Novel kali ini mengisahkan tentang seorang pangeran yang dibuang oleh ayahnya, karena menganggap anaknya yang lahir itu adalah sebuah kutukan dari langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KPYT 002. Pergi Meninggalkan Kesedihan Bagi Jiang Wu
Senja sudah tiba, menyapa mayapada. Seolah memberi tanda bagi seluruh penduduk Desa Fanrong kalau sebentar lagi malam akan segera jatuh.
Seorang bocah bertubuh sedikit kurus berlari sekencang yang dia bisa menyeruak hutan yang cukup lebat. Tas belakang yang terbuat dari anyaman rotan terus bergoyang-goyang seakan mengiringi irama gerak sepasang kaki mungilnya yang berlari.
Dari kejauhan sudah tampak olehnya kepulan asap yang sudah tidak terlalu tebal membumbung ke angkasa. Ke arah situlah bocah enam tahunan itu menuju, karena di situ adalah letak rumah kecilnya yang reok.
Siapa lagi bocah berwajah tampan itu kalau bukan Jiang Wu, putranya Yin Huang yang sudah terkapar di depan rumahnya seakan sudah tak nyawa.
Bocah Jiang Wu terus saja berlari tanpa berhenti tanpa kenal lelah. Peluh sudah membasahi wajah imutnya dan membanjiri tubuh kurusnya, dia tidak perduli.
Meski sudah melewati kerumunan pepohonan dan semak belukar larinya pantang pula surut, bahkan semakin kencang berlari. Karena di depannya sudah tampak nyata akan wujud yang dia kejar.
Apalagi yang bocah Jiang Wu ingin cepat-cepat menemuinya kalau bukan rumah kecilnya dan ibu tercintanya.
Akan tetapi sekarang gubuk reok kecil itu tidak lagi berwujud seperti rumah yang selama hampir 6 tahun dia tempati bersama ibunya terkasih. Rumah kecil itu sudah berubah menjadi puing-puing arang yang hitam yang terkapar menyedihkan di atas tanah.
Gubuk reok kecil itu tentu telah dibakar oleh tiga wanita bengis yang datang cuma untuk membunuh ibunya. Hanya menyisakan kepulan asap yang semakin tipis tapi masih membumbung di udara senja.
Menggoreskan kesedihan yang mendalam di hati bocah Jiang Wu.
Tidak lama kemudian Jiang Wu berhenti di pelataran bekas rumahnya. Namun belum juga dia puas meresapi kepedihannya akibat rumahnya terbakar, perhatiannya langsung terbetot oleh sesosok tubuh yang terbujur kaku tak jauh di depan sebelah kirinya.
Tidak butuh waktu lama pikirannya untuk menganalisa tentang siapa pemilik tubuh yang terkapar masih bersimbah darah basah itu. Cuma beberapa helaan napas saja dia sudah dapat mengenal kalau tubuh yang terbujur kaku itu adalah....
"Ibuuu...!"
Jeritan histerisnya yang kecil tapi cukup keras langsung meledak, menghancurkan puing-puing senja yang tadinya tenang. Dengan cepat Jiang Wu menghambur ke ibunya yang terkapar diam.
Begitu sampai dia langsung menjatuhkan dirinya, duduk bersimpuh di samping kanan sang ibu. Melepaskan tasnya begitu saja hingga jatuh ke belakangnya. Lalu memeluk wanita tersebut tak menunggu lama, tanpa takut akan darah.
"Ibuuu...! Apa yang terjadi sama ibu? Huuu huhuu...! Siapa yang melukaimu, ibu...? Huhu huuu...! Katakan, ibu!"
Ratap tangis yang memilukan segera terdengar, keluar dari mulut mungilnya, seolah sebuah alunan sedih yang menyambut datangnya malam. Dilengkapi pula dengan derai air mata yang membanjir yang menyatu dengan peluhnya.
"Bangun, ibu...! Bangun...! Huuu huhuuu...! Jangan tinggalkan Wu'er sendirian, Ibu...! Hu hu huuu....! Wu'er sudah bawakan obat untuk penyakit ibu...."
Beberapa saat lamanya Jiang Wu masih terus menangis pilu meratapi keadaan Yin Huang yang begitu mengenaskan. Jiang Wu sudah cukup paham akan keadaan yang menimpa ibunya. Sehingga membuat tekanan batinnya terguncang hebat akan hal itu.
Tak lama kemudian, terdengar Yin Huang terbatuk sebanyak tiga kali yang begitu lemah dan pelan. Tapi hal itu sudah cukup membuktikan kalau wanita malang itu masih punya nyawa, entah masih berapa lama bertahan.
Mendengar suara batuk ibunya, Jiang Wu buru-buru melepas pelukannya pada wanita muda yang malang itu. Lalu memperhatikan keadaan ibunya yang seperti hendak berkata.
"Wu'er....!" panggil Yin Huang dengan suara bergetar dan yang amat lemah.
"I-iya, Bu, Wu'er ada di samping ibu," sahut Jiang Wu dengan suara bagai tercekat karena pilunya melihat keadaan ibunya. Tapi tangisnya tidak lagi terdengar.
