Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. Harga Sebuah Kebohongan
Hubungan mereka dimulai dari kebohongan. Dan pagi itu, Elvara baru tahu, dirinya hanya alat taruhan.
Di bawah pohon ketapang belakang sekolah, Raska menatap Roy lurus. Tenang. Tidak menghindar. Namun kali ini, senyum itu muncul lagi, tipis, tapi jelas.
“Lo kalah taruhan,” ucap Raska datar. “Gue udah jadian sama Elvara.”
Ia berhenti sejenak, jeda yang disengaja, seolah memberi waktu kalimat itu menancap.
“Artinya, taruhan kita selesai. Mulai sekarang, semua hak waris lo lepas. Semua. Lo mundur dari rebutan warisan. Gak ikut campur urusan keluarga lagi.
Gak minta sepeser pun saham, properti, apa pun yang bokap punya. Hidup pakai kemampuan lo sendiri.”
DEG!
Seperti palu godam menghantam dadanya. Di tempat persembunyiannya, Elvara menutup mulutnya refleks. Napasnya tercekat.
"Jadian… karena taruhan?"
Tangan gadis seratus kilo itu mengepal erat, kuku menekan telapak sampai nyeri.
"Aku… objek?"
Perlahan ia menegakkan tubuhnya. Tatapannya lurus ke depan.
"Aku gak butuh sandaran," katanya dalam hati. "Bukan dari hubungan yang lahir dari kebohongan."
Langkahnya mantap.
Mulai hari ini, Elvara memilih satu hal dengan sadar, bukan sebagai istri, bukan sebagai objek taruhan, bukan pula sebagai alat pembuktian siapa pun.
Mulai hari ini, ia akan berdiri dengan kakinya sendiri. Dan jika harus lelah, ia akan lelah dengan jujur. Jika harus jatuh, ia akan jatuh tanpa sandiwara.
Karena cinta, yang lahir bukan dari ketulusan, tak pernah layak dijadikan sandaran.
***
Warung kecil di teras rumah itu tak pernah sepi. Pagi belum siang, sendok sudah beradu dengan gelas, aroma kopi hitam bercampur gorengan hangat.
Di tengah rutinitas Elda, seorang pemuda berdiri kaku. Kemeja rapi, sepatu mahal, jam tangan yang harganya bisa menutup biaya kontrakan setahun.
Ia seperti salah tempat. Salah dunia.
“SAYA BILANG, ELVARA GAK MAU KETEMU!”
Suara Elda melengking, tajam, membuat beberapa pelanggan menoleh.
Raska berdiri di ambang pintu, punggungnya lurus, wajahnya tenang. Terlalu tenang untuk situasi yang sedang memanas.
“Bu,” katanya pelan, sopan, nyaris formal. “Saya cuma mau bicara.”
“BICARA APA?!”
Elda melangkah maju, tangan bertolak pinggang. “Bicara itu dilakukan sama orang yang masih punya harga diri. Bukan yang bikin anak orang nangis terus ngurung diri di kamar!”
Beberapa ibu-ibu di bangku warung mulai saling sikut.
“Wah… rame.”
“Itu siapa?”
“Kok kayak artis sinetron?”
Raska mengabaikan semuanya. Tatapannya lurus ke wajah Elda.
“Saya minta izin. Cuma sebentar. Izinkan saya ke kamar Elvara.”
Kalimat itu seperti bensin yang disiram ke api.
“KAMAR?!”
Elda meraih penyapu lidi yang bersandar di tembok. “KAMAR ANAK SAYA ITU BUKAN LOBI HOTEL!”
PLAK!
Penyapu mendarat di lengan Raska.
Ia terhuyung setengah langkah, bukan karena sakit, melainkan terkejut.
“Bu—”
PLAK!
Kali ini lebih keras.
“PERGI!” teriak Elda. “SAYA SUDAH BILANG PERGI!”
Seorang bapak-bapak nyeletuk pelan, “Bu Elda, sabar—”
“MANA BISA SABAR, KALAU ANAK SAYA DIJADIKAN OBJEK TARUHAN!” balas Elda tanpa menoleh.
Raska tetap berdiri.
Tidak mundur. Tidak membalas. Tidak mengelak.
Elda menatapnya, napasnya memburu. Lalu matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya sesak.
Penampilan Raska bersih, mahal, tenang. Seperti pria itu dulu. Trauma lama menyembur tanpa izin.
“SAYA TAU TIPE KAYAK KAMU!” Suara Elda bergetar, bukan karena marah, melainkan terluka.
“Kalian orang kaya menganggap kami orang miskin ini tidak berarti. Layak dijadikan mainan. Apa kalian pikir kami orang miskin ini nggak punya hati?”
Tangannya meraih panci aluminium dari atas kompor.
“PERGI!”
BRAK!
Panci itu melayang. Tak tepat sasaran, tapi cukup membuat warung riuh.
“Astagaaa—”
“Ini beneran perang!”
Raska akhirnya menunduk. Bukan menyerah, melainkan menahan sesuatu yang menggelegak di dadanya.
“Saya nggak akan pergi,” katanya pelan, namun jelas terdengar di tengah keributan. “Sebelum Elvara sendiri yang nyuruh saya pergi.”
Elda tertawa pendek. Pahit.
