Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.
Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.
Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.
Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.
Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.
“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN DI TENGAH BADAI
Lokasi: Lereng Gunung Merapi, Sisi Selatan.
Waktu: 02.15 Dini Hari.
Hujan di lereng Gunung Merapi malam ini tidak sekadar turun membasahi bumi; langit seolah sedang berusaha menenggelamkan sejarah yang terkubur di bawah lapisan tanah vulkanik.
Air dingin menusuk kulit, angin menderu membawa bau belerang yang menyengat, dan lumpur setinggi mata kaki siap menjebak siapa pun yang cukup bodoh untuk berada di sini.
Bagi sebagian besar manusia waras, ini adalah cuaca terburuk untuk keluar rumah. Ini adalah waktu yang tepat untuk menarik selimut tebal, menyeduh kopi panas, dan bermimpi indah.
Namun, bagi Aditya Wiranagara, ini hanyalah malam Selasa yang standar. Rutinitas menyedihkan yang sudah ia jalani bertahun-tahun.
Pemuda itu berjongkok di dahan pohon beringin tua yang licin, sepuluh meter di atas permukaan tanah. Tubuhnya dibalut armor taktis berwarna hitam matte yang menyatu sempurna dengan kegelapan.
Tidak ada logo superhero mencolok, tidak ada jubah yang berkibar konyol. Hanya fungsionalitas murni: pelindung nikel di dada, serat karbon di persendian, dan sabuk utilitas yang penuh dengan mainan mahal.
Di bawahnya, sekitar lima puluh meter dari tempat persembunyiannya, sebuah generator diesel menderu kasar, berjuang melawan suara badai. Generator itu memberi tenaga pada empat lampu sorot halogen raksasa yang menerangi sebuah lubang galian menganga di tengah hutan lindung.
Di sekitar lubang itu, lima orang pria berdiri dalam formasi perimeter.
Aditya menyipitkan mata di balik masker taktis separuh wajah yang ia kenakan. Dia mengamati mereka. Mereka bukan penjarah kubur amatir yang bermodalkan cangkul dan klenik murahan.
Mereka mengenakan rompi anti-peluru kevlar, night-vision goggles (NVG) kelas militer, dan memegang senapan serbu laras pendek dengan peredam suara. Gerakan mereka efisien, minim suara, dan disiplin.
Tentara bayaran. Atau lebih buruk lagi: pembersih profesional dari organisasi "itu".
Aditya menghela napas panjang, uap putih keluar dari sela maskernya.
*"Aku bisa saja ada di penthouse sekarang," batinnya, sebuah keluhan yang sudah menjadi mantra pribadinya setiap kali misi lapangan. "Tidur di kasur king size* dengan sprei sutra 600 thread count, suhu ruangan diatur tepat 18 derajat Celsius, mungkin bermimpi jadi orang normal yang masalah terbesarnya cuma macet di Sudirman atau memilih menu makan siang."
"Tapi tidak. Aku di sini. Di atas pohon. Basah kuyup. Menunggu giliran dipukuli oleh orang asing demi menyelamatkan batu tua."
Dia mengetuk pelan earpiece di telinga kanannya.
"Rin, status?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar di antara deru hujan.
Suara Karina Wiranagara, adiknya, terdengar renyah dan jernih di telinganya, sebuah kontras yang menjengkelkan dengan situasi hidup-mati ini. Terdengar suara kunyahan keripik kentang yang nyaring di latar belakang.
"Video feed stabil, Tuan Muda. Drone Garuda sudah di posisi hover, lima puluh meter di atas target. Sensor termal mendeteksi lima tanda kehidupan manusia dengan detak jantung stabil. Mereka tenang. Sangat profesional. Sepertinya mereka belum sadar kalau ajal mereka sedang jongkok di atas pohon."
"Bagus. Ada lagi?" tanya Aditya datar.
"Ada," nada suara Karina berubah, nuansa main-mainnya hilang sedikit. "Satu entitas termal di dalam lubang galian itu. Suhunya... aneh. Dingin. Minus sepuluh derajat di tengah udara tropis. Dan ukurannya besar banget, Mas. Good luck."
Aditya menyipitkan mata, menatap kegelapan lubang itu. Dia tidak butuh sensor termal canggih untuk tahu ada sesuatu yang salah.
Bulu kuduknya sudah berdiri sejak lima menit lalu—sebuah insting atavistik, warisan darah leluhur yang berteriak bahwa ada predator purba di dekatnya.
Ada bau ozon dan tanah makam yang menyeruak di antara bau hujan.
"Bisa kau definisikan 'besar'?" tanya Aditya.
"Ingat mobil SUV yang Mas belikan pas ulang tahunku tahun lalu? Sebesar itu. Tapi punya cakar. Dan sepertinya... dia lapar."
"Luar biasa," gumam Aditya sarkas. "Matikan lampu mereka."
"Aye-aye, Captain."
Di langit gelap di atas mereka, sebuah drone kecil seukuran burung merpati, dengan desain sayap menyerupai Garuda biomekanikal, menukik turun tanpa suara.
ZING.
Drone itu melepaskan gelombang elektromagnetik (EMP) terarah dalam radius sempit. Efeknya instan dan mematikan bagi teknologi.
Lampu sorot halogen meletup dan mati. Generator tersedak lalu diam. Kacamata night-vision kelima tentara itu menjadi buta total, hanya menampilkan statis putih yang menyakitkan mata.
