HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Retakan Pertama yang Diabaikan
Dua minggu setelah Tini dan Dewanga resmi pacaran, mereka bertemu di taman kota kecil dekat pasar malam. Eka ikut—duduk di ayunan sambil bermain sendiri, sesekali melirik ke arah ibunya dan Dewanga yang duduk di bangku taman.
"Om Dewa, ayo main ayunan!" teriak Eka dengan suara riang.
Dewanga tersenyum, hampir berdiri, tapi Tini langsung menarik tangannya. "Dewa, duduk dulu. Kita lagi ngobrol."
"Tapi Eka—"
"Biarin. Dia bisa main sendiri." Nada Tini datar, tidak ada kehangatan.
Dewanga melirik Eka yang wajahnya berubah murung. Gadis kecil itu berhenti mengayuh, menatap tanah dengan pandangan kosong. Ada sesuatu yang mengganjal di dada Dewanga, tapi ia diam saja.
Tini melanjutkan ceritanya tentang tetangganya yang suka bergosip. Suaranya semakin keras, semakin kesal. Dewanga mendengarkan sambil sesekali mengangguk.
"Terus si Bu Marni itu bilang, 'Janda kok masih cari-cari cowok.' Sialan! Emangnya dia siapa? Hidupnya sempurna? Suaminya kerja kantoran tapi selingkuh sama anak kuliahan!"
Dewanga terdiam. Ia tidak tahu harus merespons apa.
Tiba-tiba Eka datang menghampiri, menarik-narik baju ibunya. "Mama, Eka haus..."
"Bentar, Eka. Mama lagi ngomong!" Tini menepis tangan anaknya dengan kasar.
Eka mundur, bibirnya bergetar.
Dewanga refleks bangkit. "Tini, aku beliin minum buat Eka dulu ya—"
"Lo bisa diem gak, sialan!" Tini membentak tajam. Wajahnya merah menahan marah. "Ini anak gua, jangan ikut campur! Gua tau kapan dia harus minum, kapan enggak!"
Dewanga terpaku.
Suara bentakan itu keras—beberapa orang di taman menoleh. Eka menunduk dalam-dalam, tangannya meremas-remas ujung bajunya.
Hening.
Dewanga merasakan dadanya sesak. Bukan karena sakit fisik—tapi karena rasa tidak nyaman yang aneh, asing. Seperti ada yang salah, tapi ia tidak bisa menjelaskannya.
Tini menarik napas, lalu tersenyum—seolah tidak terjadi apa-apa. "Maaf ya, Dewa. Aku lagi emosi. Tadi siang ribut sama tetangga. Jadi bawa-bawa ke sini."
Dewanga mengangguk pelan. "Gak papa..."
Tapi dalam hatinya, ia bertanya: Kok kayaknya... lebih dari sekadar 'lagi emosi'?
Malam itu, Dewanga pulang dengan perasaan campur aduk.
Ia duduk di pinggir gerobaknya yang sudah ditutup, menatap langit malam. Bintang-bintang redup tertutup awan.
Kata-kata Tini bergema di kepalanya: "Lo bisa diem gak, sialan!"
Bukan hanya kata-katanya—tapi caranya membentak. Tajam. Dingin. Tanpa rasa bersalah.
Dan yang lebih mengganggunya: cara Tini memperlakukan Eka.
Gadis kecil itu hanya minta minum. Wajar. Tapi Tini menepis tangannya seperti menepis lalat.
"Mungkin... mungkin karena dia capek," bisik Dewanga menenangkan dirinya sendiri. "Orang kalau lagi capek, kadang kasar. Ayah dulu juga pernah bentak aku kalau lagi sakit."
Tapi ada perbedaan.
Ayahnya membentak karena kesakitan yang tidak tertahankan—lalu kemudian minta maaf sambil menangis. Tapi Tini? Ia membentak dengan wajah datar, lalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Dewanga menggeleng, mengusir pikiran itu.
"Gak boleh gini. Dia udah mau nerima aku. Udah sayang sama aku. Aku harus sabar. Semua orang punya kekurangan."
Ia menatap tangannya yang kasar penuh kapalan—tangan yang selama ini ditolak oleh tiga perempuan.
Dan sekarang, ada satu perempuan yang mau menerimanya.
"Aku harus bersyukur," bisiknya memaksa. "Aku harus bersyukur."
Tapi malam itu, Dewanga tidur dengan perasaan tidak tenang—sesuatu berbisik di sudut hatinya: Ada yang salah. Ada yang tidak beres.
Tapi ia terlalu takut untuk mendengarkannya.