Raska adalah siswa paling tampan sekaligus pangeran sekolah yang disukai banyak gadis. Tapi bagi Elvara, gadis gendut yang cuek dan hanya fokus belajar, Raska bukan siapa-siapa. Justru karena sikap Elvara itu, teman-teman Raska meledek bahwa “gelar pangeran sekolah” miliknya tidak berarti apa-apa jika masih ada satu siswi yang tidak mengaguminya. Raska terjebak taruhan: ia harus membuat Elvara jatuh hati.
Awalnya semua terasa hanya permainan, sampai perhatian Raska pada Elvara berubah menjadi nyata. Saat Elvara diledek sebagai “putri kodok”, Raska berdiri membelanya.
Namun di malam kelulusan, sebuah insiden yang dipicu adik tiri Raska mengubah segalanya. Raska dan Elvara kehilangan kendali, dan hubungan itu meninggalkan luka yang tidak pernah mereka inginkan.
Bagaimana hubungan mereka setelah malam itu?
Yuk, ikuti ceritanya! Happy reading! 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Kena Mental
Jam istirahat berdenging nyaring.
Bella melangkah cepat menyusuri koridor, langkahnya kaku, rahangnya mengeras, wajahnya seperti kertas ujian yang salah semua tapi tetap sok yakin.
Tujuannya jelas.
Pohon besar di sisi lapangan.
Dan di sanalah Elvara.
Duduk santai. Buku tebal di pangkuan. Keripik berpindah tenang ke mulutnya. Dunia di sekelilingnya seolah mute. Semua suara jadi latar.
Bella berhenti tepat di depannya.
Bayangannya menutup sinar matahari Elvara.
“Beraninya lo deketin Raska,” suara Bella rendah, tapi panas seperti wajan belum dimatikan.
“Apa hidup lo kurang masalah sampai cari drama?!”
Elvara mengangkat wajah perlahan. Tidak terkejut. Tidak takut. Cuma… lelah.
“Kapan gue ngejar dia?” tanyanya datar. “Mata lo minus lima? Atau lo lagi nonton film sendiri di kepala?”
Beberapa siswa yang lewat langsung melambat. Ini bukan adegan biasa.
Bella tercekat sepersekian detik, lalu memaksa dirinya tetap berdiri kukuh.
“Tapi faktanya dia sering nyamperin lo! Duduk bareng lo! Bahkan...bahkan beliin lo—”
Bella berhenti.
Harga diri terlalu mahal untuk menyebut kata pembalut keras-keras.
“Lo pake trik 'kan biar dia deketin lo!”
KRAUK.
Suara keripik di mulut Elvara terdengar jelas.
“Gue gak pernah suruh dia ngapa-ngapain.”
Bella mendengus. “Jangan pura-pura polos.”
Elvara pelan-pelan menutup buku. Gerakannya halus. Lalu menatap Bella… benar-benar menatap. Dan berkata dengan nada tenang:
“Gue tahu nilai akademik lo pas-pasan.”
Bella membeku.
“Tapi… logika juga tolong dipake.”
Beberapa siswa refleks: “UH—”
Elvara lanjut. Suaranya tetap datar, tapi tiap kalimat seperti paku dihantam perlahan:
“Banyak cewek cantik di sekolah ini ngejar dia.” Ia melirik sekitar sepersekian detik.
“Termasuk lo.”
Bella menegang.
“Tapi semuanya dia cuekin.”
Elvara lalu menunjuk dirinya asal-asalan.
“Terus menurut lo…” Ia mendesah. “…dia suka sama gue?” Sekilas ia melirik tubuhnya sendiri, santai. “Cewek rangking satu… bonus berat badan?”
Suasana sekitar:
Sunyi. Tapi bukan kosong.
Tegang.
Dan di kejauhan…
Raska yang hendak menghampiri Elvira langsung berhenti begitu mendengar kalimat itu.
Trio komentator ikut berhenti di belakangnya.
Asep langsung menutup mulut.
“BRO… ini bukan debat. Ini eksekusi publik.”
Vicky nyengir kecil.
“Kalimat Gasekil itu bukan sindiran… itu headshot.”
Gayus mengangguk santai sambil ngunyah kacang.
“Bella barusan kena critical hit tanpa buff.”
Sementara Elvara mengibaskan tangan ke arah Bella.
“Udah. Lo balik sana ke habitat lo. Gue mau belajar.”
Lalu dia kembali buka buku. Mengunyah keripik.
Tenang. Seolah barusan tidak terjadi apapun.
Bella… tidak lagi punya tempat berdiri.
Ia berbalik kaku, langkahnya cepat. Tegap. Wajahnya dingin. Terlalu dingin untuk seseorang yang barusan remuk harga dirinya.
Sepatu hitamnya menghantam lantai koridor, suara tak… tak… tak… menggema seperti palu kecil yang memukul kepalanya sendiri.
Tak ada yang berani memanggilnya. Tak ada yang berani menyentuhnya.
Namun suara-suara itu tetap menembus telinganya.
