NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM RATU MAFIA

BALAS DENDAM RATU MAFIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Kantor / Identitas Tersembunyi / CEO / Bullying dan Balas Dendam / Mafia / Balas dendam pengganti
Popularitas:6.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.

Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.

Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.

Victoria masuk dalam obsesi Julius.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1. SUMPAH

Langit Oakland berwarna kelabu ketika mobil hitam berhenti di halaman rumah sakit umum kota itu. Awan-awan berat menggantung seolah hendak menumpahkan hujan yang belum turun, dan di udara tercium aroma tanah lembap bercampur obat antiseptik dari gedung di hadapan mereka. Victoria Thompson duduk diam di kursi penumpang, kedua tangannya menggenggam kuat lututnya, seolah sedang menahan sesuatu agar tak meledak dari dalam dirinya.

"Sudah sampai," suara Aiden, kakak laki-laki Victoria, memecah sunyi.

Victoria tak segera menjawab. Pandangannya menembus kaca jendela, menatap tulisan besar bertuliskan OAKLAND GENERAL HOSPITAL yang tampak dingin dan asing. Ia menelan ludah. Tenggorokannya kering. Entah kenapa langkah kakinya terasa berat, padahal baru beberapa jam lalu ia bersemangat menumpangi jet pribadi ayah mereka, berpikir akan menghabiskan beberapa hari libur bersama ibu dan saudari kembarnya, Violetta.

Namun kenyataan menampar lebih keras daripada yang bisa ia bayangkan. Ia tidak sedang berdiri di depan rumah putih kecil milik ibunya. Ia tidak membawa bunga untuk menyapa Violetta yang selalu menyambutnya dengan senyum cerah dan pelukan hangat. Ia berdiri di depan rumah sakit, dan adik kembarnya terbaring tak sadarkan diri di dalamnya.

"Vivi," Aiden menatap adiknya dari balik kacamata hitam yang ia lepaskan perlahan, suaranya dalam namun tenang. "Kita harus masuk."

Victoria mengangguk pelan. Ia membuka pintu mobil dan menghirup udara yang terasa dingin dan menusuk. Sepatu haknya menginjak trotoar, menghasilkan bunyi ketukan kecil yang tenggelam di antara hiruk pikuk ambulans dan langkah orang-orang berlalu-lalang.

Setiap langkah menuju pintu rumah sakit terasa seperti menginjak duri.

Begitu mereka tiba di lantai tiga, ruangan ICU tampak lengang. Lampu putih menyilaukan, aroma desinfektan menusuk hidung, dan mesin monitor berdetak dengan ritme yang menyayat telinga.

Victoria berhenti di depan ruangan kaca dengan tulisan ICU 304. Di balik kaca itu, sosok yang amat ia kenal terbaring tak bergerak. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, bibirnya kering. Rambut panjang kecokelatan itu, yang selalu diikat rapi oleh pita biru muda, kini berantakan di atas bantal putih.

"Vio ...," ucap Victoria lirih, nyaris tak bersuara.

Tangannya menyentuh permukaan kaca yang dingin. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ada sesuatu yang retak di dalam dadanya, seperti kaca pecah dalam keheningan.

Aiden berdiri di sampingnya, menatap Violetta dengan rahang mengeras. Pria itu jarang menunjukkan emosi, tapi kali ini mata kelamnya bergetar halus. "Dokter bilang dia sudah stabil, tapi belum sadar sejak dua malam lalu," ujarnya pelan.

Victoria memejamkan mata. Dua malam. Dua malam tanpa tahu apa yang terjadi pada Violetta. Dua malam adik kembarnya tergeletak antara hidup dan mati tanpa ia ada di sana. Ia merasa dadanya sesak, dan dalam sekejap, rasa bersalah menelan dirinya.

"Aku yang seharusnya melindunginya," ucap Victoria parau, hampir seperti gumaman untuk dirinya sendiri. "Aku memilih pergi, meninggalkannya di sini."

