Aku adalah seorang gadis desa yang dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang duda dari sebuah kota. dia mempunyai seorang anak perempuan yang memasuki usia 5 tahun. dia seorang laki-laki yang bahkan aku tidak tahu apa isi di hatinya. aku tidak mencintainya dia pun begitu. awal menikah rumah tangga kami sangat dingin, kami tinggal satu atap tapi hidup seperti orang asing dia yang hanya sibuk dengan pekerjaannya dan aku sibuk dengan berusaha untuk menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak perempuannya. akan tetapi semua itu perlahan berubah ketika aku mulai mencintainya, namun pertanyaannya apakah dia juga mencintaiku. atau aku hanya jatuh cinta sendirian, ketika sahabat masa lalu suamiku hadir dengan alasan ingin bertemu anak sambungku, ternyata itu hanya alasan saja untuk mendekati suamiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia greyson, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Keesokan harinya, setelah mengantar Maira ke sekolah, Arif langsung menelepon Livia.
Suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi.
"Livia, bisa ketemu sebentar?" tanyanya.
Livia, yang baru saja bersiap hendak berbelanja, langsung mengiyakan dengan suara manis.
"Tentu, Rif. Aku ke mana?"
"Kafe dekat sekolah Maira. Sekarang."
Nada Arif tak membuka ruang untuk penolakan.
Dan itu membuat hati Livia berdebar — entah karena harapan atau ketakutan.
Tak sampai setengah jam, mereka duduk berhadapan di pojok kafe yang cukup sepi.
Arif tak membuang waktu.
"Aku mau tanya satu hal, Livia," kata Arif, menatap lurus ke mata Livia.
"Bener kamu bilang ke Maira kalau dia nggak bakal disayang lagi kalau punya adik?"
Livia tersenyum kecil, mengibaskan rambutnya ke belakang.
Seolah menutupi ketegangan yang mulai merayap di lehernya.
"Astaga, Rif... masa kamu serius sih?" katanya dengan nada dibuat santai.
"Aku cuma becanda sama Maira. Namanya juga anak kecil, kan? Main-main aja."
Arif tidak tersenyum.
Rahangnya mengeras.
"Becanda?" ulang Arif pelan.
"Becanda yang bikin anakku nangis semalaman?"
Livia tersentak, meski cepat-cepat menutupinya dengan tertawa kecil yang terdengar dipaksakan.
"Yah... aku juga nggak nyangka Maira bakal segitunya, Rif.
Aku pikir dia bakal ketawa kayak biasanya. Lagian... kan bukan hal serius," ujarnya, sambil menyeruput minumannya agar terlihat santai.
Dalam hatinya, Livia bergemuruh marah.
"Kenapa bocah itu malah ngadu? Harusnya dia ketakutan diam-diam, bukan malah manja ke orang tuanya begitu!"
"Dasar anak kecil bodoh. Gagal, semua rencanaku... Gara-gara Maira terlalu lengket sama Amira."
Livia menggertakkan giginya dalam hati, tapi wajahnya tetap dihias senyum manis.
"Kalau kamu keberatan, aku minta maaf deh," katanya, berpura-pura bersalah.
"Tapi serius, Rif... Aku cuma iseng."
Arif masih diam beberapa detik.
Menimbang. Menahan amarah.
Akhirnya ia berdiri, mengambil jaketnya.
"Kalau kamu benar-benar peduli sama aku, atau minimal sama Maira," katanya dengan nada rendah namun tajam, "jangan pernah bercanda kayak gitu lagi."
Livia tersenyum, mengangguk-angguk.
"Tentu, Rif. Aku ngerti," jawabnya cepat.
Tapi saat Arif berbalik dan melangkah pergi, Livia menatap punggungnya dengan mata yang menyala dingin.
"Aku nggak akan berhenti, Rif..."
"Kamu cuma belum sadar... Amira itu nggak pantas buat kamu. Dan aku... aku lebih pantas di sampingmu."
Senyumnya perlahan berubah menjadi garis tipis penuh niat busuk.
Permainan ini belum selesai bagi Livia.
Belum.
Setelah pertemuannya dengan Arif di kafe, Livia duduk sendirian di dalam mobilnya.
Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, matanya menatap kosong ke depan.
Rencana kecilnya untuk menghasut Maira gagal.
Bocah itu terlalu dekat dengan Amira. Terlalu percaya pada Papa dan Mamanya.
Livia menghela napas keras.
"Aku harus cari cara lain," batinnya.
Tiba-tiba, ingatannya melayang pada kedua orang tua Arif.
Seketika, senyum kecil terukir di sudut bibir Livia.
Matanya bersinar licik.
"Pasti Mereka belum tahu tentang Arif dan Maira yang sudah menikah”
"Belum ada restu..."
"Mereka pasti masih menganggap Arif sebagai duda yang setia pada mendiang istrinya."