Bisik-bisik.
Pelan. Tapi tajam.
Seperti jarum.
“Gila… Gasekil ngerem Bella barusan tanpa sentuh dia sama sekali.”
“Itu bukan kalah fisik, itu kalah mental.”
“Yang lain dilibas Bella sampai gak berani ngelirik Raska lagi… tapi Gasekil? Cuma buka mulut doang.”
“Tapi menurut lo, Raska beneran nggak suka sama dia?”
“Secara logika sih… harusnya nggak.”
“Terus ngapain dia sering nempel ke sana?”
“Cowok dingin ketemu cewek damai… itu kombinasi aneh.”
“Kalau gak ada rasa, ngapain segitunya?”
“Tapi masa iya… pangeran kampus suka sama Gasekil?”
“Dunia udah kebalik kali…”
“Atau jangan-jangan… dia lagi main sesuatu?”
“Atau Gasekil terlalu polos buat sadar kalau dia lagi dipermainkan?”
Bella mengepalkan tangan. Kukunya menekan telapak tangannya sendiri. Dadanya naik turun. Napas terasa sempit.
"Kenapa sekarang… semua orang membicarakan DIA?
Kenapa bukan aku?"
Lorong terasa panjang. Terlalu panjang. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya… Bella tidak merasa jadi pusat dunia.
Raska masih diam.
Matanya tertuju pada Elvara. Bukan marah. Bukan tersinggung.
Tapi… kagum.
Dan di belakangnya, trio komentator mulai berisik.
Asep berbisik heboh: “BRO… LO LIAT GAK ITU?! Cewek lo bukan cuma cuek… dia punya skill ngejatuhin mental level final boss!”
Vicky menutup mulut pakai tangan: “Gue merinding, Bro… bukan karena takut… tapi karena dia keren banget.”
Gayus melempar kacang ke udara, nangkep pakai mulut: “Kita baru saja menyaksikan kelahiran cinta… dari reruntuhan ego seorang pangeran.”
Raska masih menatap Elvara.
Dalam hati: “Kenapa dia selalu masuk akal…
dan kenapa itu bikin gue senyum?”
Suara Vicky memecah lamunannya:
“Bro… kalau dipikir-pikir... berarti dia yakin banget lo gak punya rasa sama dia.”
Asep menyambung cepat: “Ya iyalah! Dari sudut pandang dia, lo cuma pangeran capek hidup!”
Gayus berkata sambil serius palsu: “Cinta itu bukan soal tampang, Bro. Tapi persistence. Tekun. Konsisten. Kayak cicilan.”
Raska terdiam.
Ia kagum. Ia bingung. Dan ia mulai sadar... Perasaan ini bukan sekadar penasaran.
Di kejauhan, Roy berdiri bersandar ke dinding gedung lama. Tangannya di saku celana, bahunya santai, tapi matanya tajam seperti pisau lipat yang siap dibuka kapan saja.
Bian berdiri di sampingnya, mengunyah permen karet.
“Bener kan?” ujar Roy pelan. “Cara berpikir Gasekil persis kayak yang gue duga.”
Bian terkekeh.
“Cewek itu tenang banget. Gak ada reaksi berlebihan. Kayak tiang basement yang udah ikhlas hidup di parkiran.”
Roy terdiam sejenak. Tatapannya mengikuti Elvara dari jauh.
Dalam hati, suara lain muncul.
"Punya cewek setenang itu… hidup pasti jauh lebih damai. Tak ada drama. Tak ada tuntutan. Tak ada tangisan.
…Sayang banget…"
Sudut bibir Roy terangkat lagi.
Tapi bukan senyum hangat—melainkan licik.
“Lo pasti kalah, Raska.”
Sementara itu, di sisi lain halaman sekolah…
Raska berhenti melangkah. Ia berdiri membelakangi Elvara. Bukan karena tidak mau mendekat… tapi karena bingung.
"Gimana caranya deketin orang yang bahkan gak peduli didatengin?"
Langkah kaki terdengar mendekat.
“Bro.”
Asep muncul paling depan, gaya hebohnya khas.
“Next move lo apa?”
Vicky menyusul, langsung nyamber.
“Iya, step selanjutnya di mana? Jangan cuma duduk bengong kek WiFi error.”
Gayus ikut duduk santai di bangku taman, tangan di saku.
“Strategi harus matang. Cewek level Elvara itu bukan NPC. Dia mini boss.”
Raska mendesah.
“Gue juga lagi mikir.”
Asep langsung nyamber cepat.
“Menurut gue, lo kasih dia hadiah.”
Vicky refleks:
“Hadiah apaan?”
Asep mikir keras.
“…Keripik. Dia kan doyan.”
PLAK!
Vicky langsung getok kepala Asep.
“BODOH. Itu bukan PDKT. Itu sogokan.”
Gayus angkat tangan pelan, gaya dosen tamu.
“Pendekatan harus lewat intelektual.”
Asep & Vicky spontan nengok.
“Ngapain?”
Gayus serius banget.