"Vivi-"

"Dia terlalu baik, Aiden. Terlalu lembut untuk dunia ini, kau tahu itu," potong Victoria.

Aiden terdiam. Ia tahu percuma mencoba menghibur Victoria saat ini. Karena apa pun yang ia katakan, rasa bersalah itu tidak akan hilang.

Pintu di ujung koridor terbuka, dan seorang wanita berusia empat puluhan muncul dengan langkah tergesa. Rambut cokelatnya disanggul seadanya, wajahnya letih, namun matanya menyala oleh kecemasan yang tak tersembunyikan.

"Victoria? Aiden?" suara wanita itu bergetar ketika melihat mereka.

Victoria menoleh. "Mom?"

Sarah Quinn segera memeluk putrinya. Pelukan itu hangat, tapi menggigil oleh tangis yang tak tuntas. Victoria terpaku sesaat, lalu membalas pelukan itu, merasakan pundak ibunya bergetar di bawah tangannya.

"Aku minta maaf, Mom benar-benar tidak tahu kenapa Violetta bisa-" Sarah tak sanggup melanjutkan. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, bahunya terguncang.

Victoria menatap ke bahu ibunya, lalu ke arah ruangan kaca di belakang mereka. "Dia melakukannya di rumah, Mom?"

Sarah mengangguk dengan mata berkaca. "Di kamar mandi. Mom menemukannya ... terlambat."

Rasa mual menjalar ke perut Victoria. Ia menggigit bibirnya sampai terasa darah. Semua gambar di kepalanya, Violetta tersenyum, mengirimkan pesan, tertawa kecil, seketika runtuh, digantikan bayangan tubuh adiknya terbaring di ranjang rumah sakit.

"Aku tidak bisa percaya," kata Victoria perlahan. "Dia bukan tipe yang akan melakukan itu."

"Mom juga berpikir begitu."

Sarah merogoh tasnya, mengeluarkan sesuatu yang terlipat rapi; selembar kertas dan sebuah ponsel berwarna putih yang retak di ujungnya. Ia menyerahkannya pada Victoria dengan tangan bergetar.

"Ini ... ditemukan di kamar Violetta," beritahu sang ibu.

Victoria menerima keduanya dengan ragu. Kertas itu kusut, seperti telah diremas lalu diluruskan kembali. Ia membuka lipatannya.

Tulisan hitam tebal di atasnya membuat darahnya berdesir.

'Kau pengkhianat. Kau akan menebus semuanya. Dunia ini tidak menyukai orang seperti kau, Violetta Quinn.'

Di bawahnya, ada simbol yang tak asing bagi Victoria, tiga garis silang membentuk huruf M.

Aiden yang berdiri di sampingnya menatap kertas itu dan wajahnya langsung menegang. "Itu ..."

Victoria menatap balik kakaknya, mata mereka bertemu dalam diam yang penuh arti. Mereka berdua tahu arti simbol itu.

"Kelompok bawah tanah?" gumam Aiden lirih.

"Tidak mungkin," balas Victoria cepat. "Vio bukan bagian dari urusan kita. Dia tidak tahu apa pun tentang bisnis Dad. Jadi bagaimana bisa dia ada hubungan dengan kelompok berbahaya."

Sarah menatap mereka bingung. "Apa maksud kalian?"

Victoria cepat menyembunyikan kertas itu di belakang tubuhnya. "Nothing, Mom. Hanya dugaan."

Lalu ia menyalakan ponsel yang diberikan ibunya. Layar bergetar, menampilkan ratusan pesan masuk. Deretan notifikasi memenuhi layar seperti tumpukan luka.

Pesan-pesan dari nomor tak dikenal:

'Kau pikir bisa sembunyi?'

'Kami tahu apa yang kau lakukan.'

'Pengkhianat sepertimu pantas mati.'

'Violetta Quinn, darahmu akan membayar semuanya.'