★☆★☆
Perlahan tangan kanan Yin Huang yang lemah terangkat hendak menggapai pipi imut sang putra. Melihat itu buru-buru Jiang Wu menangkap telapak tangan ibunya, lalu menempelkan telapak tangan penuh kasih itu di pipinya.
"Wu'er, kamu jangan menangis....," kata Yin Huang dengan suara semakin lemah dan lirih. "Laki-laki pantang mengeluarkan air mata walau seberat apapun derita yang kamu alami...."
Jiang Wu tidak menanggapi ucapan ibunya. Tapi di dalam hatinya sudah bertekad akan selalu mengingat pesan ibunya yang berharga itu.
"Wu'er..., dengarkan ibu....!" semakin lemah suara Yin Huang. "Ibu... minta maaf.... tidak bisa menemanimu hingga kamu besar...."
"Jangan berkata begitu, ibu.... Ibu akan sembuh...," kata Jiang Wu semakin pilu. "Wu'er sudah bawakan obat yang ibu suruh cari...."
"Ibu tidak kuat lagi.... Tapi... tapi sebelum ibu tiada, kamu harus tahu rahasia besar yang selama ini ibu... sembunyikan... padamu...."
"Rahasia?! Rahasia apa, ibu?" kejut Jiang Wu dengan benak bertanya-tanya di tengah rasa sedihnya.
"Ibu... sebenarnya bukan ibu kandung kamu..., Wu'er," meski semakin lemah Yin Huang tetap mengungkap jati diri putranya yang sebenarnya. "Orang tuamu yang sebenarnya telah membuangmu, lalu ibu memungutmu yang sedang hanyut di sungai. Kemudian ibu merawatmu hingga sekarang...."
"Ibu...!" kejut Jiang Wu bukan main mendengar penuturan Yin Huang yang mengungkap jati dirinya.
"Ibu pasti mengada-ada 'kan?" ucap Jiang Wu selanjutnya dengan masih tidak percaya. "Sudahlah, Bu, tidak usah bicara lagi. Wu'er akan mengobati ibu...."
"Wu'er, dengarkan ibu! Kamu harus hidup lebih lama dan menjadi orang yang hebat!" Yin Huang terus saja bicara meski semakin lemah. "Karena kamu adalah anak istimewa yang terlahir di dunia ini dan memiliki bakat menjadi orang yang hebat...."
"Sedari lahir... kamu sudah memiliki dua elemen energi sakti yang langka, yaitu elemen energi api dan elemen energi es.... Tapi kamu masih harus mengasahnya dengan terus bersemedi seperti yang ibu sudah ajarkan padamu...."
"Ibu, sudahlah...! Jangan bicara lagi!" pinta Jiang Wu di sela rasa sedihnya. "Wu'er akan mengobati ibu...."
"Wu'er, anakku!" Yin Huang terus berkata di sisa-sisa tenaganya seakan tidak menggubris larangan putranya. "Saat kamu sudah menjadi pendekar hebat, kamu harus menjadi orang yang baik dan menolong banyak orang tanpa kenal pamrih...."
"Dan ingat pesan ibu, jangan pernah dendam kepada siapapun, termasuk kepada orang tuamu yang telah membuangmu...."
"Ibu...," ucap Jiang Wu dengan lirih melihat betapa wanita yang dianggapnya ibu selama ini keadaannya semakin memburuk, semakin mengenaskan.
Tak lama kemudian, Yin Huang mengeluarkan sehelai sapu tangan putih yang masih terbilang bersih tapi sudah terkena bercak darah dari balik bajunya yang berlumuran darah.
Kemudian berkata mengungkap benda tersebut dengan suara yang semakin lemah....
"Sa... sapu tangan ini... ibu temukan bersamamu saat ibu menemukanmu.... Mungkin... mungkin dengan sapu tangan ini... kamu bisa menemukan orang tuamu yang sebenarnya...."
"Wu'er, anakku!" kata Yin Huang selanjutnya setelah berhenti untuk mengambil napas. "Meski kamu bukan terlahir dari rahim ibu, kamu tetaplah anakku, anak yang baik hati dan penyabar.... Kamu tetap anak ibu di dunia dan di surga nanti...."
"Wu'er tidak ingin jadi pendekar hebat... Wu'er ingin bersama ibu terus...," air mata bocah Jiang Wu kembali berderai, tangisnya kembali meratap. "Jangan tinggalkan Wu'er, ibu, Wu'er sendiri di dunia ini. Wu'er hanya ingin bersama ibu.... Huuu huu huuuu...."
"Wu'er, kamu anak baik.... Ibu yakin kelak kamu pasti menjadi pendekar hebat...."
"Jaga dirimu baik-baik! Ibu... amat mencitaimu, Wu'er....."
Setelah berkata demikian, dan itu adalah ucapan Yin Huang yang terakhir, tangannya yang memegang sapu tangan dan yang menempel di pipi Jiang Wu seketika terkulai lemah.
Kejap berikut wanita malang itu benar-benar menghembuskan napas terakhirnya alias meninggal. Meninggalkan seorang bocah berumur enam tahun yang kini hidup sebatang kara.
"Ibuuu....!"
★☆★☆★