Kirana, seorang siswi SMA dengan kemampuan indigo, hidup seperti remaja pada umumnya—suka cokelat panas, benci PR Matematika, dan punya dua sahabat konyol yang selalu ikut terlibat dalam urusannya: Nila si skeptis dan Diriya si penakut akut. Namun hidup Kirana tidak pernah benar-benar normal sejak kecil, karena ia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah yang tak terlihat oleh orang lain.
Saat sebuah arwah guru musik muncul di ruang seni, meminta bantuan agar suaranya didengar, Kirana terlibat dalam misi pertamanya: membantu roh yang terjebak. Namun kejadian itu hanyalah awal dari segalanya.
Setiap malam, Kirana menerima isyarat gaib. Tangga utara, lorong belakang, hingga ruang bawah tanah menyimpan misteri dan kisah tragis para arwah yang belum tenang. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya yang kadang justru menambah kekacauan, Kirana harus menyelesaikan satu demi satu teka-teki, bertemu roh baik dan jahat, bahkan melawan makhluk penjaga batas dunia yang menyeramkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Eh, serius nih kita ke festival antik yang katanya horor tapi gratis snack?”Jalu bicara sambil memegang brosur lusuh berwarna hitam dengan huruf emas
Festival Warisan Leluhur: Satu Malam di Tengah Benda Berjiwa
Radit nyengir. “Gratis makanan, bro. Itu yang penting.”
Nila menghela napas, lalu berkata dramatis, “Kenapa semua tempat yang kita datangi selalu ada aura horor-horornya, ya?”
Kezia menimpali sambil tertawa, “Karena kamu temenan sama Kirana.”
Diriya menyenggol Kirana. “Kau tahu gak, kamu itu magnetnya makhluk tak kasat mata.”
Kirana menjawab santai sambil melahap gorengan, “Dan kalian adalah kawanan bodoh yang tetap ikut aku ke mana pun... jadi siapa yang lebih aneh?”
Semua tertawa.
Festival itu terletak di gedung tua bekas pabrik gula di pinggiran kota.
Langit mulai oranye keunguan saat mereka tiba. Tenda-tenda berjajar, penuh barang antik dari berbagai daerah: keris, topeng, cermin, jam tua, boneka kayu, dan bahkan peti mati jati dari abad ke-18.
Tapi yang membuat bulu kuduk berdiri adalah...
semua penjaga stan mengenakan topeng kayu tanpa ekspresi.
Radit mencolek Kirana. “Eh... apa ini seni? Atau ini... udah masuk ranah ritual?”
Kirana mengangguk pelan. “Setengah-setengah. Dan itu yang bahaya.”
Di stan ketiga, Nila melihat cermin oval dengan bingkai perak yang berkilau.
“Eh Kir, ini aman gak?” tanyanya.
Kirana menatapnya sebentar. “Kalau kamu bisa lihat bayanganmu tetap utuh, berarti gak apa-apa.”
Nila mengangguk, tapi begitu mendekat, bayangannya... tidak tersenyum.
“ASTAGA!” Nila mundur dan langsung bersembunyi di belakang Radit.
Kirana cepat maju dan menutup cermin itu dengan kain hitam yang tersedia di meja.
Penjaga stan hanya menunduk pelan. “Bagus,” gumamnya. “Sudah bisa membedakan mana benda yang masih menyimpan dendam.”
Lalu mereka tiba di stan paling ujung.
Mejanya kosong. Hanya satu benda: boneka bayi dari kayu, digendong dalam kain batik merah.
Tak ada penjaga. Tak ada label.
“Kenapa ini ditaruh sendiri?” tanya Diriya.
Radit menjawab pelan, “Karena bukan semua benda bisa dipajang bareng.”
Kirana menatap boneka itu. Dahinya berkerut.
Lalu dia tersenyum kecil dan berkata, “Boleh aku pegang?”
Yang lain langsung histeris kecil.
“Kirana, are you kidding me?”seru semuanya kaget
“Tolong, jangan bawa pulang setan!” seru Nila
“Minimal... pegang pakai plastik, ya?” ujar Jalu
Tapi Kirana mengangkat boneka itu dengan hati-hati.
Dan semua jadi senyap.
Udara seperti mengental. Bau kemenyan samar muncul. Mata boneka terbuka perlahan dan ada sorot luka yang tak bisa diucapkan.
Seketika Kirana berada di ruangan kayu kuno.
Seorang ibu muda menangis sambil memeluk boneka itu. “Aku hanya ingin anak... aku cuma ingin dia... hidup...”
Lalu Kirana melihat boneka itu pernah dipakai sebagai media ritual.
Dirawat. Dipeluk. Diberi makan. Dikenakan baju.
Karena wanita itu kehilangan bayinya dan mencoba mengisi kehampaan dengan roh apa pun yang mau tinggal.
Dan roh itu yang masuk bukan roh bayi.
Kirana membuka mata.
Semua mata tertuju padanya.
“Dia... bukan berbahaya. Tapi kosong,” katanya pelan. “Yang membuatnya jahat adalah rasa kehilangan yang tidak diobati.”
Penjaga bertopeng muncul entah dari mana, dan menunduk pada Kirana.
“Kau sudah cukup paham. Boleh pilih satu benda sebagai ‘pewaris’.”
Kirana bingung. Tapi sebelum dia menjawab, boneka kayu itu tersenyum samar.
Ia memeluk boneka itu.
“Aku pilih ini. Tapi bukan untuk disimpan. Untuk dibebaskan.”
Malam itu, mereka kembali ke rumah Kirana.
Dan untuk pertama kalinya, mereka semua melakukan ritual pelepasan jiwa bersama.
Kirana memimpin. Ia menyiram boneka dengan air bunga, lalu berkata:
“Jika kau berasal dari luka, pulanglah dengan damai.
Jika kau lahir dari harap yang rusak, biarkan harapan baru menggantikan mu.”
Angin berembus. Lilin padam sendiri.
Dan dari dalam boneka, asap putih tipis keluar... lalu lenyap perlahan.
Setelahnya, mereka duduk bersama di teras.
Radit memeluk bantal. “Aku udah makin terbiasa sama acara arwah kayak gini.”
Jalu tertawa. “Aku masih nunggu versi kita dijadikan film!”
Diriya mengangkat tangan, “Tapi nanti Kirana harus perankan diri sendiri. Aktor lain pasti gak sanggup ngomong: ‘Kalau gak lucu, ngapain takut’.”
Semua tertawa.
Kirana ikut tertawa, lalu berkata,
“Kalau nanti aku bikin buku, judulnya ‘Arwah Boleh Marah, Tapi Kirana Tetap Ngemil’.”
Festival Antik membawa Kirana pada roh kosong yang lahir dari kesedihan seorang ibu—dan ia menyelamatkannya tanpa takut, tanpa amarah, tapi dengan pemahaman dan keberanian.
Ia kini bukan hanya bisa melihat...
Tapi memimpin.
Bersambung
semangat Thor berkarya itu tidak mudah salam sehat selalu ya Thor 💪👍❤️🙂🙏
lanjutkan Thor semangat 💪 salam sehat selalu 👍❤️🙂🙏