Victoria menelan ludah. Setiap kalimat seakan menampar pipinya. Tangannya bergetar, dan ketika ia menggulir lebih jauh, ia menemukan satu pesan terakhir yang tak terkirim. Pesan itu ditulis untuk dirinya.

'Vivi, aku tidak sanggup lagi. Apa yang harus aku lakukan? Mereka terlalu jahat. Tolong aku.'

Tubuh Victoria membeku. Pesan itu seperti peluru yang menembus dadanya. Dunia di sekitarnya hening. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdegup keras di telinganya.

Aiden menyentuh bahu adiknya, tapi Victoria tidak bergerak. Ia menatap layar itu begitu lama sampai air matanya jatuh tanpa ia sadari.

"Terlambat. Dia memanggilku, dan aku tidak ada di sana," ucap Victoria. Suara itu pecah, namun di baliknya terselip nada yang dingin, seperti bilah baja yang disembunyikan di bawah kelembutan.

Sarah menangis lagi, mencoba memeluk putrinya, tapi Victoria menjauh pelan. Ia tidak ingin menangis. Tidak lagi.

"Aku akan mencari tahu siapa yang melakukan ini," kata Victoria perlahan, menatap ke dalam ruangan kaca tempat Violetta terbaring. "Aku bersumpah, Mom. Siapa pun yang membuat dia menderita seperti ini, akan kubuat menyesal."

Aiden menatapnya khawatir. "Vivi ...."

Tapi Victoria tak mendengarnya. Dalam dirinya, badai telah lahir. Ia menatap wajah pucat Violetta di balik kaca, wajah yang begitu mirip dengannya, tapi kini kehilangan cahaya. Setiap garis di wajah itu adalah cermin dirinya sendiri. Bila Violetta tersakiti, maka bagian dari dirinya pun ikut mati.

Victoria menggenggam kertas ancaman itu kuat-kuat, hingga ujungnya sobek. "Mereka pikir bisa menghancurkanmu, Vio? Tapi mereka tidak tahu bahwa kau memiliki iblis di belakangmu untuk membalas setiap yang terjadi padamu "

Aiden menghela napas berat. "Kau tidak bisa bertindak gegabah."

"Aku tidak akan gegabah," jawab Victoria dengan nada tajam namun terkendali. "Aku akan memastikan mereka membayar, sepuluh kali lipat."

Hujan akhirnya turun ketika malam merambat di atas kota Oakland. Victoria berdiri di balkon kecil rumah sakit, memandangi tetesan air menari di jalan. Aiden menyalakan sebatang rokok di sampingnya, meski tahu area itu terlarang.

"Kau tahu, ini bisa jadi lebih dalam dari yang kita kira," kata Aiden sambil menghembuskan asap. "Simbol itu bukan mainan."

Victoria tidak menoleh. "Aku tahu."

"Kalau itu benar kelompok yang sama yang dulu menyerang jaringan kita di Chicago, Membran Syndicate."

"Aku tidak peduli siapa mereka." Mata Victoria menatap kosong ke kejauhan. "Yang aku tahu, mereka sudah mengotori hidup adikku."

Aiden menatap adiknya lama. "Kau mulai terdengar seperti Ayah."

Victoria tersenyum sinis. "Mungkin karena darah ayah lebih kental di diriku."

Keduanya terdiam. Hujan turun lebih deras, memantulkan cahaya lampu kota di jalanan basah.

Victoria menarik napas panjang. "Violetta bekerja di DeLuca Company, kan?"

Aiden mengangguk. "Perusahaan teknologi besar. Katanya dia senang di sana."

"Tapi dari pesan-pesan itu, seseorang menekan Vio akan sesuatu," kata Victoria.

Aiden menatap adiknya tajam. "Kau mau menyelidiki?"

Victoria menatap ponsel di tangannya, ponsel Violetta yang kini diam di telapak tangannya seperti bukti kejahatan. "Aku akan mulai dari sana."

"Vivi, ini berbahaya."

