menceritakan sang pangeran bernama iglesias Lucyfer seorang pangeran yang manja dan kekanak-kanakan suatu hari dia dan kakak perempuan Lucyfer iglesias Elice ingin menjadi penyihir high magnus dan bertahun tahun berlalu di mana saat sang kakak kembali lagi ke kerajaan vantier Elice berubah pesat dan menjadi sangat dingin, perfeksionis,fokus dan tak peduli dengan siapapun bahkan Elice malah menantang sang adik dan bertarung dengan sang adik tetapi sang adik tak bisa apa apa dan kalah dalam satu teknik sihir Elice,dan Elice mulai menyadarkan Lucyfer kalau penyihir seperti nya tak akan berkembang dan membuat lucyfer tetap di sana selama nya dan sang adik tak menyerah dia ke akademi yang sama seperti kakak nya dan mulai bertekad menjadi high magnus dan ingin membuktikan kalau diri nya sendiri bisa jadi high magnus tanpa kakak nya dan Lucyfer akan berjuang menjadi yang terhebat dengan 15 teman teman nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nakuho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 1:janji di taman yang hijau
Alun-alun Kerajaan Vantier tak pernah benar-benar sunyi.
Di bawah langit biru yang terbentang luas, berbagai ras hidup berdampingan—elf dengan telinga runcing berkilau, ras naga dengan sisik yang memantulkan cahaya matahari, orc bertubuh besar, manusia bertelinga kucing, serta banyak ras lain yang sulit dihitung jumlahnya. Suara tawa, langkah kaki, dan percakapan bercampur menjadi denyut kehidupan kerajaan terbesar di benua ini.
Namun, di balik hiruk-pikuk itu, taman kerajaan menyimpan ketenangan yang berbeda.
Di sanalah dua anak berambut putih dengan mata merah darah berlari di antara pepohonan. Rambut mereka berkilau diterpa cahaya matahari, seolah menandakan bahwa mereka bukan anak biasa.
Seorang anak laki-laki tertawa lepas sambil berlari zig-zag, meninggalkan jejak kristal es tipis di tanah. Sesekali, bayangan dirinya terbelah—kloning elemen muncul lalu menghilang, membingungkan siapa pun yang mengejar.
“Ahahahaha! Kakak tunggu aku! Aku belum siap!”
suara polos itu menggema di taman.
Anak perempuan di belakangnya tersenyum lebar. Tatapannya tajam namun penuh kasih.
“Ayo, siap atau tidak,” katanya sambil mengangkat tangan.
“Kakak pasti akan menangkapmu, Lucyfer.”
Dengan satu sentakan kaki, hawa dingin menyelimuti udara. Lapisan es tipis membekukan jalur Lucyfer—cukup untuk membuatnya terpeleset ringan dan berhenti.
“Ngh… capek…”
Lucyfer membungkuk, terengah-engah, napasnya tak beraturan.
Dari balik pohon besar, sang kakak muncul. Rambut putihnya terikat rapi, mata merahnya lembut—Iglesias Elice, kakak perempuan Lucyfer.
Di tangannya, sebuah kotak kecil dan dua gelas.
“Lucyfer…” katanya pelan sambil tersenyum.
“Kakak bawa makanan manis dan jus jeruk. Kamu suka, kan? Apalagi kue cokelat ini.”
Mata Lucyfer langsung berbinar.
“Waaaah! Kakak! Aku mau! Aku mau!”
Ia berlari kecil lalu memeluk Elice tanpa ragu.
“Hati-hati,” Elice terkekeh.
“Sini, duduk di pangkuan kakak.”
Lucyfer pun duduk manis. Elice menyuapi adiknya perlahan, memastikan tak ada remah yang jatuh. Sementara Lucyfer sibuk menikmati kuenya, Elice mendongak ke langit—awan putih bergerak pelan, seolah waktu berjalan lebih lambat di taman itu.
“Hei, Lucyfer,” ucapnya tiba-tiba.
“Jujur… kakak ingin jadi high magnus.”
Lucyfer berhenti mengunyah.
“Nanti kakak ingin jadi High Magnus Es yang hebat,” lanjut Elice dengan mata berbinar.
“High Magnus yang bisa melindungi banyak orang.”
Lucyfer langsung menggeleng cepat, pipinya menggembung.
“Tak boleh! Tak boleh!”
“Nanti siapa yang menemani aku?!”
Elice tertawa kecil lalu mencubit pipi adiknya yang lembut.
“Hei, kakak cuma mau melindungi orang-orang,” katanya lembut.
“Sekalian melindungi kamu juga, dasar manja.”
Lucyfer menunduk sebentar sebelum berkata pelan,
“Kakak… untuk apa jadi High Magnus? Di sini kita bisa makan apa saja… kita kan pangeran dan putri Kerajaan Vantier…”
Nada suaranya melemah.
“Walaupun… ayah dan ibu sudah tidak ada.”
Elice terdiam.
Ia mengelus kepala Lucyfer, lalu memeluknya erat. Tatapannya hangat, namun ada kesedihan yang tersembunyi.
“Tenang saja,” katanya lembut.
“Nanti kamu juga akan jadi High Magnus.”
Lucyfer menatapnya, bingung.
“Kamu masih 6 tahun,” lanjut Elice sambil tersenyum.
“Kakak 10 tahun. Kakak yang jadi High Magnus pertama… lalu kamu jadi yang terkuat setelah kakak.”
Ia mengulurkan jari kelingking.
“Kita berjanji, ya? Kita jadi High Magnus bersaudara.”
Lucyfer tersenyum polos.
Ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Elice.
Angin berhembus pelan, dedaunan bergoyang lembut—seolah alam sendiri menjadi saksi atas janji dua anak itu.
Namun…
Dari kejauhan, di balik bayangan bangunan taman, seseorang berdiri dengan tudung hitam. Sosok itu mengintip dalam diam.
Tatapan matanya penuh kekecewaan… dan setetes air mata jatuh tanpa suara.
Janji itu terdengar indah.
Namun di masa depan,
apakah janji itu akan ditepati—
atau justru dikhianati dengan cara yang jauh lebih kejam?