🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Ternyata statusnya duda.
Kini, dirumah sakit hanya tinggal Yusuf berdua dengan istrinya, yaitu Ratri. Keluarga Daffa sudah membawa Aini pulang ke rumah mereka sebagai menantu keluarga. Dina, adik dari Daffa begitu bahagia karena akhirnya sekarang dia bisa memiliki kakak ipar lagi.
"Ayo duduk, Ai." Devita mengajak Aini duduk di sofa ruang tengah, bersama mereka juga ada Arya dan Dina yang duduk di sofa berbeda.
Devita menatap ke arah suaminya sebelum mulai berbicara, wajahnya nampak ragu untuk memulai, "Aini, sebelumnya kami ingin meminta maaf karena tidak mengatakan hal penting ini pada kamu dan kedua orang tua kamu saat di rumah sakit tadi. Kami terpaksa menutupi ini dulu karena kondisi Ayah kamu yang tidak memungkinkan,"
Aini sedikit bingung, dia menatap satu persatu orang yang ada disana secara bergantian, "Sebenarnya ada masalah apa, Tante?"
"Eh, kok Tante sih, mulai sekarang kamu harus panggil kami ini Mama dan Papa. Dan itu Dina, adik ipar kamu," ucap Devita. Dina yang duduk di samping sang Papa melambaikan tangannya pada Aini sembari tersenyum lebar, tadi dia sedang kuliah hingga tidak bisa ikut menghadiri pernikahan kakaknya.
"Ma-maaf, Ma..." tunduknya malu.
Devita mengusap-usap lembut bahu Aini, "Ini tentang Daffa, suami kamu."
"Ma-Mas Daffa? Kenapa dengan Mas Daffa, Ma?" Aini menatap lekat mama mertuanya yang duduk di sebelahnya.
"Maaf, Ai." Devita menoleh ke arah suaminya sebelum lanjut berbicara, "Sebenarnya lima tahun yang lalu Daffa sudah pernah menikah. Kamu tidak keberatan kan dengan status Daffa yang seorang duda?"
Aini terkejut, matanya sedikit melebar. "Ternyata statusnya duda sebelum menikah denganku tadi..."
Namun, seandainya keberatanpun apakah masih bisa dirubah? Nasi sudah menjadi bubur, sekarang Daffa adalah suaminya. Apapun masa lalunya, Aini harus bisa menerimanya.
"Lalu, kenapa Mas Daffa berpisah dengan mantan istrinya?" tanya Aini. Jujur dia sangat penasaran dengan masa lalu suaminya, namun tak terlalu menunjukkannya dan menunggu keluarga suaminya untuk bercerita saja.
"Ceritanya panjang, Ai. Mereka berpisah setelah satu tahun pernikahan, sejak saat itu Daffa menjadi pribadi yang dingin dan tidak banyak bicara. Dan Mama harap, kamu bisa menyembuhkan luka dihati Daffa dan membawa kebahagiaan lagi di hidupnya," sebagai seorang ibu, Devita hanya ingin kebahagiaan untuk putranya yang sudah lama menduda. Hingga saat bertemu dengan Aini, dia tahu Aini adalah gadis yang baik dan pantas untuk dijadikan menantunya.
Aini tak merasa kecewa meskipun Daffa sudah pernah menikah sebelumnya. Bahkan seharusnya dia berterima kasih karena secara tidak langsung Daffa sudah menolongnya dengan mau menikahinya demi menjaga kondisi kesehatan ayahnya.
"Dina, kamu antar kak Aini ke kamar kak Daffa ya? Biar kak Aini bisa beristirahat disana," perintah Devita pada sang putri.
Dina mengambil tas Aini dan menarik tangan kakak iparnya itu dengan tangannya yang satu lagi. Sebuah ruangan yang diakui sebagai kamar Daffa mampu membuat Aini kembali gugup. Pasalnya mulai sekarang dia akan tinggal dikamar itu dengan Daffa, berdua saja.
Dina meletakkan tas Aini diatas sofa, usia mereka yang hanya terpaut dua tahun saja membuat Dina bisa langsung mengakrabkan diri dengan kakak iparnya itu. Karena usia Dina baru dua puluh tahun dan baru masuk semester tiga bangku kuliah.
"Ini kamar kak Daffa. Kakak istirahat saja dulu, nanti malam aku panggil untuk makan malam. Tapi kalau kak Daffa seringnya melewatkan makan malam dirumah, dia menjadi super sibuk sejak..."
"Sejak bercerai dengan mantan istrinya?" Aini hanya menebak saja, tapi sepertinya tebakannya itu benar. Terbukti dengan Dina yang menganggukkan kepalanya sebagai jawaban iya.