Livia memejamkan mata sejenak, membayangkan reaksi orang tua Arif jika tahu Arif sudah menikah diam-diam dan dengan perempuan sederhana yang tidak sesuai standar keluarga besar mereka.
"Kalau aku bisa buat orang tuanya kecewa... membuat mereka menentang pernikahan itu... maka Arif akan dipaksa memilih."
"Dan saat itu terjadi..."
"Aku akan jadi sosok yang mengerti, yang mendukung... dan perlahan aku bisa masuk ke hidupnya."
Livia membuka matanya, senyumnya melebar.
Ia sudah merancang langkah berikutnya di kepalanya.
Pertama, ia harus mendekati salah satu keluarga Arif, seseorang yang masih punya hubungan dekat dengan orang tua Arif —
mungkin lewat tante atau sepupu yang masih sering berkomunikasi.
Kemudian, dengan cara yang seolah "tidak sengaja", ia akan menyebarkan kabar soal pernikahan diam-diam itu.
Tapi tentu saja dibumbui dengan kata-kata yang membuat Amira tampak... tidak pantas.
"Aku akan buat mereka marah..."
"Aku akan buat mereka merasa dikhianati..."
Dan saat badai itu datang, Livia sudah siap menjadi tempat Arif bersandar.
Menjadi 'teman lama' yang pura-pura setia.
Dalam mobilnya, Livia tertawa pelan.
Tawa kecil penuh tipu daya.
Pertarungan ini baru saja dimulai.
Dan Livia, dengan segala kelicikannya, tidak berniat menyerah.
Tidak sebelum ia mendapatkan apa yang ia inginkan:
*************************
Malam itu, Livia duduk di ruang tamu apartemennya, laptop di pangkuan, ponsel di tangan.
Wajahnya serius, matanya penuh perhitungan.
Ia membuka media sosial, menelusuri satu per satu daftar kontak lamanya.
Sampai akhirnya ia menemukan nama yang membuatnya tersenyum puas.
Bu Rina — tante sepupu Arif, yang ia tahu masih sering berhubungan dengan kedua orang tua Arif di kampung halaman.
"Ini dia kuncinya," pikir Livia.
Tanpa membuang waktu, Livia mulai mengirim pesan pribadi.
"Halo Tante Rina! Ini Livia, teman lama Arif. Gimana kabarnya? Lama banget nggak ketemu. Hehe."
Tak butuh waktu lama, Bu Rina membalas dengan ramah.
"Halo Liviaaa! Baik, Nak. Kamu apa kabar? Lama nggak dengar kabar juga. Sekarang di mana?"
Livia tersenyum, mengetik dengan cepat, memilih kata-kata hati-hati.
"Aku sekarang di Jakarta, Tan. Btw... Aku baru denger kabar tentang Arif. Wah, aku sempat kaget juga, hehe."
Bu Rina langsung penasaran.
"Kabar apa?"
Livia mengetik pelan-pelan, pura-pura ragu.
"Ah... Aku takut salah ngomong, Tan. Tapi katanya Arif sudah menikah lagi ya?
Aku kira orang tuanya pasti udah tahu dan restu banget..."
Ada jeda cukup lama sebelum Bu Rina membalas.
"Menikah? Siapa yang bilang? Orang tua Arif belum pernah cerita apa-apa!"
Mata Livia berkilat penuh kemenangan.
Ia mengetik dengan nada hati-hati, seperti seorang sahabat yang hanya "peduli".
"Aduh... maaf Tante, aku cuma dengar sekilas waktu ketemu temanku. Katanya sih, Arif menikah diam-diam... dengan perempuan sederhana, bukan dari keluarga yang setara sama dia.
Tapi aku juga nggak tau pasti, takut salah. Hehe."
Kali ini, balasan Bu Rina jauh lebih cepat — dan nada pesannya lebih tajam.
"Wah ini harus dikonfirmasi! Orang tuanya pasti kecewa besar kalau begitu. Arif kok bisa-bisanya menikah tanpa restu?"
Livia menahan tawa kecil di balik ponselnya.
Semua berjalan sesuai rencananya.
"Bagus..." batinnya.
"Biar kabar ini cepat sampai ke telinga orang tuanya. Biar mereka marah... kecewa... dan menekan Arif untuk mengakhiri pernikahan itu."
Dengan hati ringan, Livia menutup ponselnya.
Ia merasa sudah menyalakan api kecil yang sebentar lagi akan membesar.
Dalam bayangannya, ia melihat Amira menangis.
Melihat keluarga Arif memaksa Arif memilih antara mereka atau pernikahannya.
Dan saat itu terjadi, Livia siap tampil sebagai penyelamat.
"Kamu pikir kamu bisa bahagia, Amira?"
"Kita lihat... sampai kapan."
Livia tersenyum puas, sebelum bersandar santai di sofa, membiarkan bayangan kemenangannya menghangatkan hatinya yang dingin.
***********************************
Kitaaaa bikin konflik dlu ya gaessss, sedikit2 supaya makin seruuu