Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: Rumah Tua, Ingatan Kabur
Udara sore itu dingin, menusuk hingga ke tulang. Risa menghembuskan napas, menciptakan awan tipis di hadapannya sebelum menghilang ditelan senja. Matanya memicing, menatap lekat pagar besi berkarat di hadapannya. Lumut hijau menjalar tak karuan, seolah ingin menelan setiap sudut yang masih tersisa dari kejayaan masa lalu. Di baliknya, berdiri megah—atau lebih tepatnya, angker—sebuah rumah tua bergaya kolonial yang kini menjadi satu-satunya warisan yang ia miliki.
Sepuluh tahun. Sepuluh tahun sejak ia terakhir menginjakkan kaki di pekarangan ini. Sepuluh tahun sejak malam berdarah itu, malam di mana jeritan terakhir ibunya terputus begitu saja, menyisakan Risa yang masih berumur tujuh tahun dengan trauma membekas dan ingatan yang kabur. Kini, ayahnya pun telah tiada. Meninggalkannya seorang diri, kembali ke sini. Ke rumah terkutuk ini.
“Risa, ayo masuk. Nanti kemalaman,” suara Bibi Lastri memecah keheningan yang menyelimuti. Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu mobil, tersenyum ramah—senyum yang Risa tahu persis, tidak pernah mencapai mata dinginnya. Bibi Lastri mengenakan blus motif bunga-bunga, menutupi bekas luka bakar samar di tangan kanannya yang Risa perhatikan selalu ia tutupi, bahkan saat di rumah sekalipun. “Kamu pasti capek, kan?”
Risa hanya mengangguk pelan. Ia menarik koper kecilnya, melangkah gontai melewati gerbang yang berdecit nyaring seolah protes. Pohon-pohon tua dengan ranting-ranting menjulur seperti jemari kurus menyambutnya, daun-daun kering berserakan di tanah, menambah kesan suram pada rumah yang seolah hidup dalam waktu yang berbeda.
Begitu masuk, aroma apak dan debu langsung menyerbu indra penciumannya. Ruang tamu luas menyambut, dengan furnitur kayu jati yang diselimuti kain putih kusam. Di tengahnya, berdiri sebuah cermin besar berbingkai ukiran rumit. Risa berhenti, menatap pantulannya sendiri. Rambut hitam sebahu, wajah pucat, dan liontin kunci kecil yang selalu menggantung di lehernya. Kunci tanpa gembok. Pengingat akan sesuatu yang hilang, sesuatu yang terkunci dalam ingatannya.
“Jangan terlalu dipikirkan, Sayang. Bibi tahu ini berat, tapi kamu harus kuat,” Bibi Lastri menepuk pundak Risa, suaranya lembut, penuh pengertian. “Rumah ini memang sudah lama kosong. Besok Bibi suruh orang bersih-bersih.”
Risa mengangguk lagi, pandangannya tidak lepas dari cermin itu. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Bukan debu atau pantulan dirinya. Tapi, ada kilasan bayangan di sudut cermin, seolah sosok samar lewat begitu saja. Ia mengedipkan mata, dan bayangan itu lenyap. Hanya pantulan dirinya yang lelah yang tersisa.
“Ayo, biar Bibi tunjukkan kamarmu,” kata Bibi Lastri, menarik Risa dari lamunannya. Mereka menaiki tangga kayu yang berderit di setiap pijakan. Bau kayu lapuk semakin kuat. Kamar Risa terletak di ujung koridor, dengan jendela besar menghadap taman belakang. Di dalamnya, sebuah ranjang besi tua dengan sprei putih bersih terhampar. Bibi Lastri memang sudah menyiapkan semuanya.
“Ini kamar ibumu dulu,” Bibi Lastri menjelaskan, matanya berkeliling. “Bibi sengaja biarkan seperti ini. Siapa tahu kamu lebih nyaman.”
Risa merasakan jantungnya berdesir. Kamar ibunya. Ia berjalan mendekati jendela, menyentuh kusen kayu yang dingin. Dari sini, ia bisa melihat seluruh taman. Rimbun, dengan semak belukar yang tak terawat dan pohon mangga raksasa yang dahannya menjulur hingga menyentuh atap.
“Bibi tinggal di rumah sebelah, ya? Kalau ada apa-apa, panggil saja Bibi,” ujar Bibi Lastri. “Nanti Bibi antar makan malam ke sini. Kamu istirahat dulu.”
Setelah Bibi Lastri pergi, Risa menghela napas panjang. Ia menjatuhkan diri di tepi ranjang. Keheningan segera menyelimuti. Keheningan yang tidak kosong, melainkan penuh. Penuh dengan bisikan-bisikan tak kasat mata yang entah mengapa terasa begitu nyata. Ia memejamkan mata, mencoba mengusir rasa takut yang mulai merayapi.
Sore menjelang malam. Risa membuka kopernya, mengeluarkan beberapa buku pelajaran dan novel. Ia berusaha mengalihkan pikiran dengan membaca. Namun, setiap kata yang ia baca seolah melayang, tak mampu masuk ke dalam otaknya. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Setiap suara angin yang menderu, setiap dahan pohon yang bergesekan, seolah menjadi irama menakutkan yang membangkitkan kenangan-kenangan buruk.
Pukul 02.00 dini hari. Risa terbangun dari tidur singkat yang gelisah. Tenggorokannya kering. Ia memutuskan untuk turun mengambil minum. Rumah itu gelap gulita, hanya diterangi rembulan yang menembus jendela kaca patri di ruang tamu. Langkah kakinya berhati-hati, menuruni tangga yang berderit. Ia merasa diikuti.
