NovelToon NovelToon
Dia Yang Kau Pilih

Dia Yang Kau Pilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Pelakor / Cerai / Penyesalan Suami / Selingkuh / Berondong
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Drama Di Sekolah

Aroma kapur barus dan buku usang berbaur di udara ruang kelas X-A SMA Negeri 2. Pukul sepuluh pagi, matahari sudah menusuk dari jendela kaca, menyinari debu-debu halus yang menari-nari di atas meja. Di depan kelas, berdiri Rika Nurbaya, 30 tahun, seorang guru honorer Bahasa Inggris yang memancarkan energi berlipat ganda, seolah ingin membuktikan bahwa statusnya hanyalah sebatas kertas administrasi, bukan batasan kemampuannya.

"So, to summarize, coba sebutkan kembali, apa esensi dari puisi Robert Frost ini? Selain tentang jalan setapak yang bercabang, apa yang dia sampaikan secara tersirat?” Suara Rika lembut, namun tegas.

Para siswa kelas X-A, generasi yang konon katanya sulit fokus, justru nampak antusias. Seorang siswa mengangkat tangan, matanya berbinar. Rika tersenyum tulus. Senyum itu, menurut beberapa guru senior, adalah bagian dari "akting berlebihan" Rika.

Satu jam pelajaran berlalu cepat. Bel berdentang nyaring, memecah fokus.

“Alright, that’s all for today. Jangan lupa tugasnya dikumpulkan minggu depan. See you!”

Rika Nurbaya membereskan buku dan laptopnya dengan gesit. Energi positifnya seolah masih melekat di udara. Ia melangkah keluar kelas, menyusuri koridor yang ramai oleh tawa dan suara sepatu yang bergesekan. Pikirannya sudah tertuju pada setumpuk koreksi di ruang guru. Gaji honorer yang tipis menuntutnya untuk bekerja keras, dan ia memilih untuk menganggapnya sebagai motivasi, bukan beban.

Namun, begitu kakinya menyentuh ambang pintu ruang guru, energi itu langsung menghantamnya, seolah ia baru saja menabrak tembok tak kasat mata. Bukan energi, melainkan gelombang suara yang sengaja dikencangkan, dipenuhi nada sinis yang ia kenal betul.

Itu suara Bu Rosba.

Rosba, guru senior yang sudah mengabdi hampir tiga puluh tahun, adalah raksasa di ruang guru ini. Posturnya memang kecil, tapi suaranya—dan pengaruhnya—bisa mengisi setiap sudut ruangan.

Rika terhenti. Ia menarik napas, mencoba menetralkan degupan jantungnya yang tiba-tiba memberontak. Rosba sedang berbicara dengan Bu Siti, guru Akuntansi yang cenderung netral, namun kali ini jelas sekali monolognya ditujukan untuk didengar oleh Rika.

“...Ya ampun, Bu Siti. Guru baru ini memang luar biasa, ya? Semua kegiatan dia ikuti, semua lomba dia dampingi. Kelas X-A yang terkenal bandel itu mendadak jadi kelas teladan. Semua orang jadi memuji-muji,” desis Rosba, suaranya seperti bilah pisau yang diasah pelan. Ia tidak menyebut nama, tapi semua orang tahu siapa "guru baru" yang dimaksud.

****

Rika mengepalkan buku-buku jarinya. Ia tahu, jika ia membalas, Rosba akan menuduhnya tidak sopan. Jika ia diam saja, Rosba akan menganggapnya sebagai kelemahan.

“Bukannya bagus, Bu Ros? Murid jadi semangat, sekolah juga untung kalau menang lomba?” jawab Bu Siti, terdengar sedikit enggan.

Rosba tertawa kecil, tawa yang menusuk hingga ke ulu hati. “Bagus? Tentu saja bagus di mata kepala sekolah. Tapi di mata kita? Coba Ibu perhatikan, Bu Siti. Segala sesuatu yang berlebihan itu pasti ada maunya. Ambisi, Bu. Ambisi namanya. Nanti, kalau ada peluang jadi PNS, dia yang paling depan.”

