NovelToon NovelToon
Rempah Sang Waktu

Rempah Sang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Istana/Kuno / Reinkarnasi / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author:

Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.

1. Konten Berujung Maut

“Hai Guys! Balik lagi sama gue, Kirana, di segmen Makan Terus Pantang Kurus! Tapi hari ini agak beda, karena gue nggak bakal mukbang seblak level Lima puluh, tapi gue lagi ada di Museum Nasional. Katanya sih, di sini ada alat masak kuno yang terkutuk. Spooky banget kan?”

Kirana berbicara cepat di depan kamera ponselnya, memasang wajah pura-pura takut yang dibuat seimut mungkin. Ia menurunkan ponsel, mengecek hasil rekaman.

“Kurang lighting.” Keluhnya pelan.

Gadis berusia 24 tahun itu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan pameran yang sepi. AC museum berdengung halus, satu-satunya suara yang terdengar selain ketukan sepatu sneakers mahalnya di lantai marmer.

Matanya tertuju pada sebuah objek di sudut ruangan yang di beri tali pembatas beludru merah. Sebuah lesung batu tua. Warnanya hitam legam, permukaannya kasar dan berlumut kering. Keterangan di bawahnya tertulis: Lesung Nyai Ageng, abad ke-14. Konon digunakan untuk meracik bumbu kerajaan. Dilarang menyentuh.

“Dilarang menyentuh? Please deh, itu cuman batu.” Gumam Kirana.

Otak konten kreator-nya langsung bekerja. Kalau gue bikin video nyentuh ini batu sambil pura-pura kesurupan, views pasti meledak.

Ia menoleh ke kanan dan kiri. Penjaga museum yang tadi menegurnya karena berisik sedang tertidur di pos jaga. Aman.

Kirana kembali menyalakan kamera depan ponselnya. “Oke Guys, gue bakal lakuin hal gila. Gue bakal pegang Lesung Nyai Ageng ini. Kalau gue tiba-tiba ilang, cari gue di…”

Tangannya terulur, jari telunjuknya yang berhias kuteks merah menyala menyentuh permukaan batu yang dingin itu.

ZING!

Bukan dingin yang ia rasakan. Rasanya seperti tersengat listrik ribuan volt. Lantai museum berguncang hebat. Kirana menjerit, tapi suaranya tertelan vakum. Cahaya putih menyilaukan meledak dari dalam lesung, menelan tubuh mungil Kirana beserta tas Gucci KW dan IPhone 15 miliknya.

Hening.

“Panas…”

Kirana mengerang. Ia merasa seperti baru saja diputar di dalam mesin cuci, lalu dijemur di tengah gurun Sahara.

“AC-nya mati apa gimana sih? Woy, Pak Satpam!”

Kirana membuka mata dengan susah payah. Harapannya melihat langit-langit museum yang putih bersih musnah seketika. Yang ia lihat adalah atap rumbia yang bolong-bolong, memperlihatkan langit biru yang terik.

Ia bangkit duduk, kepalanya berdenyut nyeri.

“Loh? Kok gue di kandang ayam?”

Kirana meraba sekelilingnya. Ia duduk di atas tumpukan jerami kering yang gatal. Bau asap kayu bakar bercampur aroma rempah yang menyengat menusuk hidungnya. Di kejauhan, terdengar suara gamelan sayup-sayup.

“Ini pasti prank TV.” Kirana mencoba menenangkan diri. Ia berdiri, menepuk-nepuk celana ripped jeans-nya yang kotor terkena debu. “Woy! Kameranya di mana? Gue nggak tanda tangan kontrak buat acara reality show ya! Keluar lo semua!”

Tiba-tiba, pintu kayu di depannya didobrak kasar.

BRAK!

Kirana terlonjak kaget. Masuklah dua orang pria bertubuh kekar, bertelanjang dada, hanya mengenakan kain batik lusuh sebatas lutut. Tangan mereka memegang tombak runcing.

“Itu dia penyusupnya!” Teriak salah satu pria itu dengan bahasa yang terdengar aneh, tapi entah kenapa Kirana bisa memahaminya.

“Eh? Mas, kostumnya totalitas banget. Sewa di mana?” Tanya Kirana santai, meski kakinya sedikit gemetar melihat ujung tombak yang berkarat itu. “Btw, casting film kolosal di sebelah mana ya?”

Kedua prajurit itu tidak menjawab. Mereka maju serempak, menyeret lengan Kirana kasar.

