Azura Claire Morea, seorang dokter muda yang terpaksa membuat suatu kesepakatan bersama seseorang yang masih berstatus pria beristri.
Ya, dia Regan Adiaksa Putro, seorang kapten TNI AD. demi kesembuhan dan pengobatan sang ibu Azura terpaksa menerima tawaran sang kapten sebagai istri simpanan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIMPANAN KAPTEN 1
Udara dingin pegunungan menusuk tulang. Di balik jendela tenda komandonya, Kapten Regan Adiaksa Putro memejamkan mata, mencoba menghalau dingin yang merambat ke dalam jiwanya.
Bayangan Ratu, istrinya, kembali menghantuinya. Kata-kata dingin Ratu masih bergema di telinganya.
"Pernikahan ini hanya di atas kertas. Jangan mengharapkan hal lebih dari itu, sebab ada hati yang harus kujaga. Aku mencintai pria lain, dan dia sedang menungguku."
Pernikahan mereka yang berawal dari sebuah perjodohan yang la paksakan untuk menyetujuinya demi menyenangkan ibunya, kini terasa seperti kutukan. Sebuah penjara es di puncak gunung tertinggi. Sebuah penjara emas yang memisahkannya dari sentuhan wanita.
Suara sapaan membuyarkan lamunannya. Sertu Bima, anak buahnya yang setia, masuk dengan wajah serius.
"Kapten, ada laporan dari klinik lapangan. Salah satu dokter muda kita membutuhkan pinjaman besar untuk ibunya yang sakit keras. Kondisinya cukup mendesak."
Regan mengerutkan dahi, menggosok hidungnya yang terasa dingin.
"Siapa namanya?"
"Dokter Azura, Kapten. Ia sedang bertugas di klinik, menolong seorang prajurit yang terluka. Namun, Ia terlihat tidak dapat fokus, karena beban pikirannya." jawab Sertu Bima.
Dia kemudian, melanjutkan dengan penjelasan tentang apa yang sedang menimpa Azura, dan mengapa wanita itu sangat membutuhkan uang secepatnya.
Regan terdiam sejenak.
"Panggil dia ke sini," perintahnya.
Ia memikirkan betapa sulitnya menjadi dokter muda di klinik terpencil itu, jauh dari fasilitas memadai.
Beberapa saat kemudian, Azura Claire, nama sang dokter muda yang cantik itu, telah berdiri di hadapannya.
Dokter muda, dengan wajah khas wanita blasteran, terlihat lelah dan sedih, hingga membuatnya tak kuasa untuk berbicara.
Mata Azura yang biasanya berbinar, kini sayu dan redup. Kesedihan terpancar jelas dari raut wajahnya, kontras dengan dinginnya tenda komando. Regan menyuruh Sertu Bima pergi.
Tatapannya menilai Azura dari atas hingga bawah.
"Saya tahu tentang ibumu," katanya, suaranya berat dan rendah, seakan beradu dengan dinginnya angin gunung.
"Saya bisa membantumu. Tapi..." Ia sengaja menjeda kalimatnya, membuat Azura semakin cemas.
"...ada syaratnya."
Azura hanya terdiam beberapa saat sambil meremat ujung jas putih yang Ia kenakan. Ia tertunduk sedalam dalamnya. Khawatir akan syarat apa, yang akan ditawarkan oleh Sang Kapten tampan itu.
"I-iya Kapten!" jawab Azura gugup.
"Iya, apa?" cecar Regan.
"Saya akan mendengarkan syaratnya, Kapten! Kalau saya bisa atau mampu melakukannya, saya pasti melakukannya, demi ibu saya," ujar Azura, sembari berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
"Saya akan menanggung semua biaya perawatan ibumu, hingga sembuh. Termasuk uang bulanan ibu dan adikmu," tandas Regan dengan tatapan tajam, yang membuat Azura terus saja menunduk, tidak ingin bertemu pandang dengan pria itu.
"Namun, aku membutuhkan partner ranjang. Apa kau bersedia?" ungkap sang Kapten to the point.
Bak bergelantungan di tepi jurang dalam yang siap menerkamnya. Azura mematung tanpa tahu harus bagaimana menyelamatkan dirinya. Seketika, oksigen menipis, Ia sangat kesulitan untuk bernafas.
Tawaran itu, tentu sangat menggiurkan bagi masalah yang Ia hadapi saat ini. Namun, apakah Ia harus melakukannya?
Biar bagaimanapun, ibunya adalah seorang yang sangat penting dalam hidupnya. Keputusannya untuk mengikuti satgas ke tempat terpencil itu adalah usahanya agar dapat memenuhi kebutuhan perawatan ibunya yang sedang berjuang melawan penyakit mematikan yang sudah memasuki stadium akhir.
Besar harapan, ibunya akan segera pulih dari penyakitnya, namun sebagai gantinya, Ia harus merelakan mahkotanya direnggut oleh seorang pria beristri yang sudah pasti hanya ingin mencicipi tubuhnya tanpa ada ikatan diantara mereka.