Kegelapan menyelimuti hutan itu secara absolut.
"Sialan! Alatku mati!" teriak salah satu penjaga panik.
Detik kepanikan musuh adalah undangan VIP bagi Aditya.
Dia tidak melompat sembarangan. Dia menjatuhkan diri dengan perhitungan gravitasi yang presisi. Kabel winch halus dari sabuknya menahan laju turunnya, membuatnya mendarat di tanah becek nyaris tanpa suara. Armor ringan berbahan campuran nikel miliknya meredam benturan dengan sempurna.
Sebelum tentara pertama sempat melepas kacamata malamnya yang rusak, Aditya sudah bergerak.
Dia bukan petarung tinju yang mengandalkan otot besar. Dia adalah penari dalam kegelapan.
Aditya meluncur di atas lumpur, mendekati target terdekat. Satu hantaman telapak tangan terbuka menghantam ulu hati pria itu. Bukan pukulan keras, tapi dorongan tenaga dalam yang terfokus—teknik Pecah Pamor yang ia pelajari dari guru silat tua di Banten.
Gelombang kejut menembus kevlar, menghentikan napas lawan seketika. Pria itu ambruk ke lumpur tanpa sempat berteriak.
Satu jatuh. Empat tersisa.
"Kontak! Di arah jam enam! Matikan NVG!" teriak komandan regu mereka, suaranya panik tapi terkendali.
Suara kokang senjata terdengar serempak. Moncong senapan memuntahkan api, memecah kegelapan dengan kilatan strobo yang mengerikan.
Dor! Dor! Dor!
Aditya tidak menghindar dengan salto akrobatik ala film superhero Hollywood. Itu boros tenaga dan membuatnya jadi target empuk.
Sebaliknya, ia memejamkan mata fisiknya sekejap dan membuka "Mata Leluhur".
Dunia berubah. Hutan yang gelap kini terlihat dalam spektrum abu-abu dan perak. Waktu seolah melambat.
Di mata batinnya, gerakan musuh meninggalkan jejak bayangan after-image sepersekian detik lebih lambat dari aslinya. Dia bisa melihat "niat" mereka—garis-garis merah tipis yang memproyeksikan ke mana peluru akan terbang, sedetik sebelum pelatuk ditarik.
Aditya hanya memiringkan kepala sedikit ke kiri.
Sebuah peluru mendesing, panasnya terasa di pipinya yang tertutup masker. Dia melangkah miring, membiarkan rentetan peluru kedua menghantam pohon di belakangnya.
Dia maju. Cepat. Cair. Mematikan.
Dia menyapu kaki lawan kedua, mematahkan keseimbangannya, lalu menggunakan bahu pria itu sebagai tumpuan untuk melompat dan menendang helm lawan ketiga.
Krak.
Suara visor helm pecah terdengar nyaring di tengah hujan.
Lawan keempat mencoba menusuknya dengan pisau komando. Aditya menangkap pergelangan tangan pria itu, memutarnya dengan teknik kuncian sendi, dan membantingnya ke tanah dengan satu sentakan keras.
"Jangan bangun," bisik Aditya pada pria yang mengerang di bawah kakinya. "Asuransi kesehatanmu tidak akan menanggung ini."
Dalam empat puluh lima detik, kelima tentara profesional itu terkapar di lumpur. Mengerang, pingsan, atau sibuk memegangi tulang rusuk yang retak.
Tidak ada yang mati. Aditya punya aturan ketat soal itu: setiap nyawa yang hilang akan menciptakan hantu baru, dan dia sudah cukup sibuk dengan hantu-hantu lama.
Aditya berdiri tegak di tengah medan tempur yang kini sunyi, napasnya sedikit memburu. Dia membersihkan lumpur dari pelindung bahunya yang berlogo samar Wiranagara Group.
"Area bersih," lapornya sambil menatap tumpukan tubuh itu. "Itu tadi terlalu mudah. Aku jadi curiga. Biasanya di tahap ini, ada sesuatu yang meledak atau seseorang yang mencoba mengutukku."
"Jangan sombong dulu, Mas," suara Karina kembali, kali ini terdengar jauh lebih tegang. Tidak ada lagi suara keripik. "Grafik energinya... wow. Ini bukan sekadar hantu lokal, Mas. Energinya padat sekali. Dia... bangun."
Tanah di sekitar lubang galian tiba-tiba bergetar hebat.
Bukan getaran gempa tektonik. Ini getaran ritmis.
DUM. DUM. DUM.
Seperti detak jantung raksasa yang berasal dari perut bumi.
Aditya mundur selangkah. Lumpur di bibir lubang mulai mendidih. Akar-akar pohon di sekitar area galian tiba-tiba menggeliat seperti ular yang terbangun dari hibernasi, melepaskan diri dari tanah dan menari-nari di udara.
Kemudian, sebuah tangan muncul dari kegelapan lubang.
Jika itu bisa disebut tangan.
Jari-jarinya panjang, hitam legam, terbuat dari batu andesit kuno yang kasar. Di sela-sela sendi batunya, akar-akar pohon menjalar sebagai otot penggerak, berdenyut dengan cahaya merah redup.
Sesuatu yang purba telah bangkit. Dan dia tidak senang tidurnya diganggu.
👉👉👉
luar biasa!!!
tak kirimi☕semangat💪
💪💪💪thor
jodoh ya thor🤭
makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
💪💪💪adit
tp yakin sg bener tetep menang
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit