Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.
Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.
Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Terjebak
Cahaya inframerah itu bukan seperti sorotan lampu mobil; ia lebih halus, mematikan, seperti mata predator termal yang mengunci mangsa. Ia menyapu ujung ladang tebu, dan dalam sepersekian detik, Zega bertindak. Ia menarik Sasha dengan kekuatan yang mengejutkan, mendorongnya ke dalam celah sempit di antara dua baris tebu yang lebat, dan mereka terjatuh bersamaan, terbungkus dedaunan kering yang gatal.
“Jangan bergerak. Jangan bernapas,” Zega mendesis, suaranya nyaris tidak terdengar di tengah desauan daun yang ditiup angin malam. Ia menekan tubuhnya ke tubuh Sasha, memanfaatkan setiap inci dirinya sebagai perisai, bukan hanya dari pandangan, tetapi juga dari panas tubuh Sasha sendiri.
Drone itu terdengar sekarang—suara dengungan tinggi yang memecah keheningan, terbang rendah, menyisir area itu dengan presisi militer. Cahaya inframerahnya menyentuh tempat mereka bersembunyi. Sasha bisa merasakan jantung Zega berdebar kencang di punggungnya, menandingi detak jantungnya sendiri.
“Mereka akan mengirim tim darat ke sini dalam tiga puluh detik,” bisik Zega. Ia mengeluarkan ponsel kecilnya lagi, kali ini ia membuka panel kecil yang memperlihatkan beberapa kabel tembaga tipis yang disolder dengan buruk. “Ini adalah jammer mini. Baterainya hanya bertahan lima belas detik, tapi itu cukup untuk mengganggu frekuensi navigasi mereka.”
Zega mengaktifkannya. Ponsel itu terasa panas di tangannya. Ia meletakkannya di tanah, dan saat dengungan drone di atas mereka terdengar semakin kacau, Zega meraih Sasha.
“Lari! Sekarang!”
Mereka melompat berdiri. Ladang tebu menjadi labirin yang menantang, daun-daunnya memotong kulit mereka. Mereka berlari membungkuk, menuju ke bukit kecil tempat mobil target diparkir. Setiap langkah terasa seperti memicu alarm. Di belakang mereka, suara derap langkah kaki dan gonggongan anjing mulai terdengar lagi, kali ini lebih terfokus.
“Mereka tahu kita ada di sini!” teriak Sasha, terengah-engah.
“Jammerku tidak akan menipu mereka lama! Cepat, Maya!” Zega berteriak, menggunakan nama sandi mereka, nada suaranya tegas dan mendesak.
Mereka berhasil keluar dari tebu dan mencapai jalan setapak berlumpur. Di atas bukit, terparkir sebuah Toyota Kijang tua berwarna biru yang karatan. Mobil itu tampak ditinggalkan, sempurna.
Zega tidak membuang waktu. Ia merobek kabel di bawah dashboard, tangannya bergerak dengan kecepatan yang menakutkan, seperti ia dilatih untuk hal ini sepanjang hidupnya. Dalam lima detik, bau asap dan kabel terbakar memenuhi udara.
“Pegang ini!” Zega melemparkan pistol kecil yang ia bawa ke pangkuan Sasha. “Jika mereka datang sebelum aku menyalakan mesinnya, tembak siapa pun yang menghalangi.”
Sasha menangkap pistol itu. Besi dingin di tangannya terasa berat, dan ia menatapnya dengan jijik, tetapi ia tidak berani protes. Ada tim pembunuh di belakang mereka, dan dia tidak punya pilihan selain bertindak.
Kunci kontak berputar. Mesin tua itu batuk sekali, dua kali, lalu menyala dengan raungan yang keras dan tidak sehat.
“Masuk!”
Sasha melompat ke kursi penumpang, Zega menginjak gas tanpa ampun. Mobil Kijang itu melompat maju, ban-bannya menyemburkan lumpur ke belakang, tepat saat dua sosok berseragam hitam muncul di puncak bukit, siluet mereka diterangi oleh lampu rem mobil.
Terdengar suara tembakan. Dua peluru menghantam bagian belakang mobil. Sasha berteriak, lebih karena kaget daripada sakit. Ia menoleh ke belakang. Dua agen itu kini mengejar, salah satunya menggunakan radio.
Zega memutar setir, membawa mobil itu ke jalan aspal kecil, lalu melaju kencang ke Timur.
“Mereka melapor. Semua titik keluar di Jombang akan siaga,” kata Zega, fokusnya tertuju pada jalan. “Kita harus berbaur.”
Setelah sepuluh menit mengemudi dalam keheningan tegang, mereka memasuki batas kota Jombang. Jalanan mulai dihiasi lampu jalan yang redup, rumah-rumah yang berdekatan, dan beberapa warung kopi yang masih buka.
Sasha menoleh ke Zega. Wajah Zega tegang, tetapi matanya memancarkan kombinasi adrenalin dan kepuasan. Ia berhasil membawa mereka ke tempat aman, untuk sementara.
“Kau baik-baik saja?” tanya Zega, meliriknya sekilas.
“Basah, berlumpur, dan baru saja ditembaki. Selain itu, aku luar biasa,” jawab Sasha, mencoba menormalkan napasnya. Ia meletakkan pistol di bawah kursi.
