NovelToon NovelToon
PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

PESUGIHAN POCONG GUNUNG KAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Menjadi Pengusaha / CEO / Tumbal / Iblis / Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: triyan89

Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
​Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1

Desa Pucung Sari adalah desa kecil yang tenang, terpencil di pinggiran sebuah kota di Jawa Tengah. Di pagi hari, hanya terdengar suara kokok ayam jantan dan desir angin yang menggesek dedaunan. Tapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang dingin, samar, seolah menunggu waktu untuk bangkit dari tanah basahnya.

Di sana adalah tempat tinggal sebuah keluarga kecil, keluarga Pak Hari, seorang petani sederhana, bersama istrinya Bu Ratih. Hidup mereka pas-pasan, tapi cukup. Anak semata wayangnya, Aryan, sudah lama merantau ke Jakarta. Katanya ingin memperbaiki nasibnya, ia menjadi pengemudi ojek online salah satu aplikasi terkenal, menabung untuk masa depan keluarga. Tapi sejak dua bulan terakhir, Aryan jarang menghubungi mereka. Teleponnya hanya sekali dua kali, itupun sekadar janji akan segera mengirim uang.

Hari itu, matahari menggantung garang di atas sawah. Udara panas menusuk kulit, tapi entah kenapa Pak Hari merasa kedinginan. Badannya menggigil, meski keringatnya mengucur di tubuhnya.

“Sudah, Pak, jangan ke sawah dulu,” bujuk Bu Ratih, ia begitu cemas melihat suaminya pucat pasi.

Namun Pak Hari justru mengeratkan genggamannya pada cangkul miliknya.

“Saluran air di pojok sana mampet, Bu. Kalau gak aku benerin sekarang, tanaman padi kita bisa mati semua.”

“Biar nanti Aryan saja, Pak, kalau sudah pulang, dia bilang, sebentar lagi mau pulang.”

“Ah, Aryan itu sudah betah di kota. Mana mau dia balik ngurusi sawah lagi.”

Pak Hari tersenyum tipis, senyum yang lebih menggambarkan kelemahan, daripada keyakinan. Ia melangkah gontai ke arah sawah miliknya, tubuhnya bergoyang pelan, seolah tak mampu menahan terpaan angin.

Menjelang sore, ketika ibu-ibu desa sedang menimba air di sumur umum, tawa mereka mendadak terputus oleh teriakan melengking dari arah pematang.

“Tolong! Tolong! Suami saya! Tolong!”

Semua kepala menoleh. Suara itu milik Bu Ratih, serak, penuh panik, seperti suara orang yang baru saja melihat sesuatu yang mengerikan.

Warga serempak berhamburan. Pak Slamet, ketua RT setempat, Pak Karto, dan beberapa tetangga berlari melintasi pematang sawah. Begitu mereka sampai, langkah mereka terhenti.

Di tengah lumpur, Bu Ratih berlutut sambil memeluk tubuh suaminya yang tergeletak lemah, seolah sudah tak bernyawa.

Tubuh Pak Hari tergeletak telentang, baju basah penuh lumpur, capingnya terlempar jauh. Tapi bukan itu yang membuat semua orang terpaku.

Wajahnya membiru pekat, urat lehernya menegang seperti seolah ada sesuatu yang menariknya dari dalam.

Matanya melotot tajam, kosong, menatap lurus ke langit, dan lidahnya menjulur panjang keluar, kehitaman, seperti dijemur di atas api membara.

“Ya Allah…,” desis Pak Slamet, ketua RT setempat, sambil menutup mulutnya. “Astaghfirullahala'dziim…”

Tak ada luka. Tak ada darah. Tapi pada tubuh itu, jelas telah terjadi sesuatu yang tidak wajar, tercekik oleh sesuatu yang tak terlihat.

Ketika warga mencoba menenangkan Bu Ratih, Mbah Darmo, seorang tetua di desa itu, datang dengan tergopoh. Ia menatap tubuh Pak Hari lama, lalu bergumam lirih, “Jangan ada yang sentuh. Auranya terasa aneh.”

