang apa yang benar-benar ia butuhkan.