“Diskusi soal masa depan. Visi hidup. Tujuan hidup.”
Vicky melongo.
“Bro… dia aja hidupnya kayak akhirnya damai banget. Masa lo ajak ngomong filsafat eksistensial?”
Raska akhirnya buka suara.
“Gue cuma mau ngerti dia.”
Ketiganya hening.
Asep pelan:
“Wah… ini udah bahaya.”
Vicky menyilang tangan.
“Ini bukan taruhan lagi. Ini emotional damage.”
Gayus mengangguk bijak.
“Fase awal jatuh cinta biasanya diawali dengan: kebingungan dan denial.”
Raska mendengus.
“Gue gak jatuh cinta.”
Tiga sahabatnya langsung menoleh bersamaan.
Serempak.
“OH IYA??”
Asep maju satu langkah.
“Terus kenapa muka lo kayak orang mikirin mantan yang belum pernah ada?”
Vicky nambah:
“Dari tadi lo mandang tanah kayak ada harta karun terkubur.”
Gayus nutup:
“Secara statistik, lo udah setengah jalan.”
Raska menutup wajahnya dengan tangan.
“…Di mana kelas lagi?”
Mereka tertawa.
Dan jauh di sana… Elvara masih duduk di bawah pohon.
Tenang. Membaca. Mengunyah.
Tak tahu bahwa tiga cowok bukan waras dan satu pangeran kampus sedang mengadakan rapat darurat tentang hidupnya.
Dan Roy?
Masih tersenyum.
Taruhan itu… baru mulai.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
Koridor itu terlihat biasa saja.
Terlalu… licin untuk ukuran “biasa”.
Bella sudah lebih dulu pergi, langkahnya ringan, senyum kecil terselip sebelum menghilang di tikungan.
Di balik saku roknya, jari-jarinya masih menggenggam botol kecil kosong.
Air sabun lantai.
To be continued
Raska selama ini berarti berusaha sendiri mengatasi masalah traumanya dengan konsultasi ke dokter Wira.
Tanya jawab antara dokter Wira dengan Raska - kesimpulannya - trauma Raska belum pulih.
Ya betul itu pak Nata, Roy iri terhadap Raska. Kalah segala-galanya maka mau mencurangi kakak tirinya.
Raska...yang tahu sengaja atau tidak sengaja nabrak - ya Bella.
Elvara pribadi yang baik, tidak mau menuduh. Tapi yang pasti kamu sengaja di tabrak Bella - biar kamu jatuh ke dalam kolam. Bella mungkin tidak menyangka ketika nabrak kamu - dirinya mental - kecebur juga 😄.
Elvaraaaaaa...jujur amat 😂.
Tuh lihat reaksinya trio komentator 😂.
Raskaaaaa....jujur juga 😂👍🏻👍🏻.
Trio komentator langsung meledak ibaratnya sedang menyaksikan tanding sepak bola jagoannya tembus gawang 😄.
Raska kupingnya memanas - Elvara biasa...tanpa ekspresi bergumam - "Drama banget kalian." 😄.
Weeeeh Bella nguping.
Waduh masih ada lain kali - rencana jahat apa lagi Bella ??
Bella mimpimu cuma mimpi - mana ada jadi kenyataan - Raska tidak mungkin pilih kau.
Tiga temannya mengkhawatirkan kondisi Raska. Mereka bertiga peduli - kalimat yang keluar dari masing-masing cukup menghibur. Yang di rasa Raska ketegangan sedikit melonggar - menggeleng halus, bergumam lirih - "...kalian emang nyebelin." Ini bentuk ungkapan Raska yang "POSITIF," terhadap ke tiga temannya yang selalu ada untuknya.
( ***Ini Author mesti bikin cerita kelanjutan mereka berempat sampai masing-masing punya keluarga, pertemanan berlanjut 😄. )
Roy mimpinya ketinggian.
Elvara masih seperti biasa yang dilakukan ketika jam istirahat. Duduk di bawah pohon, membaca buku, sambil ngemil - kripik.
dan semoga si Roy selalu gagal dalam semua hal😄
Aku Sudah menduga, novel ini beda dari yang sebelumnya. Novel kali ini, selain memberikan pelajaram tentang ketulusan cinta, juga ada melibafkan Para medis juga.
Seperti Dokter Wira, Dokter Pesikiater Raska, Karen itu sangat mengguncang kejiwaan Raska, yang telah dia tanggung sejak usia 10 tahun. Untung saja Raska berusaha berobat, jika tidak, penyakitnya makin parah dan membuat tempramen Raska meningkat, yang bisa-bisa membuat dia tidak bisa tidur nyenyak, dan itu bisa mebuat dia menjadi emosional, bahkan mungkin bisa melempar barang-barang di Apartemen nya, jika sudah parah.
Mantap kak Nana... 🙏🙏🙏😁
Kasian Raska, mungkin dia butuh teman yg tulus mengerti supaya dia mau membuka diri, bercerita, supaya traumanya perlahan sembuh. Semangat Raska..