Mbah Darmo menunduk, mendekat ke wajah Pak Hari. Udara di sekitarnya mendadak berubah dingin. Daun padi bergoyang tanpa tiupan angin. “Ini tidak wajar,” katanya pelan. “Spertinya ada yang mencekik lehernya.”

Tiba-tiba, di tengah kerumunan, Bu Ratih menjerit kecil. Ia merasa tubuh suaminya bergerak.

Semua menatap. Tubuh itu tampak bergetar halus.

Bu Ratih, dengan tangan gemetar, membalik wajah suaminya.

Dan saat itu, Lidah hitam itu bergerak. Bibir kaku Pak Hari sedikit terbuka, dan dari tenggorokannya, keluar suara serak, lemah tapi jelas. "Kamu tega sekali, Aryan, kamu tega.”

Setelah kata itu terucap, napas Pak Hari berhenti. Dan tubuh itupun mendadak kaku.

Hening.

Seluruh warga yang berada di tempat itu, seakan kehilangan suara mereka.

Wajah Bu Ratih membeku, matanya membesar, bibirnya bergetar. “A… Aryan? Mas Hari… apa maksudmu?”

Ia menatap warga sekitar, memohon jawaban yang tak seorang pun mengerti, apa maksud dari kata yang di ucapkan Pak Hari, di saat terakhirnya.

Pak Slamet berusaha menenangkan. “Mungkin… mungkin almarhum, mau melihat anaknya untuk terakhir kalinya, tapi dia tidak ada di sini, maka dari itu, almarhum menyebutnya, ia tega sama Bapaknya.”

“Tapi dia menatapku, Pak. Dia sadar, dia bicara jelas.” jerit Bu Ratih histeris.

Desa mulai bergemuruh dengan suara bisikan-bisikan warga.

"Kenapa sebut nama Aryan?"

“Jangan-jangan anaknya ada masalah di kota.”

“Atau, Aryan kena santet dan ayahnya yang kena imbas.”

Mbah Darmo hanya menggeleng. Ia tahu ini bukan kematian yang wajar, dan ini ada hubungannya dengan makhluk gaib.

“Jenazahnya harus segera dimakamkan. Tapi, Bu Ratih, malam ini jangan sendirian di rumah. Panggil keluarga, hubungi Aryan. Suruh dia pulang. Secepatnya.”

Bu Ratih hanya bisa menangis, ia tak tahu lagi, apa yang harus ia lakukan, Bu Ratih memeluk tubuh suaminya yang dingin dan berat. Kata-kata terakhir itu terus terngiang di kepalanya seperti kutukan dari dunia lain. "Kamu tega sekali, Aryan, kamu tega."

Malam itu, rumah Bu Ratih dipenuhi warga yang melayat. Suara doa dan bisik pelayat, bercampur dengan deru angin yang menembus dinding bambu.

Bu Ratih duduk di samping jenazah suaminya, matanya bengkak, tubuhnya menggigil. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan Aryan, tiga hari yang lalu.

"Bu, doain aku. Aku sebentar lagi dapat uang banyak. Kita akan kaya, Bu. Aku janji, sebentar lagi aku mau pulang bawa uang buat ibu."

Kata-kata uang yang banyak, kini terdengar menyeramkan, seperti sesuatu yang mustahil dimiliki keluarga pas-pasan seperti keluarga Bu Ratih.

Menjelang tengah malam, satu per satu warga pamit pulang. Rumah itu sepi. Hanya tersisa beberapa orang, dan Bu Ratih, dan lampu kecil yang berkedip, seperti akan padam.

Saat itulah…

terdengar suara langkah kaki dari luar.

Pelan. Berat.

“Gedebuk… gedebuk…”

Langkah itu seperti menyeret sesuatu, mendekat, semakin dekat, lalu berhenti tepat di depan jendela, dan tepat di dekat jenazah Pak Hari.

Udara di rumah itu berubah beku. Bau lumpur basah dan bau anyir darah tercium samar.

Bu Ratih menahan napas. Dari balik jendela, terdengar suara serak yang ia kenal, tapi bukan datang dari orang yang masih hidup.