“Eh, sakit! Lepasin! Gue laporin Polisi lo ya! Bapak gue pengacara!” Kirana meronta, tapi tenaga mereka seperti kerbau.

Ia diseret keluar dari gubuk jerami, melewati halaman luas berpasir, menuju sebuah pendopo besar yang megah. Puluhan orang berpakaian kemban dan kain batik menatapnya dengan pandangan ngeri.

Kirana dilempar hingga tersungkur di lantai batu yang dingin.

“Aduh! Lutut gue!” Kirana meringis, meniup lututnya yang lecet. “Kalian kasar banget sih! Rating bintang satu buat event organizer-nya!”

“Tutup mulutmu, Wanita Iblis!”

Suara bariton yang dingin dan berat membelah keributan. Hawa di sekitar pendopo mendadak turun drastis. Orang-orang di sekitar Kirana sontak menunduk, tubuh mereka gemetar ketakutan.

Kirana mendongak. Napasnya tercekat.

Di hadapannya, duduk seorang pria di atas kursi berukir naga. Pria itu mengenakan rompi zirah kulit, rambut hitam panjangnya diikat tinggi, memperlihatkan rahang tegas yang ditumbuhi jambang tipis. Tatapan matanya tajam, segelap malam, dan sedingin es. Di pinggangnya, terselip keris berhulu emas.

Dia tampan. Sangat tampan. Tipe-tipe badboy di novel yang biasa Kirana baca. Tapi aura membunuhnya terasa sangat nyata.

“Bawa dia mendekat.” Perintah pria itu datar.

Kirana dipaksa berlutut di depan pria itu.

“Siapa namamu? Tanya pria itu.

“Kirana…Kirana Putri.” Jawab Kirana gugup. Pesona pria itu sedikit melunturkan keberaniannya.

“Dari kerajaan mana kau dikirim? Blambangan? Atau mata-mata Mongol?” Pria itu bangkit berdiri, berjalan pelan mengelilingi Kirana, mengamati pakaiannya yang ‘kurang bahan’ dengan tatapan jijik bercampur bingung.

“Liat celana ini…” Pria itu menendang pelan ujung celana jeans Kirana yang sobek di bagian paha. “Kau digigit harimau di hutan dan masih hidup? Atau kau memang gembel yang tidak mampu membeli kain utuh?”

Darah Kirana mendidih. Dihina gembel adalah pantangan besar baginya yang selalu tampil hits.

“Heh! Mas Ganteng tapi julid!” Kirana mendongak, menatap mata pria itu berani. “Ini namanya Fashion! Style! Orang kampung mana paham! Lagian situ yang aneh, hari panas gini pake rompi kulit, nggak bau ketek tuh!”

Hening.

Hening yang mencekam. Burung pun seolah berhenti berkicau. Para prajurit menahan napas, wajah mereka pucat pasi seolah baru melihat hantu.

Pria itu berhenti berjalan. Ia menatap Kirana, matanya menyipit berbahaya. Tidak pernah ada yang berani bicara seperti itu pada Panglima Raden Arya. Tidak ada yang berani menatap matanya lebih dari tiga detik.

Perlahan, Raden Arya mencabut pedang panjang dari punggung salah satu prajurit di dekatnya. Bunyi logam bergesekan terdengar nyaring dan mengerikan.

Ia menempelkan ujung pedang itu tepat di bawah dagu Kirana, memaksa gadis itu mendongak lebih tinggi.

“Punya nyali besar juga kau.” Bisik Raden Arya dingin. “Sayang sekali, nyali tidak bisa menyelamatkan lehermu dari tebasan pedang ini.”

Kirana menelan ludah. Keringat dingin mengucur di punggungnya. Oke, ini bukan prank. Ini bukan syuting. Pedang itu dingin dan nyata.

Gue beneran bakal mati di sini? Batin Kirana panik. Belum sempet nikah, belum sempet hapus histori browser!

“Tunggu!” Teriak Kirana spontan, memejamkan mata rapat-rapat. “J-Jangan bunuh gue! Gue…gue punya keahlian yang nggak punya orang sini!”

Pedang itu berhenti menekan kulit lehernya, tapi tidak ditarik. “Oh? Keahlian apa? Menghina Panglima?”

“Masak!” Seru Kirana cepat. “Gue bisa masak! Gue cium bau masakan dari dapur istana kalian hambar! Kurang micin! Kurang garem! Gue bisa bikin Raja kalian makan lahap sampai nambah tiga piring!”

Raden Arya terdiam sejenak. Alis tebalnya terangkat sebelah. Kebetulan sekali, Baginda Raja sudah tiga hari menolak makan karena bosan dengan menu istana.