"Dia adikku. Adik kita." Suaranya dingin. "Dan itu cukup jadi alasanku. Aku juga memilih ikut ayah kita karena aku bisa cukup kuat untuk melindungi Vio dan Mom."

Aiden membuang puntung rokoknya. "Kau tahu apa artinya kalau ternyata orang-orang itu berhubungan dengan jaringan bawah?"

Victoria menatapnya datar. "Kalau mereka berhubungan dengan dunia bawah, maka mereka sudah menantang orang yang salah."

Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi di matanya berpendar amarah yang nyaris membakar.

Malam itu, Victoria duduk sendirian di ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Sarah tertidur di kursi panjang, sementara Aiden sedang bicara di telepon di ujung koridor.

Victoria menatap layar ponsel Violetta, mencoba membuka pesan-pesan lama. Di antara ratusan pesan, ada satu nama yang berulang; David Walker. Teman baik Violetta yang sering diceritakan oleh Violetta ke Victoria.

Beberapa pesan terakhir dari David terlihat singkat dan dingin:

'Kita perlu bicara.'

'Kau tahu ini berbahaya.'

'Hentikan sekarang sebelum semuanya terlambat.'

Victoria mengerutkan kening. Ia menelusuri lebih jauh. Ada foto-foto proyek, dokumen, bahkan rekaman suara singkat, suara Violetta sendiri, terdengar ketakutan.

"Mereka menyembunyikan sesuatu di gedung cabang, aku tahu. Aku tidak bisa berpura-pura lagi, David Aku-"

Rekaman terputus.

Detak jantung Victoria melambat. Tangannya menggenggam ponsel itu erat. Ia tahu, apa pun yang Violetta temukan, itu cukup besar untuk membuatnya dibungkam.

Victoria mendongak, menatap langit-langit putih rumah sakit. "Apa yang sebenarnya kau temukan, Vio? Apa yang terjadi padamu sebenarnya?"

Suara mesin monitor dari ruang ICU terdengar dari kejauhan. Ritmenya stabil tapi dingin, mengingatkannya bahwa waktu tidak menunggu siapa pun.

Victoria berdiri. Ia mendekati ruangan kaca lagi, menatap Violetta dari baliknya. Wajah itu tampak tenang, tapi bagi Victoria, ketenangan itu adalah pengkhianatan waktu.

"Aku janji, Vio," katanya pelan, suaranya nyaris seperti desis. "Aku akan menemukan mereka. Aku akan membuat mereka menyesal menyentuhmu."

Ketika fajar datang, Victoria keluar dari rumah sakit dengan mantel hitam yang basah oleh hujan semalam. Udara pagi dingin menggigit kulit, tapi ia tidak peduli. Aiden berdiri di samping mobil, menatapnya dengan ekspresi campuran antara khawatir dan pasrah.

"Jadi kau benar-benar akan ke DeLuca Company?" tanyanya.

Victoria menatap lurus ke depan. "Aku harus tahu apa yang terjadi."

"Vivi, ini Oakland. Ini bukan wilayah kita," kata Aiden, khawatir.

Victoria menoleh, matanya tajam. "Maka sekarang akan jadi wilayahku."

Gadis itu membuka pintu mobil dan duduk di kursi belakang. Ketika mesin menyala, wajahnya terpantul di jendela, dingin, tegar, dan penuh tekad.

Dua tahun lalu, ia memilih meninggalkan ibunya dan adik kembarnya demi mengikuti ayah dan kakaknya ke dunia yang keras dan penuh rahasia. Dunia di mana darah bisa dibayar dengan darah, dan keadilan adalah keputusan pribadi. Ia belajar bertahan di tengah kekerasan, belajar menjadi batu agar tidak hancur.

Tapi tidak pernah, tidak sekalipun, ia membayangkan akan menggunakan semua sekarang.

