Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke Lebanon, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangkur emas di tanah rencong (Revisi)
Aceh. Di sini, waktu diukur bukan oleh jam, melainkan oleh ketepatan. Di kompleks Batalyon Infanteri, malam tak sepenuhnya gelap. Selalu ada binar lampu di pos jaga, aroma tanah basah, dan janji pagi yang datang bersama dentuman.
Senja memang meninggalkan sisa emas, tapi subuh selalu menariknya kembali dengan peluit baja.
Kokok ayam jantan di desa tetangga seringkali dikalahkan oleh lengkingan alarm dan gema takbir subuh dari surau asrama. Bagi orang luar, itu adalah invasi suara, bagi Byantara Aswangga, itu adalah detak jantung yang memastikan ia masih hidup.
Byantara Aswangga, usianya baru memasuki 15 tahun. Wajahnya masih menyisakan rona remaja, tapi tubuhnya sudah terbiasa memanggul tanggung jawab. Ia memanggul dua tas sekolah di pundaknya. Satunya ransel biru tua miliknya, yang satu lagi, ransel bergambar kartun milik Kalea, Adiknya.
"Abang! Itu tas Lea, Lea bisa bawa sendiri!" seru Kalea Aswangga, dengan napas tersengal. Kaki kecilnya berusaha menyamai langkah Byantara yang panjang dan disiplin.
Byantara menoleh sekilas, tanpa mengurangi kecepatan. "Kamu ini, Lea. Kamu pikir jadi anak tentara itu bisa manja? Hari ini Abang yang bawa, besok kamu yang harus bisa lari dengan tas penuh buku, sepatu laras, dan mungkin—" ia menggantung kalimat, menyeringai, "—beban pikiran Abang."
"Beban pikiran Abang isinya cuma rumus fisika yang Abang sendiri aja enggak ngerti, bukan batu!" Kalea membalas, tak mau kalah.
Di usianya yang baru sembilan tahun, Kalea sudah menyerap atmosfer komando di sekitarnya.
Byantara tertawa ringan. Tawa itu cepat mereda. Di lingkungan militer, emosi adalah barang mewah yang harus disimpan rapat. "Kamu pikir jadi tentara itu hanya fisik? Itu pilihan hidup, Lea. Dan dalam memilih, tidak boleh ada keraguan."
Kalea berhenti sejenak, menatap punggung tegap Byantara yang kini terasa seperti dinding pelindung yang tak terhancurkan. Di kompleks ini, Byantara adalah peluit darurat Kalea.
**
Mereka berlari melintasi lapangan asrama yang masih diselimuti embun, melewati barisan rumah prajurit yang tegak lurus, seolah hidup harus selalu lurus.
Kalea dan Byantara tumbuh tanpa pernah tahu atau bertanya tentang status mereka sebagai bukan saudara sedarah. Kalea adalah amanah yang dibawa oleh sang Komandan, ayah Byantara, sebuah janji yang disarikan dari puing konflik. Baginya, rumah adalah tempat di mana Byantara berada.
Lingkungan militer membentuk Kalea lebih cepat dari usianya. Ia bangun sebelum azan subuh, dan sudah bisa memberi hormat yang presisi.
Di usianya yang 9 tahun ini, ia sudah mengalami fase dikucilkan oleh beberapa anak kompleks yang lebih tua.
"Kamu cewek, enggak usah ikut main perang-perangan! Sana, main masak-masakan!"
Kalea tak menangis, meski matanya memerah. Ia hanya teringat kalimat Byantara, "Air mata adalah peluru yang sia-sia."
Ia menunggu sampai semua anak itu bubar. Lalu ia mencari Byantara yang sedang push-up di belakang rumah, mengulang hukumannya sendiri.
"Abang," suara Kalea pelan. "Kenapa mereka bilang aku cuma boleh masak-masakan?"
Byantara berhenti sejenak. Keringat membasahi baju kausnya. Ia mendongak, menatap Kalea. "Kenapa? Apa kamu setuju dengan perkataan mereka?"
Kalea menggeleng cepat. "Aku mau jadi tentara!"
Byantara kembali ke posisi push-up. "Kalau begitu, buktikan. Mereka tidak butuh kata-kata. Mereka butuh bukti. Di militer, validasi datang dari keringat, bukan dari omongan. Sekarang ambil dua batu paling besar itu, masukkan ke tasmu, dan lari keliling lapangan lima kali. Itu hukumanmu karena membiarkan dirimu marah tanpa bertindak."
