Pernikahan Briela dan Hadwin bukanlah hubungan yang didasari oleh perasaan cinta—
Sebuah kontrak perjanjian pernikahan terpaksa Briela tanda tangani demi kelangsungan nasib perusahaannya. Briela yang dingin dan ambisius hanya memikirkan keuntungan dari balik pernikahannya. Sedangkan Hadwin berpikir, mungkin saja ini kesempatan baginya untuk bisa bersanding dengan wanita yang sejak dulu menggetarkan hatinya.
Pernikahan yang disangka akan semulus isi kontraknya, ternyata tidak semulus itu. Banyak hal terjadi di dalamnya, mulai dari ketulusan Hadwin yang lambat laun menyentil hati Briela sampai rintangan-rintangan kecil dan besar terjadi silih berganti.
Akankah benar-benar ada cinta dari pernikahan yang dipaksakan? Ataukah semuanya hanya akan tetap menjadi sebuah kontrak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cha Aiyyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERJODOHAN
"AYAH— " Teriak Briela begitu ia turun dari mobilnya.
Suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai marmer terdengar begitu tergesa-gesa. Senada dengan tubuh Briela yang juga tampak tergesa-gesa.
Wanita itu bahkan mengabaikan asisten rumah tangga yang semula menyapanya setelah membukakan pintu utama mansion mewah milik keluarga besar Turner.
Briela kembali berteriak dengan intonasi yang tak kalah nyaring dari sebelumnya. "AYAAAAAHH ... ." Lengkingan panjang yang memekakkan telinga.
Asisten rumah tangga yang sejak tadi mengikutinya mengernyit, mencoba meminimalisir sakit pada gendang telinganya yang berumur.
Wajahnya tidak menunjukkan keanehan ketika mendapati nona muda mereka datang dengan teriakan juga tanduk di kepalanya. Sepertinya hal itu memang sudah sering terjadi.
Briela jarang sekali pulang ke mansion keluarga Turner, hanya sesekali dan sebagian besar alasan kepulangannya tidak lain untuk protes pada Tuan Besar Turner.
"Apa lagi kali ini?" Mungkin begitu kira-kira pemikiran asisten rumah tangga itu.
Briela berbalik dengan tatapannya yang berkilat penuh amarah, asisten rumah tangga itu bergidik ngeri. Terkejut akan tindakan nona mudanya yang tiba-tiba.
"Dimana Turner tua berada?"
Wanita yang sudah mengabdikan dua puluh lima tahun hidupnya di kediaman Turner itu lagi-lagi dikejutkan oleh pertanyaan mendadak dari nona mudanya.
Sejak Briela berusia tiga tahun wanita itu sudah menjadi bagian dari keluarga Turner, bisa dibilang wanita itu juga yang mengasuh Briela kecil.
"Katakan dimana ayahku berada, Bibi Marie!" Briela kembali melontar pertanyaan, dan kilat di matanya belum berubah sama sekali.
"Selamat datang kembali Nona," suara rendah milik kepala asisten rumah tangga menarik perhatian Briela.
Pria paruh baya dengan seragam yang di dominasi warna hitam itu terlihat menghampiri Briela dan Bibi Marie. Pria itu tersenyum dan dengan tenang kembali berucap.
"Bibi Marie, kembalilah ke dapur! Sebentar lagi jam makan malam."
Briela mengangkat satu sudut alisnya, tidak senang dengan kalimat yang di ucapkan oleh pria paruh baya yang biasa ia panggil Paman Sam itu. Namun, Briela tidak bisa protes akan hal itu. Mengatur dan memerintah asisten rumah tangga dalam mansion itu adalah tugas Paman Sam selaku kepala asisten rumah tangga. Bahkan Briela tidak memiliki kewenangan untuk menentang hal itu.
"Jadi, dimana ayahku bersembunyi, Paman Sam?"
Briela menahan amarahnya, giginya saling beradu hingga menghasilkan bunyi gemerutuk.
"Beliau sedang berada di ruang kerja, Nona. Mari saya antar," ucap Sam, masih dengan nadanya yang tenang.
Briela gegas mengikuti langkah kaki Sam yang sudah berjalan mendahuluinya. Sam membuka pintu dengan kenop berwarna emas di depannya setelah mengetuk dan memberitahukan perihal kedatangan Briela.
Briela menghambur masuk tanpa perlu di komando.
"AYAH– "
"Akhirnya, putri kecilku pulang juga." Tuan Turner menarik Briela dalam pelukan.
Wanita bertanduk itu tidak akan pernah bisa lagi marah ketika berada dalam pelukan ayahnya.
"Ayah, aku dengar dari Stella jika ayah akan menjodohkanku? Benarkah?"
"Maaf, Briela— " Tuan Turner melepaskan pelukannya, ia duduk di sofa baca di samping Briela.
Paham akan ekspresi ayahnya, Briela duduk di samping Tuan Turner. Amarah yang semula memenuhi kepalanya kini telah luruh sepenuhnya. Meski masih kecewa, Briela mencoba mendengarkan apa alasan ayahnya.