“Kau bertaruh nyawamu dengan masakan?” Tanya Arya meremehkan.

“Iya! Kalau masakan gue nggak enak, Mas boleh jadiin kepala gue pajangan dinding!” Tantang Kirana, meski dalam hati ia berdoa semoga ia masih ingat resep nasi goreng abang-abang.

Raden Arya menarik pedangnya, lalu menyeringai tipis-senyum yang lebih menakutkan daripada kemarahannya.

“Baik. Bawa dia ke dapur. Jika Baginda Raja tidak menghabiskan makanannya…” Arya menatap Kirana tajam. “Kau akan kujadikan umpan buaya di parit benteng malam ini juga.”

Dua prajurit menyeret Kirana keluar dari Pendopo Megah itu, melewati lorong-lorong batu yang gelap, hingga akhirnya mereka tiba di area belakang istana.

Belum sampai masuk, bau yang menyengat sudah menyambut hidung Kirana. Bukan bau sedap masakan restoran bintang lima, melainkan campuran bau amis darah ayam, asap kayu bakar yang memedihkan mata, dan aroma keringat puluhan manusia.

“Ini dapur apa tempat pembuangan akhir sih?” Gumam Kirana sambil menutup hidung dengan tangannya yang masih terikat tali kasar.

Mereka didorong masuk ke sebuah bangunan semi-terbuka yang luasnya luar biasa. Di tengah ruangan, tungku-tungku api raksasa berkobar, membuat udara terasa panas dan pengap. Puluhan orang berlarian membawa nampan kayu, sayuran, dan kuali tanah liat.

“BERHENTI!!!”

Sebuah teriakan menggelegar membuat aktivitas di dapur itu terhenti seketika.

Seorang pria bertubuh gempal, dengan kumis melintang yang sudah memutih, melangkah maju. Di tangannya, ia menggenggam, sebuah sendok kayu raksasa seolah itu adalah gada perang. Ini dia, Ki Gedeng Roso, penguasa mutlak dapur istana.

“Prajurit!” Hardik Ki Gedeng, suaranya berat bergetar. “Apa-apaan ini.? Kenapa kalian bawa gembel masuk ke suci-nya duniaku? Kalian mau bikin santan tercemar kutu?”

Salah satu prajurit yang menyeret Kirana membungkuk sedikit [jelas takut pada si koki tua]. “Maaf, Ki Gedeng. Ini perintah Panglima Raden Arya. Wanita asing ini…katanya mau memasak untuk Baginda Raja.”

Hening sejenak. Lalu tawa Ki Gedeng meledak. Tawa yang diikuti oleh puluhan anak buah dapur lainnya.

“Bocah ingusan ini?” Ki Gedeng menunjuk wajah Kirana dengan sendok kayunya yang berminyak. “Dia mau masak? Potong bawang saja pasti menangis!”

Kirana yang dari tadi menahan diri karena takut, kini mulai tersinggung. Ia menepis sendok kayu itu dengan bahunya.

“Heh, Pak Tua! Jangan ngeremehin ya! Follower gua di TikTok udah dua juta! Gue pernah bikin Gordon Ramsay nangis—oke itu bohong, tapi gue jago masak!” Cerocos Kirana berapi-api.

Ki Gedeng melongo. “Tik…Tok? Masakan jenis apa itu? Pakai daging tokek?”

“Aduh, susah ngomong sama fosil.” Kirana memutar bola matanya. “Lepasin ikatan gue! Gue butuh workspace yang bersih. Dan please, itu ayam yang digantung di sana kenapa lalatnya banyak banget? Hygiene, Pak, Hygiene! Sanitasi nol besar!”

Kirana berjalan—masih dengan tangan terikat—mendekati meja racik bumbu. Ia melihat cobek batu raksasa yang belum di cuci bersih.

“Jorok banget! Pantes Rajanya gak nafsu makan, liat dapurnya aja udah kena tifus duluan!”

Wajah Ki Gedeng memerah padam menahan amarah. Urat lehernya menonjol. “KAU MENGHINA DAPURKU?!”

Ki Gedeng mengangkat sendok kayunya tinggi-tinggi, siap memukul kepala Kirana. Kirana memejamkan mata, pasrah.

“Tunggu, Ki!”

Sebuah suara cicit kecil terdengar. Seorang gadis remaja bertubuh kurus kering menyeruak dari balik tumpukan karung beras. Itu Laras.