Kalea memungut batu-batu itu. Berat. Tapi ia tidak mengeluh. Di bawah bimbingan Byantara yang keras namun penuh kepastian, Kalea belajar, ketangguhan adalah hasil dari resistensi, bukan keajaiban.
Byantara, di usianya yang ke 15 tahu, sudah menjadi sosok teladan pra-Akademi. Ia disegani bukan hanya karena ia anak Komandan, melainkan karena disiplinnya yang mengalahkan usia.
Suatu sore, mereka duduk di pantai yang terletak tak jauh dari markas. Ombak memukul pantai, seolah menguji seberapa kuat mereka bisa berdiri di atas pasir yang rapuh.
"Kalau kamu beneran mau jadi tentara, Lea," ujar Byantara, suaranya kini terdengar serius, seperti instruksi. "Kamu harus siap jatuh. Terus kamu harus bangun sendiri. Jangan pernah berharap Abang selalu ada di sana untuk mengangkatmu."
Kalea, yang sedang asyik membuat kastil pasir, mendongak. Di matanya yang jernih, ada sedikit ketakutan yang biasanya ia sembunyikan.
"Tapi Bang," katanya dengan nada polos seorang anak, "Kalau Lea jatuh berkali-kali... sampai tulang Lea patah... Abang bakal nyamperin Lea kan? Abang kan janji mau jagain Lea."
Byantara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengambil sebuah kerikil, melemparnya jauh ke laut.
Keheningan itu jauh lebih berat daripada beban ransel manapun.
Sebagai kakak, ia harus berkata, "Tentu saja, selalu."
Sebagai calon prajurit yang idealis, ia harus berkata, "Belajarlah mandiri."
Ia memandang mata Kalea. "Kalau kamu jatuh, berarti kamu sudah tahu rasanya sakit. Rasa sakit itu akan membuatmu lebih kuat. Abang tidak akan mengangkatmu, tapi Abang akan memastikan kamu punya alasan yang kuat untuk bangun."
Jawaban itu tidak memuaskan, tapi itu adalah kebenaran keras yang mereka pelajari dari lingkungan mereka.
***
Waktu melaju. Kalea tumbuh, semakin kokoh, semakin berani. Kulit kuning langsatnya mengilat dibakar matahari Aceh, tatapannya sudah mulai menyimpan ketajaman yang tidak wajar untuk usianya.
Di usia 11 tahun, ia sudah bisa melayani sang Komandan dengan presisi, dan di depan teman-temannya, ia dengan bangga menyombongkan nama Byantara sebagai 'calon perwira terbaik' yang akan menjadi abangnya.
Suatu malam, mereka menyantap mi instan di beranda, menikmati ketenangan setelah hujan. Kalea menatap Byantara.
"Bang," kata Kalea, suaranya penuh mimpi.
"Nanti kalau Lea udah besar, dan Lea jadi Kowad... Abang bakal bangga enggak?"
Byantara tersenyum, senyum yang kini mengandung sedikit perenungan yang lebih dalam. Ia kini di ambang keberangkatan ke Akademi.
"Kalau kamu jadi Kowad," jawab Byantara, "Kamu harus jadi perwira yang lebih hebat dari Abang. Kamu harus lebih jujur, lebih adil, dan paling penting, pangkatmu harus lebih tinggi dari Papa."
Kalea tertawa renyah, sebuah suara yang Byantara tahu akan dirindukannya di barak militer. "Pasti! Nanti Lea yang nyuruh Abang push-up di depan semua anak didik Abang, kalau Abang telat apel!"
"Berani kamu, Komandan Cilik?"
"Berani! Kan Lea Komandan yang lebih hebat!"
Tawa mereka pecah, tapi di balik gelombang suara itu, Byantara merasakan denyutan baru. Bukan lagi kasih seorang kakak. Ada getaran larangan yang mulai merayapi hati remajanya.
Kalea bukan darahnya, namun ia adalah milik hatinya. Dan di kompleks militer, di tanah Aceh yang menjunjung tinggi adat, perasaan itu adalah pelanggaran etika yang harus ia kubur dalam-dalam.
Perasaan itu tumbuh, diam-diam, seolah benih yang ditanam di bawah beton markas, keras kepala, namun tak terhindarkan.
Inilah awal dari dilema seorang calon perwira, yang harus memilih antara kepatuhan pada kehormatan atau penyerahan diri pada detak jantung yang tak terkendali.