"Tapi jangan khawatir kak, meskipun duda tapi kak Daffa itu duda keren kok. Kakak sudah lihat sendiri kan dia itu tampan, ya meskipun sikapnya sedikit menyebalkan,"
Aini jadi teringat ucapan Daffa saat di rumah sakit tadi. Sebenernya bukan menyebalkan, tapi super-super menyebalkan malah. Bicara sama perempuan yang sudah menjadi istrinya saja tidak ada lembut-lembutnya sama sekali.
Dina mengusap lengan Aini, "Ya sudah kak, aku keluar dulu. Kakak istirahat ya,"
Selepas kepergian Dina, Aini kembali mengagumi kamar berukuran luas itu, sangat berbeda dengan kamarnya yang sempit dan kecil. Meskipun tidak terlihat seperti kamar pengantin pada umumnya, tapi Aini tidak merasa kecewa. Pernikahan mereka terjadi secara mendadak, jadi benar-benar tidak ada persiapan sama sekali.
_
_
_
Ketika malam tiba, Aini yang baru selesai menjalankan sholat isya langsung mengambil hijab segiempatnya yang dia letakkan di sisi ranjang ketika pintu kamar tiba-tiba dibuka oleh seseorang. Daffa masuk dengan wajah datar, ekspresinya masih sama seperti terakhir mereka bertemu tadi siang.
"Mas sudah pulang, mau saya siapkan makanan?" setelah menaruh mukenanya di atas sofa, Aini mendekati Daffa yang sedang membuka jasnya.
"Apa kamu tidak mengerti maksud ucapanku tadi siang? Perlu aku ulangi lagi?" sembari menggulung lengan kemejanya, Daffa membalikkan badan. Wajah polos tanpa polesan make up itu terlihat sangat cantik, namun tetap tak membuatnya tertarik.
"Dan satu hal lagi, jangan bicara terlalu formal denganku. Kamu bisa menggunakan kamar ini sesuka hatimu, malam ini aku akan tidur dihotel. Aku pulang hanya untuk mengambil beberapa pakaian saja," Daffa berjalan ke arah lemari, mengambil beberapa pakaiannya dan memasukkannya ke dalam tas berukuran sedang miliknya.
Ingin sekali Aini mencegahnya, namun dia masih tetap berdiri di tempatnya dan hanya mampu melihat pergerakan suaminya tanpa berani mencegah. Kata orang malam pertama itu indah, tapi tidak baginya. Suaminya bahkan ingin meninggalkannya di malam pertama mereka.
"Meninggalkan aku di malam pengantin kita tanpa alasan yang jelas, apa menurut kamu itu pantas, Mas?"
Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari bibir Aini. Daffa yang sedang merapikan baju-bajunya dan memasukannya ke dalam tas segera menghentikan aktivitasnya, pria itu menatap ke arah Aini dengan tatapan yang sulit diartikan. Jujur saja Aini sedikit takut dengan tatapannya itu, namun dia berusaha untuk terlihat biasa-biasa saja.
"Apa yang ingin kamu cari diluar sana? Wanita? Kesenangan? Kepuasan?" tak peduli dengan tatapan tajam Daffa padanya, Aini melanjutkan kembali kata-katanya.
"Jika ada yang halal bagimu kenapa harus mencari yang haram, Mas? Meskipun belum pernah menyebut namamu dalam setiap doaku, tapi Allah sudah menghadirkan kamu sebagai jodohku. Sama halnya dengan kamu, aku pun tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi, kita hanya bisa menerima dan seharusnya bisa menjalaninya dengan ikhlas."
Sungguh berani gadis dihadapannya ini berbicara seperti itu padanya. Tadinya Daffa pikir Aini hanya gadis polos yang hanya akan iya-iya saja tanpa berani melawan apalagi sampai bicara panjang lebar seperti sekarang.
"Satu hal lagi, Mas. Kamu boleh tidak menerima pernikahan kita, tapi jangan coba-coba untuk menghadirkan wanita lain sebagai orang ketiga. Karena jika semua itu sampai terjadi, maka aku sendiri yang akan mengakhirinya." suaranya terdengar sedikit bergetar, Aini menurunkan pandangannya dan tak lagi berani menatap wajah suaminya.
Daffa melangkahkan kakinya mendekat, tatapannya bahkan tak beralih sedikitpun dari wajah Aini. Jelas sekali jika gadis itu sedang berusaha menyembunyikannya kegugupannya.
"Apa maksud perkataanmu itu? Ingin disentuh?"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