“Ja-jangan dipukul, Ki.” Ucap Laras gemetar, berlutut di depan Ki Gedeng. “Kalau dia mati sebelum masak…nanti Panglima Arya marah. Panglima bilang…kalau dia gagal, baru boleh dijadikan umpan buaya.”

Ki Gedeng menurunkan tangannya perlahan, napasnya mendengus kasar seperti banteng. Ia menatap Kirana dengan pandangan merendahkan.

“Baik.” Geram Ki Gedeng. Ia menoleh pada Laras. “Laras! Kau urus wanita gila ini. Beri dia bahan sisa. Jangan biarkan dia menyentuh bumbu utama kerajaan!”

Ki Gedeng mendekatkan wajahnya yang berminyak ke wajah Kirana. “Dengar, Bocah Asing. Kau punya waktu sampai matahari terbenam. Jika Baginda tidak menyentuh masakanmu…aku sendiri yang akan mengulitimu menjadi hiasan kerupuk kulit!!”

Ki Gedeng meludah ke tanah, lalu pergi sambil membentak anak buahnya untuk kembali bekerja.

Prajurit penjaga akhirnya memotong tali pengikat tangan Kirana, lalu mundur berjaga di pintu keluar.

Kirana memijat pergelangan tangannya yang merah. Ia menoleh ke arah gadis kecil yang tadi menyelamatkannya.

“Makasih ya, Dek.” Ucap Kirana tulus. “Nama lo siapa?”

Gadis itu menunduk dalam, tidak berani menatap mata Kirana. “Sa-saya Laras, Nyai.”

“Nyai?” Kirana tertawa renyah, tawa yang terdengar asing di dapur yang suram itu. “Gue belum tua kali. Panggil aja Kak Kirana. Atau Kak Ken biar gaul.”

Laras mendongak sedikit, matanya membulat bingung. “Kak…Key? Apakah itu gelar bangsawan dari negeri anda?”

“Yaa..anggap aja gitu.” Kirana mengedarkan pandangan ke sekeliling dapur yang kacau balau itu. Otaknya mulai menyusun strategi. Ia harus memasak sesuatu yang aromanya kuat, rasanya nendang, tapi bahannya sederhana karena Ki Gedeng pelit memberinya bahan bagus.

Mata Kirana tertuju pada sisa nasi putih dingin di dalam bakul anyaman bambu di pojok meja, beberapa butir telur, bawang merah, dan cabai rawit yang warnanya merah menyala menggoda.

Senyum licik terbit di bibir Kirana.

“Laras.” Panggil Kirana dengan nada misterius ala detektif Conan. “Cariin garem, terasi—kalau ada, sama kecap manis. Oh iya, kecap belum di temuin ya tahun segini? Yaudah, gula merah cair ada?”

“A-ada Nyai Key.”

“Oke.” Kirana mengikat rambut panjangnya tinggi-tinggi (gaya messy bun), lalu menggulung lengan kemejanya. Wajah takutnya hilang, berganti dengan wajah serius seorang Chef.

“Mari kita ajarkan orang-orang kuno ini apa itu The Power of Nasi Goreng Kampung.”

1
Roro
yeee ketemu lagi arya sama kirana
Roro
keren sumpah
NP
Makasih banyak ya kak 🥰🔥
Roro
wahhh ternyata nanti berjodoh di masa depan 😍😍😍
NP: 🤣🤣 tadinya mau stay di masa lampau kirana nya galau 🤭
total 1 replies
Gedang Raja
tambah semangat lagi ya Thor hehehe semangat semangat semangat
Roro
akan kah kirana tinggal
Roro
ayo thor aky tungu update nya
Roro
gimana yah jadinya, apa kita akan bakal pulang atau bertahan di era masa lalu.
NP: Hayoo tebak, kira kira Kirana pilih tinggal di masa lalu atau masa depan?
total 1 replies
Roro
Arya so sweet
Roro
panglima dingin.. mancair yah
NP
Ditunggu ya kak hehehe.. makasih udah suka cerita nya😍
Roro
aku suka banget ceritanya nya Thor, aku tunggu lanjutan nya
Roro
lanjut thor
Roro
kok aku suka yah sama karakter Kirana ini
Roro
ahhhsetuju Kirana
Roro
bagus ceritanya aku suka
Roro
keren thor
Roro
keren jadi semngat aku bacanya, kayak nya tertular semangat nya Kirana deh
NP: Makasih banyak kak Roro😍🙏
total 1 replies
Roro
fix Kirana berada di abad ke 14
Roro
jangan jangan Kirana sampai ke abad 14
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!