"Ratih… Ratih…"

Darah Bu Ratih serasa berhenti mengalir. Itu adalah suara Pak Hari, suami Bu Ratih.

“Anakmu sudah mengambil apa yang ia mau. Sampaikan padanya… Setiap malam Jumat Kliwon, dia harus menepati janjinya. Jika ia melanggar, nyawanya akan aku ambil.”

Lalu setelah itu, terdengar suara tawa panjang, berat, serak, seperti keluar dari tenggorokan yang penuh tanah. “Hahahahaha”

Tidak ada seorangpun yang mendengar suara itu, hanya Bu Ratih.

​Suara langkah itu menjauh. Hening kembali turun. Tapi hawa dingin masih tertinggal, menempel di dinding, di tubuh, dan di dada Bu Ratih yang kini gemetar hebat.

​Ia terjatuh di lantai, menggenggam dada sambil berbisik lirih, “Ya Tuhan… apa yang telah dilakukan anakku…”

​Tepat setelah suara langkah itu lenyap di balik pekatnya malam, di bawah pohon bambu, samping rumah Bu Ratih, tiba-tiba muncul sesosok bayangan putih kusam yang tinggi menjulang. Pocong itu berdiri kaku, kain kafannya kotor dan berlumur tanah. Matanya menyala merah terang di tengah kegelapan, dan dari mulutnya yang terikat kain lusuh, terlihat sedikit celah yang menampakkan gigi taring yang tajam dan mengerikan.

​Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam menatap rumah duka Bu Ratih. Udara di sekitarnya berputar aneh, seperti pusaran angin dingin yang menghisap kehidupan.

​“Satu sudah terbayar. Berikutnya, aku akan mengambilnya kembali.”

​Suara desisan itu terdengar samar, hanya gemerisik dedaunan kering yang ikut bergetar. Pocong itu mengangkat tangan kanannya yang terikat, seolah sedang menghitung waktu. Ia menuntut pemenuhan perjanjian Aryan.

​Di rumah itu, tidak ada yang menyadari kehadiran makhluk terkutuk tersebut. Hanya Bu Ratih merasakan, ada beban dingin yang baru saja mendarat di atas atap rumahnya.

​Dan di luar sana, di bawah cahaya bulan yang tertutup awan, seekor burung gagak hinggap di atas tiang bambu di pinggiran sawah. Burung gagak itu, mengeluarkan suara parau, seperti mengabarkan bahwa sesuatu yang lama tertidur, baru saja terbangun dan menuntut korban selanjutnya.

Ia terjatuh di lantai, menggenggam dada sambil berbisik lirih, “Ya Tuhan… apa yang telah dilakukan anakku.”

​Pagi harinya, suasana duka menyelimuti Desa Pucung Sari. Jenazah Pak Hari segera dimakamkan. Warga desa berbondong-bondong mengantar kepergiannya, namun suasana pemakaman terasa janggal, keheningan yang terselip rasa curiga dan misteri atas kematian yang tidak wajar itu. Bu Ratih, dengan mata sembap dan wajah pucat, hanya bisa menaburkan bunga di atas gundukan tanah basah.

​Begitu prosesi pemakaman selesai dan warga mulai membubarkan diri, Bu Ratih segera pulang. Ia mengambil ponsel bututnya. Mengabaikan rasa takut dan kelelahan, ia segera menghubungi nomor Aryan. Berdering beberapa kali, akhirnya tersambung.

​"Aryan, kamu belum sampai juga. Bapakmu sudah dimakamkan, Nak." Suara Bu Ratih bergetar menahan tangis.

"Aku sudah di perjalanan pulang, Bu. Mungkin tiga jam lagi, aku sampai." Jawab Aryan di seberang sana.

Setelah panggilan berakhir, Bu Ratih meletakkan ponselnya. Ia duduk termenung, menatap kosong ke arah pintu, menunggu kedatangan anak semata wayangnya.

1
Oriana
Kok susah sih thor update, udah nungguin banget nih 😒
bukan author: Masih review kak
total 1 replies
Dallana u-u
Gemes banget deh ceritanya!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
cocondazo
Jalan cerita seru banget!
bukan author: lanjutannya masih review kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!