Sensasi itu, sudah lama tidak ia rasakan. Sensasi dingin di tengkuk, rambut halus di lengannya meremang. Ia menoleh ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Hanya bayangan gelap yang menari-nari di dinding, dibentuk oleh pantulan cahaya rembulan.
Saat melewati ruang tamu, pandangannya kembali tertuju pada cermin besar itu. Kali ini, ia melihatnya dengan jelas. Bukan bayangan samar, tapi sebuah sosok. Wanita berambut panjang, mengenakan gaun putih usang, berdiri di belakang pantulan dirinya. Wajahnya kabur, namun matanya… matanya menatap Risa dengan sorot penuh kesedihan, seolah memohon sesuatu. Risa membeku di tempatnya. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar.
“Ibu?” bisik Risa, suaranya nyaris tak terdengar. Ia mengulurkan tangan, gemetar. Bayangan itu tidak bergerak. Hanya menatapnya. Lalu, perlahan, sosok di cermin itu mengangkat tangannya. Jari telunjuknya menunjuk ke arah sudut ruangan yang gelap, tempat sebuah pintu kecil tersembunyi di balik lemari buku tua. Pintu yang Risa tidak pernah tahu keberadaannya.
Suara berderit pelan terdengar dari arah pintu itu, seolah ada yang membuka atau menutupnya. Risa menoleh. Bayangan wanita di cermin itu menghilang, meninggalkan Risa sendirian dalam kegelapan yang pekat. Tubuh Risa bergetar hebat. Rasa dingin yang ia rasakan bukan lagi karena cuaca, tapi karena ketakutan yang mencekam. Ia tahu, ia tidak berhalusinasi. Itu nyata.
Ia beringsut mundur, jantungnya masih berdentum. Kakinya terasa seperti jeli, tidak mampu menopang bobot tubuhnya. Ia ingin lari, tapi kakinya terpaku. Matanya tak lepas dari pintu tersembunyi itu. Apa yang ada di balik sana? Kenapa ibunya menunjuk ke arah sana? Ada apa dengan rumah ini? Bisikan-bisikan, bayangan-bayangan… semuanya terasa begitu familiar, seolah bagian dari mimpi buruk yang ia lupakan. Risa merasakan tenggorokannya tercekat. Ia harus mencari tahu. Ia harus mengungkap rahasia yang terkubur di balik dinding-dinding usang ini. Entah apa pun risikonya.
Keesokan harinya, Risa bangun dengan mata bengkak dan kepala pusing. Kejadian semalam terasa begitu nyata, tapi ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi buruk karena kelelahan. Saat ia sedang menyeduh teh di dapur, bel pintu berbunyi. Bibi Lastri sedang keluar belanja. Risa membuka pintu, dan di sana, berdiri Kevin.
“Kevin? Kok, lo di sini?” Risa terkejut. Kevin memakai kemeja kotak-kotak dan celana jins, rambutnya rapi seperti biasa, dan tahi lalat kecil di bawah mata kirinya terlihat jelas.
Kevin tersenyum tipis. “Gue khawatir sama lo. Lo nggak masuk sekolah hari ini. Gue udah coba telepon, tapi nggak diangkat.” Ia mengangkat tas plastik yang dibawanya. “Ini, gue bawain sarapan. Bubur ayam langganan lo.”
Risa merasakan kehangatan menjalar di hatinya. Kevin selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. “Makasih, Kev. Maaf, gue… gue nggak enak badan aja.”
“Nggak usah bohong,” Kevin menatap Risa lekat-lekat. Mata tajamnya seolah bisa membaca setiap kebohongan yang coba Risa sembunyikan. “Lo kenapa? Lo pucat banget. Ada sesuatu, kan? Ini tentang rumah ini?”
Risa terdiam. Haruskah ia menceritakan apa yang ia lihat semalam? Kevin adalah teman terbaiknya, cerdas dan logis, tapi Risa tahu Kevin skeptis terhadap hal-hal gaib. Ia tidak mau Kevin menganggapnya gila.
“Nggak… nggak ada apa-apa,” jawab Risa, mencoba tersenyum meyakinkan. Tapi, senyum itu terasa pahit di lidahnya. Ia tahu Kevin tidak akan percaya semudah itu. Sorot mata Kevin berubah khawatir, tahi lalat di bawah matanya seolah ikut mengernyit.
“Lo nggak bisa bohong sama gue, Ris. Gue tahu lo. Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita sama gue. Gue ada buat lo,” Kevin melangkah masuk, menutup pintu. Ia meletakkan bubur di meja makan. “Sekarang cerita. Apa yang terjadi?”
Risa menelan ludah. Ia menatap Kevin, melihat ketulusan di mata temannya. Mungkin… mungkin ia memang butuh seseorang. Seseorang yang bisa membantunya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini, dan apa yang ibunya coba sampaikan. Seseorang yang bisa membawakan logika di tengah kekacauan yang kini menyelimuti pikirannya.
Ia mengingat kembali bayangan di cermin itu, jari telunjuk yang menunjuk ke pintu tersembunyi. Ketakutan masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa penasaran yang membara. Ada rahasia yang terkunci. Dan Risa harus membukanya. Dengan atau tanpa bantuan Kevin, ia akan mencari tahu. Tapi dengan Kevin di sisinya, setidaknya ia tidak sendirian dalam kegilaan ini.
“Kev…” Risa memulai, suaranya serak. Ia menunduk, meremas liontin kunci di lehernya. “Semalam… gue lihat Ibu.”