Rika menutup mata sejenak. Tuduhan itu selalu sama. Selalu tentang ambisi yang berlebihan, tentang "mencari muka." Padahal, ia hanya mencoba bekerja sebaik mungkin, membayar lunas kepercayaan yang diberikan padanya. Sebagai guru honorer, ia harus dua kali lipat lebih baik hanya untuk diakui setara.

Ia memutuskan untuk bergerak. Ia melangkah ke mejanya, mencoba fokus pada laptop, pura-pura tidak mendengar.

Rosba bangkit dari kursinya, berjalan mendekat, seolah mengejar Rika dengan suaranya. Ia kini berdiri tepat di samping meja Bu Siti, berjarak tak lebih dari lima langkah dari Rika.

“Saya ini sudah kenyang makan asam garam sekolah, Bu Siti. Dulu, jaman saya muda, kita kerja ya kerja saja, ikhlas. Tidak perlu segala dipamerkan ke sana kemari. Guru itu tugasnya mendidik, bukan jadi sales yang menjajakan kehebatan diri. Apalagi yang statusnya masih—ah, sudahlah. Tidak enak menyebutnya.”

****

Rika meletakkan tasnya dengan sedikit keras. Suara bantingan itu menarik perhatian seisi ruangan. Rosba tersenyum tipis, senyum puas karena berhasil memancing reaksi.

Rika mendongak, matanya bertemu langsung dengan mata Rosba. Sorot mata Rika tidak marah, melainkan terluka dan sangat lelah.

“Ibu Rosba,” Rika memanggilnya, suaranya rendah, nyaris bergetar. “Kalau Ibu mau bicara tentang saya, saya ada di sini. Kenapa tidak bicara langsung?”

Rosba membuang pandangan sebentar, lalu menoleh kembali dengan ekspresi kaku dan dibuat-buat terkejut.

“Oh, Rika? Sudah selesai mengajar? Hebat sekali. Saya kira kamu masih sibuk dengan para siswa istimewa kamu itu.” Rosba menekankan kata ‘istimewa’ dengan nada menghina.

"Saya sudah selesai mengajar. Dan saya bukan siswa istimewa, saya guru,” balas Rika, berusaha menjaga suaranya tetap datar. “Soal bicara. Sepertinya dari tadi Ibu memang sengaja mengarahkan pembicaraan ke saya, ke ambisi saya.”

“Ambisi? Kenapa, memangnya saya salah?” Rosba mendengus, melipat tangan di dada. “Memangnya kamu tidak berambisi? Kamu pikir semua guru di sini buta? Kamu selalu datang paling pagi, pulang paling sore. Kamu selalu menawarkan diri mengurus ini itu. Apa itu namanya kalau bukan ambisi untuk—maaf, nampang di depan Kepala Sekolah?”

Napas Rika tercekat. Ia bisa merasakan air matanya berkumpul di sudut mata, namun ia menahannya kuat-kuat. Ia tidak boleh terlihat lemah di depan wanita ini.

“Saya datang pagi karena itu kewajiban saya, Bu. Saya pulang sore karena saya butuh waktu lebih untuk mengoreksi dan menyiapkan materi yang layak,” jawab Rika, suaranya meninggi satu oktaf. Ia berdiri, menghadap Rosba sepenuhnya.

“Saya honorer, Bu. Gaji saya tidak sebanyak gaji Ibu. Saya tidak punya jaminan pensiun. Saya tidak punya tunjangan ini itu. Satu-satunya yang saya punya hanyalah kinerja saya,” kata Rika, menunjuk dadanya sendiri. “Dan jika Ibu menganggap saya berambisi, Ibu benar! Saya berambisi untuk jadi guru yang baik. Saya berambisi agar jerih payah saya dihargai. Saya berambisi agar saya, yang bukan siapa-siapa ini, bisa membuktikan diri saya pantas berdiri di sini, setara dengan Ibu dan guru PNS lainnya!”