"Ya Tuhan, tolong aku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengambil tawaran tak bermoral ini? Mengapa aku harus berada dalam pilihan yang begitu sulit, seperti ini?" jerit hati Azura, semakin menenggelamkan dirinya dalam keputusasaan.
Regan menatap Azura dengan tatapan datar. Ia tidak berniat meralat ucapannya. Membuat Azura semakin tertekan.
"Kau boleh memikirkannya, lalu kembali padaku esok hari dengan jawabanmu! Sekarang, kembali ke tendamu. Malam sudah semakin larut!"
ujar Regan dengan nada yang sedikit lebih keras, agar wanita yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri itu, dapat mendengarkannya.
Azura hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan sang Kapten, tanpa sepatah katapun.
Setibanya, Azura ditendanya, salah seorang prajurit segera menghampirinya.
"Dokter Azura ada telepon dari adikmu, tolong ke tenda monitoring, karena adik anda akan segera menelpon kembali!"
Baru saja azura ingin menenangkan guncangan hatinya yang disebabkan oleh tawaran sang Kapten, Ia harus menghadapi guncangan berikutnya, tentang kondisi ibunya.
Dengan langkah gemetar, karena udara dingin dan juga beban pikiran yang memeluknya erat, Azura menuju tenda monitoring untuk mendengar apa yang akan disampaikan adiknya tentang kondisi terkini ibunya.
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Nazirah adiknya kembali menghubunginya.
"Halo dek!" sapa Azura dengan suara bergetar.
"Kakak gimana sih, aku kan udah bilang, ibu butuh obat itu segera. Kata dokter, sebelum pagi obatnya sudah harus disuntikan ke tubuh ibu untuk mengurangi rasa sakitnya. Mana uang yang aku minta? Awas saja, kalau ibu sampai kenapa-napa, itu salahmu, kau harus bertanggung jawab. Percuma ibu menyekolahkanmu sampai setinggi itu, tapi malah jadi tidak berguna, disaat seperti ini." Cecar Nazirah tanpa membalas sapaan kakaknya.
"Sabar dek, kakak juga lagi nyari! Sudah malam begini, kalaupun ada, disini gak ada jaringan internet. Kakak gak bisa ngirim malam-malam begini, harus ke kota besok pagi." balas azura, dengan nada sedih.
"Pokoknya aku gak mau tau yahh, malam ini juga udah harus ada duitnya. Kalau gak, jangan pulang sekalian! Dan kalau ibu ada apa-apa, itu karena salah kakak! Dasar anak durhaka!" teriak adiknya, yang lalu memutuskan panggilan mereka tanpa pamit.
Deghh...
Hati Azura bergemuruh. Tubuhnya bergetar tak kuasa menerima kata-kata bak belatih yang ditikamkan adiknya tepat di jantungnya.
Namun, lebih menyakitkan dari itu, kondisi ibunya yang semakin drop tanpa Ia bisa melakukan apa-apa. Ya, dia sebenarnya bisa melakukan apa-apa itu, namun haruskah Ia menjual dirinya, demi pengobatan ibunya.
Selepas mengakhiri panggilan itu, Azura jatuh terduduk disana. Kakinya seperti tidak mampu lagi menahan bobot tubuhnya. Ia kini berada di persimpangan, tanpa tahu arah dan tujuan. Hatinya sakit, menerima semua umpatan adiknya yang Ia terima tanpa membantahnya sedikitpun.
"Kapten Regan, hanya dia yang bisa menolongku saat ini. Aku harus menemuinya." guman azura. Ia segera bangkit dan menuju tenda komando milik Kapten Regan kembali.
Setelah melapor pada penjaga disana, Ia dipersilahkan masuk untuk menemui sang Kapten yang masih duduk terdiam disana menatap malam pekat diluar tendanya. Semilir angin yang sesekali menerpa wajah tampannya, membuatnya betah berlama-lama ditempat duduknya itu.
"Ma-maaf kapten, saya kembali lagi mengganggu anda," ucap azura pelan, nyaris seperti berbisik.
Namun, karena jarak yang cukup dekat, Kapten Regan dapat mendengarnya dengan jelas.
"Jadi apa jawabanmu?" balas Regan tanpa basa basi.
"Saya akan mengambil tawaran i-itu Kapten," jawab azura gugup. Ia tidak yakin dengan pilihannya ini, tapi Iapun tidak memiliki pilihan lain saat ini.
"Baiklah, berikan nomor rekening keluargamu yang bisa saya gunakan untuk mentransfer biaya pengobatan ibumu! Sebelumnya, berapa yang kau butuhkan?" tanya Regan tanpa berfikir panjang, dan mengabaikan kegelisahan hati sang dokter cantik itu.
"Sa-saya membutuhkan 50 juta untuk biaya obat dan penanganan medis ibu saya Kapten." tukasnya.
Azura segera memberikan nomor rekening ibunya pada Regan.
"Baiklah." Regan segera mengontak atik telepon satelit yang Ia raih, dari atas nakas dan melakukan panggilan dari sana.