"Jadi, katakan dengan siapa ayah berencana menjodohkanku?" Briela menunggu jawaban atas pertanyaannya, terlihat tenang.
"Lalu, apa alasannya?" imbuh Briela.
"Perusahaan kita sedang tidak baik-baik saja, Briela." Tuan Turner memasang wajah sedih.
Mata Briela membelalak, "Bagaimana mungkin? Aku akan lebih percaya jika alasanmu tidak lain selain ingin menimang cucu, seperti biasanya. Tapi ini— tidak mungkin, Ayah."
Briela mendecih tak percaya. Ayahnya membuat skenario baru. "Aku tahu Ayah ... Kau hanya ingin aku segera menikah, tapi Ayah— jangan membuatku tertawa! Aku membuang tenagaku untuk marah pada delusi Ayah."
Briela tertawa lepas, wanita itu menepuk-nepuk kakinya. Menertawakan dirinya yang semula percaya omong kosong yang diucapkan Stella. Briela memegangi perutnya yang terasa sakit, sudut matanya bahkan berair.
Tuan Turner menatap putri semata wayangnya dengan rasa bersalah. Wajahnya yang mulai dihiasi garis-garis keriput benar-benar menunjukkan keputusasaan.
Briela menghentikan tawanya yang mulai sumbang, ayahnya tidak menunjukkan ekspresi lain selain rasa bersalah. Briela sedikit curiga. Apakah tebakannya salah?
Tuan Turner diam dan akhirnya tersenyum kecut. "Aku sudah mengatur perjodohanmu dengan Arthur Davis direktur sekaligus pewaris utama Davis Group. Kau hanya perlu menemuinya beberapa kali sebelum menikah. Formalitas— anggap saja itu bentuk perkenalan kalian!" Tuan Turner beranjak ke meja kerjanya.
"Satu hal lagi, perihal perusahaan kita ... Ayah sama sekali tidak berbohong akan hal itu. Jadi, lakukan saja sesuai apa yang Ayah katakan!" lanjut pria berumur itu dengan serius.
Briela diam memroses setiap kata yang ayahnya ucapkan. Wajah ayahnya tidak akan seserius itu, jika hal itu bukanlah sebuah kenyataan. Tapi— pernikahan?
Bagai di hantam palu seberat satu ton, Briela merasakan gejolak perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Jadi, Ayah berencana menjual putri sendiri demi menyelamatkan perusahaan?"
"Bukan begitu, Briela. Perusahaan merupakan peninggalan ibumu. Dia membangunnya dari nol, kau tahu sendiri betapa ibumu sangat mencintai Zoya & Co. Dia mencurahkan hampir seluruh hidupnya di sana. Ayah begitu mencintai mendiang ibumu begitu juga denganmu—" Tuan Turner menjeda kalimatnya. Kata-katanya tercekat di leher pria yang masih tampan meski di telan usia, ia bahkan menitikkan air mata. Merasa benar-benar putus asa.
"Apa tidak ada jalan lain, Ayah? Selain pernikahan, mungkin kita— "
Tuan Turner menyela kalimat Briela sebelum putri kesayangannya mengakhiri kalimat dan membuat hati tuanya semakin hancur.
"Kemungkinan perusahaan bertahan tanpa adanya pernikahan itu hanya lima persen Briela. Hutang kita sudah terlalu banyak. Meski dalam delapan tahun terakhir kau sudah banyak berkontribusi pada perusahaan, namun semua itu belum cukup Briela. Perusahaan kita sudah berada dalam krisis sejak sepuluh tahun terakhir. Maafkan Ayah, saat ibumu meninggal Ayah terlalu terpuruk dan mengabaikan perusahaan."
"Meski hanya satu persen ... Tidak, meski hanya nol koma satu persen kemungkinan kita bertahan— aku akan mencari jalan keluarnya, Ayah." Briela bertekad, wanita cantik itu berdiri dari duduknya. Ia melangkah menuju pintu.
"Percayalah Briela, pernikahan itu satu-satunya jalan keluar. Arthur Davis bersedia menanggung semua hutang kita bahkan berjanji akan membantu memulihkan perusahaan."
Briela berhenti melangkah, sejenak diam namun tidak sekalipun ia menoleh pada ayahnya. Wanita itu perlu menenangkan pikirannya yang kacau. Ia kembali melangkah.
"Pikirkan lagi soal pernikahan! Aku sudah menitipkan jadwal pertemuanmu dengan Arthur melalui sekertarismu— Stella." Tuan Turner kembali berkata.
Briela tidak peduli, ia kembali melangkahkan kaki meninggalkan mansion keluarganya. Briela lelah— bahkan, lelah tubuhnya yang baru saja selesai melakukan perjalanan bisnis tidak ada apa-apanya dengan pikirannya yang kacau.
Sebelumnya, Briela dengan percaya diri berbicara akan mencari solusi. Namun, saat ini ia sendiri bahkan meragukan kalimat itu. Haruskah Briela mengikuti saran ayahnya?
sekertaris keknya beb. ada typo.