****

Ruang guru sunyi, seolah semua orang menahan napas. Bu Siti hanya menunduk, tidak berani mengangkat wajah.

Rosba maju selangkah. Matanya tajam, memancarkan amarah yang terbungkus rasa superioritas.

“Dengar sini, Rika. Kalau kamu memang punya ambisi, simpan saja di laci kamu! Di sekolah ini, kami tidak butuh guru honorer yang sok pahlawan dan sok tahu segalanya! Kamu pikir, dengan semua tingkah kamu itu, kamu akan cepat diangkat jadi PNS? Jangan mimpi!” Rosba mencondongkan tubuhnya, suaranya kini berbisik tajam, jauh lebih mengancam daripada teriakan.

“Kamu hanya memicu kecemburuan. Kamu membuat kami yang sudah senior ini terlihat seperti pemalas. Kamu tidak sadar, kan? Kamu menciptakan jurang di antara kami!” Rosba menuding Rika.

Rika menggeleng, rasa sakitnya kini bercampur dengan kepedihan. “Bukan saya yang menciptakan jurang itu, Bu. Jurang itu sudah ada sejak lama, dan Ibu yang terus melebarkannya dengan prasangka dan sindiran-sindiran Ibu. Saya hanya ingin mengajar. Saya hanya ingin anak-anak itu berhasil.”

“Bullshit!” Rosba berdecak keras. “Semua guru di sini juga ingin muridnya berhasil! Bedanya, kami tidak perlu jungkir balik dan mencari perhatian dengan cara norak seperti yang kamu lakukan!”

Rika merasakan tubuhnya lemas. Pertahanan dirinya runtuh. Ini bukan lagi soal Bahasa Inggris atau RPP, ini soal harga diri dan pengakuan.

“Saya hormat sama Ibu, sebagai guru senior. Tapi tolong, Bu,” Rika menarik napas panjang, “Hormati juga kerja keras saya. Tidak semua ambisi itu buruk. Ambisi saya adalah agar saya bisa bertahan hidup dengan pekerjaan yang saya cintai ini. Tolong, jangan jadikan status honorer saya sebagai senjata untuk menjatuhkan saya.”

1
Purnama Pasedu
nggak lelah Bu cahaya
Aretha Shanum
ada orang gila lewat thor
La Rue
Ceritanya bagus tentang perjuangan seorang perempuan yang bermartabat dalam meperjuangkan mimpi dan dedikasi sebagai seorang perempuan dan guru. Semangat buat penulis 👍❤️
neur
👍🌹☕
Purnama Pasedu
Shok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba panik
Purnama Pasedu
bo rosba nggak kapok ya
Purnama Pasedu
Bu rosba,,,itu Bu riika bukan selingkuh,kan dah cerai
Purnama Pasedu
benar itu Bu Guru
Purnama Pasedu
wanita yg kuat
Purnama Pasedu
lah Bu rosba sendiri,bagaimana
Purnama Pasedu
bener ya bu
Jemiiima__: Halo sahabat pembaca ✨
‎Aku baru merilis cerita terbaru berjudul BUKAN BERONDONG BIASA
‎Semua ini tentang Lucyana yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
‎Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
‎Apakah Lucy berani jatuh cinta lagi? Kali ini pada seorang Sadewa yang jauh lebih muda darinya.
‎Mampir, ya… siapa tahu kamu ikut jatuh hati pada perjalanan mereka.
‎Dukung dengan like ❤️ & komentar 🤗, karena setiap dukunganmu berarti sekali buatku. Terimakasih💕
total 1 replies
Purnama Pasedu
lawan yg manis ya
Purnama Pasedu
bawaannya marah terus ya
Purnama Pasedu
Bu rosba iri
Purnama Pasedu
jahat ya
Purnama Pasedu
kalo telat,di marahin ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!