“Anak saya nggak mau lihat muka kamu,” ucapnya. “Dan saya akan pastiin itu.”
Ia menunjuk ke arah jalan dengan penyapu di tangan.
“PERGI. ATAU—”
Elda menoleh kanan-kiri, lalu mengangkat ember berisi air pel.
“Pergi sebelum kamu mandi pakai air ini!”
Bu RT yang kebetulan ada di warung itu akhirnya angkat suara. Nadanya tegas, tapi masih menyisakan niat menengahi.
“Nak, pulang saja dulu. Situasinya nggak kondusif. Malah bakal tambah ribut kalau kamu tetap di sini.”
Yang lain ikut menimpali.
“Kami bisa panggil keamanan kalau ini ganggu kenyamanan kampung.”
“Bener itu. Bu Elda jadi nggak melayani kami gara-gara kamu.”
“Iya, saya lagi buru-buru.”
“Anak saya di rumah sudah lapar.”
Suara-suara itu bertumpuk, bukan marah, tapi menekan.
Raska akhirnya mengangkat wajahnya lagi.
Tatapannya menyapu warung kecil itu, meja yang belum dibersihkan, gelas kopi yang dingin, pelanggan yang gelisah.
Bukan Elda yang ia lihat. Bukan ember air pel di tangan wanita itu. Melainkan orang-orang yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan mereka, namun ikut terseret ke dalamnya.
Raska menarik napas panjang. Ia bisa tetap berdiri. Bisa menolak pergi. Bisa bertahan sampai keadaan makin kacau.
Tapi untuk pertama kalinya, ia memilih mengalah. Bukan karena takut, melainkan karena tak ingin membuat orang lain membayar kesalahan yang bukan milik mereka.
Raska akhirnya menatap Elda.
Matanya merah. Bukan karena sakit, melainkan karena satu hal yang akhirnya ia pelajari--
Cinta bukan soal bertahan dengan gengsi. Tapi tentang seberapa jauh seseorang mau direndahkan… tanpa membalas.
“Saya akan kembali lagi,” gumamnya.
Entah pada Elda, atau pada Elvara.
Warung kembali ramai. Gorengan tetap habis. Kopi tetap diseruput.
Hanya satu hal yang berubah pagi itu— di teras rumah kecil itu, seorang lelaki kaya belajar rasanya tak punya apa-apa, selain tekad.
***
Keesokan harinya, pagi sekali. Bahkan sang Surya belum muncul dari peraduannya.
Elvara dan Elda berdiri di depan rumah itu. Rumah sederhana yang telah mereka tinggali bertahun-tahun. Dua koper berdiri di samping mereka, diam, seolah ikut menunggu keputusan terakhir.
Elda menatap rumah itu lama.
Di sanalah dulu ia berdiri dengan dada membusung, melepas kepergian suaminya dalam seragam loreng. Penuh bangga. Penuh doa.
"Pak… maaf," batinnya lirih. "Kami harus pergi. Demi kebaikan putri kita."
Elvara ikut memandang rumah itu.
Kenangan kecil berkelebat. Dirinya yang berlari dikejar ayah dan ibunya, tertawa riang, lalu diangkat tinggi. Ayahnya menggendongnya sambil membuat suara pesawat, membuatnya tertawa sampai lupa dunia.
Elvara memejamkan mata. Kelopak itu basah.
Ia, gadis cuek level dewa, yang dijuluki Gasekil (Gadis Seratus Kilo), menghela napas panjang. Napas yang terasa sesak di dada.
"Andai aku nggak ketipu," batinnya getir. "Aku seharusnya nggak pernah percaya."
Mana mungkin pangeran sekolah yang tampan, kaya raya, seperti Raska, benar-benar mencintainya. Mencintai dirinya yang hanya gadis biasa, dari keluarga sederhana.
“Sudah,” ujar Elda pelan, mengusap lengan putrinya dengan lembut.
“Kita mulai dengan lembaran baru.”
Elvara membuka mata. Mengangguk.
Tanpa menoleh lagi, mereka berbalik meninggalkan rumah penuh kenangan itu.
“Loh, Bu… mau ke mana?”
“Pagi-pagi kok sudah bawa koper?”
Satu dua tetangga bertanya.
Elda yang menjawab dengan senyum tipis.
Elvara tetap melangkah dalam diam.
Namun di balik sunyinya, hatinya mengeras oleh tekad.
"Akan aku buktikan," katanya pada dirinya sendiri.
Aku bisa hidup lebih baik, meski tanpa sandaran siapa pun.
Dan pagi itu, dua perempuan meninggalkan masa lalu mereka… tanpa tahu, bahwa seseorang di belakang sana akan mengejar.
Bukan sebagai pangeran, melainkan sebagai pria yang terlambat menyadari apa arti kehilangan.
...🌸❤️🌸...
🔸Kalau kamu di posisi Elvara, kamu pergi… atau bertahan?
To be continued
Sepertinya prestasi Baskara menitis pada Raska. Seperti istilah perwayangan - Raska titisan Baskara.
Raska secara kemiliteran dengan jalur normal pangkat masih Letnan dua.
Raska usia dua puluh dua, sudah berpangkat Kapten.
Ternyata yang melindungi Elvara Jendral Purnawirawan Bintang Empat - pak Prakosa. Belum tahu ini pak Prakosa, kenyataanya Raska menantunya Baskara.
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