Azura masih mematung ditempatnya, tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Berdiri dengan kaki dan tangan yang bergetar. Ia masih tak percaya akan keputusannya ini. Pikirannya sedang sangat kacau. Namun atensinya dikejutkan dengan suara berat dan dalam sang kapten.
"Dim, kirim 100 juta ke nomor rekening yang saya berikan itu! Sekarang juga. Nanti kirim buktinya pada saya!"
Azura membelalakkan matanya, mendengar nominal yang disebutkan sang Kapten. Ia ingin menginterupsi perkataan sang Kapten. Namun pria itu segera mengangkat tangannya, menahan laju suaranya yang sudah berada diujung lidahnya.
"Banyak sekali. Padahal ibu hanya membutuhkan...," Gumamannya terhenti karena panggilan dari sang Kapten, yang ternyata sudah mengakhiri panggilannya, dengan entahlah siapa.
"Dokter Azura!"
"I-iya Kapten!"
"Saya sudah melakukan tugas saya, sekarang giliranmu!"
Degh...
Azura tertegun sesaat, Ia tidak menyangka, segalanya akan berjalan secepat ini. Seluruh hati tubuh dan jiwa raganya, belum mampu menerima ini semua. Ia menelan salivanya dengan susah payah. Berusaha menetralkan kekalutan hatinya.
"Dokter Azura !" Regan kembali menyebutkan nama itu, nama yang akan terus Ia sebut di hari-harinya yang akan datang.
Azura mengela nafas panjang, "I-iya Kapten!"
"Apa yang membuatmu begitu gugup, tidakkah kau senang, salah satu masalahmu telah teratasi?" tanya Regan dengan senyum smirk diwajahnya.
Bak menelan batu besar, suara azura tercekat di tenggorokannya. Berbagai pikiran buruk mulai bercokol dalam benaknya. Ia sulit untuk menjawab pertanyaan sesimpel itu.
"Baiklah dengarkan saya! Saya tahu, akan haram bagimu untuk melakukan hal ini. Saya sudah memikirkannya. Jadi saya putuskan, untuk menikahimu secara siri. Namun, satu hal yang kau harus ingat. Segala yang akan kita jalani nantinya, hanyalah sebuah kesepakatan tanpa menggunakan perasaan. Jadi kau tidak perlu khawatir. Tapi...," Regan menjeda kata-katanya.
Azura akhirnya mengangkat wajahnya dengan mata yang sudah memerah dan berkaca-kaca. Namun, air mata itu masih tertahan disana.
"Kau tidak boleh berhubungan dengan pria lain, selagi kau menjadi istri siri saya. Saya akan pastikan, kau tidak akan kekurangan. Saya akan memenuhi semua kebutuhanmu. Dan menjalankan tugas saya sebagai suami, kecuali cinta. Itu hal yang tidak dapat saya berikan. Apa sampai disini kau sudah paham?"
Azura hanya mengangguk tanpa kata. Ia ingin memprotes setiap perkataan pria itu dan ingin berjanji akan menggantikan uangnya, namun keberaniannya seperti mengkhianatinya dan pergi meninggalkannya.
Sehingga Ia hanya bisa terdiam seribu bahasa, mendengar setiap tutur kata pria yang sangat Ia segani itu.
"Baiklah, jika tidak ada yang ingin kau katakan, kau bisa kembali dan persiapkan dirimu. Besok kita akan ke KUA dan melangsungkan pernikahan sirinya. Jadi, persiapkan dirimu."
Mendengar perkataan Regan itu, airmata azura akhirnya menetes, Ia tidak menyangka, pria yang begitu Ia kagumi sejak lama. Menganggap dirinya begitu rendah, sehingga ingin menukarkan dirinya dengan uang, dan memanfaatkan keputusasaannya dengan cara seperti ini.
Setelah terdiam begitu lama, azura akhirnya membuka suara.
"Bagaimana dengan istrimu Kapten?" Regan segera menoleh dan memicingkan matanya.
"Dia tidak akan tahu, karena ini akan menjadi rahasia kita berdua. Kita akan berinteraksi seperti biasa, jika berada didepan semua orang. Termasuk rekan kerja dan keluargamu, tidak ada yang boleh tahu tentang hal ini. Apa kau paham?"
"Bagaimana jika ketahuan? Karirku pasti akan hancur!" ucap azura pelan.
"Saya sudah katakan, ini akan menjadi rahasia kita berdua. Maka segalanya akan baik-baik saja." azura membuang nafas kasar lalu kembali menunduk.
"Baiklah Kapten!"
"Dan... Satu lagi, Saya tidak suka menggunakan jas hujan. Sebaiknya, kau menggunakan KB, untuk mencegah kehamilan," suara berat dan dalam itu, membuat Azura yang tertunduk lesu, berakhir mengangkat wajahnya dan menatap kedua manik yang begitu menawan dengan bulu mata yang lentik, namun menyorot tajam bak laser yang mampu membunuh dari kejauhan.
"Apa? Ja-jas hujan? K-KB?"
tambah seru nih