Mobil melaju meninggalkan rumah sakit, membawa Victoria menuju awal dari sesuatu yang akan mengubah segalanya. Di dalam genggamannya, kertas ancaman itu hancur berlipat-lipat, seperti tekad yang mengeras di dalam hatinya.

Dan untuk pertama kalinya sejak malam panjang itu, Victoria tersenyum kecil, bukan karena lega, tapi karena amarah yang akhirnya menemukan arah.

"DeLuca Company," bisiknya, menatap bayangan dirinya di kaca jendela. "Kita akan bertemu. Aku akan jadi mimpi buruk untuk kalian jika terbukti kalian yang menyakiti adikku."

Di belakangnya, langit Oakland yang kelabu mulai pecah oleh cahaya matahari pertama. Tapi bagi Victoria Thompson, hari itu bukanlah permulaan dari terang, melainkan dari balas dendam.

1
Miss Typo
awas Julius nanti ditelan Victoria hidup² 🤣
makin seru Victoria luar biasa mendalami peran nya hehe
semoga rencana Julius dan Victoria berhasil
Miss Typo: Aamiin 🤲
total 2 replies
Miss Typo
semangat Victoria kamu pasti bisa 💪
semangat juga thor 💪
Archiemorarty: Siapp 🥰
total 1 replies
Miss Typo
good Victoria
Miss Typo
bisakah Victoria bebas dari Sean yg gila itu, dan kapan waktunya kalau menang bisa?
Sean obsesi bgt ke Victoria
Ima Ima wulandari
Bagus banget
Archiemorarty: Terima kasih udah baca ceritanya kak 🥰
total 1 replies
Jelita S
wah ternyata Victoria lebih licin dari belut y thor🤣🤣🤣🤣🤣
Archiemorarty: Ohh...tentu 🤭
total 1 replies
PengGeng EN SifHa
Q bacanya kok nyesek sampek ulu hati thooorr...

boleh nggak sih ku gempur itu retina si sean thooorr ??😡😡😡😡
Archiemorarty: Silahkan silahkan 🤣
total 1 replies
Jelita S
lnjut thor
Archiemorarty: Siap kakak 🥰
total 1 replies
Miss Typo
hemm semuanya akan berakhir
LB
pada akhirnya mereka tetap lebih bodoh dibandingkan sikopet 😮‍💨
Archiemorarty: Hahahaha...
total 1 replies
Pawon Ana
kenapa para psikopat diberi otak genius sih...🤔😔
Archiemorarty: Karena dia jenius itu makanya jadi sikopet karena gx sesuai kehendak dia jadi cari cara biar bisa sesuai 😌
total 1 replies
Pawon Ana
percayalah jika kau masih bisa bersikap tenang dan berfikir bijak saat berhadapan dengan sumber trauma, itu luar biasa ✌️💪
Archiemorarty: Benarr setujuu 🤭
total 1 replies
Jelita S
lnjut thor😍😍
Archiemorarty: Siap kakak
total 1 replies
Miss Typo
badai baru di mulai dan kapan ya
badai pasti berlalu
Miss Typo
gmn cara menyingkirkan Sean? dan pasti tidak akan mudah dan Victoria semoga kamu bisa menghadapi Sean bersama Julius
Miss Typo: semangat
total 2 replies
Miss Typo
Victoria semangat-semangatnya balas perbuatan Kelly, eh orang yg membuatnya trauma muncul.
semangat Vivi, pelan-pelan pasti kamu bisa .
Julius selalu bantu Vivi biar dia kuat dan bisa menghadapi semuanya
Miss Typo: cemangat juga buat othor 💪
total 2 replies
Pawon Ana
hal yang sulit adalah ketika bertemu dengan seorang atau sesuatu yang pernah menjadi trauma
Archiemorarty: Bener itu...😌
total 6 replies
Jelita S
good job victoria🤣
Deyuni12
misi berlanjuuut
Pawon Ana
ini masih jauh dari jalan untuk menjangkau Sean 😔
Archiemorarty: Ndak juga 🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!