“Kita harus mengubah penampilan. Dan yang terpenting, kita harus mengubah sikap,” Zega memperlambat mobil saat memasuki area perkotaan yang lebih padat, mencari gang-gang kecil.
“Penyamaran pasangan yang putus asa,” Sasha mengingatkan, mengulang kata-kata Zega.
Zega mengangguk, lalu tangannya yang basah dan dingin tiba-tiba berpindah dari kemudi, meraih lutut Sasha. Sentuhan itu tidak kasar, tetapi jelas menguasai. Jantung Sasha melonjak lagi, kali ini bukan karena takut pada peluru, tetapi karena gairah yang terpendam.
“Aku harus mempraktikkannya,” Zega berkata, suaranya rendah dan serak, matanya kini menatap Sasha, bukan jalanan. “Jika kau tidak terlihat seperti milikku, jika ada celah sedikit saja, kita berdua mati. Kontakku sangat peka terhadap ketulusan. Dia harus melihat bahwa kau bergantung padaku, bahwa kau tidak bisa berfungsi tanpaku.”
Sasha menelan ludah. Rasa panas mulai merayap naik ke wajahnya, membakar dinginnya lumpur. “Jadi, apa peranku sekarang? Gadis yang ketakutan?”
“Tidak. Gadis yang kecanduan. Kecanduan pada risiko, pada kekuasaan, pada apa pun yang kau rasakan saat kau menciumku di bawah gorong-gorong tadi,” Zega menarik napas, ibu jarinya menggesekkan kulit Sasha yang basah melalui celana jeans yang sobek. “Kita adalah pelarian yang melarikan diri dari hutang. Kita mabuk asmara, dan kita tidak peduli dengan konsekuensinya.”
Sasha mengangguk. Dia memahami permainannya. Ini bukan hanya tentang penyamaran; ini tentang bertahan hidup dengan cara yang paling fundamental. Dia mengulurkan tangan dan meletakkannya di lengan Zega yang berotot.
“Lakukan,” katanya. “Jual aku. Aku adalah milikmu.”
Zega menyeringai, senyum yang mencapai matanya, mencerminkan gairah gelap yang baru saja mereka temukan. Ia berbelok tajam ke sebuah gang sempit, mematikan lampu mobil, dan memarkirkannya di samping tumpukan sampah besar.
“Kita turun di sini. Tempat kontakku adalah pabrik gula tua di pinggiran kota. Kita harus berjalan dari sini agar tidak membawa mobil curian ini langsung ke markasnya.”
Mereka keluar dari mobil. Zega mengambil ransel laptop, dan Sasha meraih pistol itu lagi, menyelipkannya ke pinggangnya, di bawah jaket yang berlumpur.
“Ingat, Maya. Jangan bicara tentang DigiRaya, jangan bicara tentang data. Kita hanya bicara tentang uang. Uang untuk tiket ke luar negeri, uang untuk hidup baru,” Zega mengingatkan.
Mereka berjalan kaki melalui jalanan gelap. Udara di Jombang terasa lembap dan manis, bercampur dengan bau tebu yang terbakar dan polusi kota. Setelah sekitar dua puluh menit, mereka tiba di sebuah gerbang besi berkarat yang tingginya empat meter. Di baliknya adalah komplek pabrik tua yang gelap.
Zega menggeser gerbang itu sedikit, membuat suara berderit yang memekakkan telinga. Ia menoleh ke Sasha, ekspresinya kembali dingin dan profesional, tetapi dengan sedikit api di matanya.
“Bersiaplah. Orang ini, namanya Rako, adalah alasan mengapa aku membenci korporasi yang busuk. Dia tidak punya kode etik, tapi dia efisien. Dan dia akan mencium kelemahanmu dari jarak sepuluh meter.”
Mereka masuk ke halaman yang dipenuhi mesin-mesin tua yang diselimuti debu gula. Di tengah aula besar, hanya ada satu lampu gantung yang menyala redup, menerangi sosok besar yang duduk di kursi kantor bobrok, memainkan ponsel.
Pria itu—Rako—memiliki wajah yang kasar, mata yang dingin, dan rambut cepak. Ia memakai kemeja batik yang rapi tetapi terlihat lusuh. Ia meletakkan ponselnya saat Zega dan Sasha mendekat.
“Zega. Lama tak jumpa. Aku dengar kau sudah jadi anak baik sekarang. Bekerja untuk CEO,” Rako berkata, suaranya berat dan mengejek. Matanya kemudian beralih ke Sasha, menelanjanginya dari ujung rambut yang berantakan hingga sepatu kotornya.
“Siapa ini? Mainan barumu? Dia terlihat terlalu mahal untuk seleramu, Nak,” Rako tersenyum jahat.
Zega melangkah maju, tangannya melingkari pinggang Sasha, menariknya ke sampingnya dengan gerakan yang posesif. Ini bukan sentuhan romantis; ini adalah pernyataan kepemilikan yang agresif.
“Dia bukan mainan. Dia adalah alasan mengapa aku di sini. Namanya Maya. Dan kami punya masalah besar. Kami butuh identitas, kami butuh uang bersih, dan kami butuh kapal ke Pulau Dewata sebelum fajar,” Zega berkata, nadanya keras, tidak menunjukkan rasa takut.
Rako tertawa, tawa serak yang bergema di aula pabrik yang kosong. “Bali? Begitu cepat? Apakah ini cinta atau pembunuhan, Zega?”
Rako bangkit dari kursinya, berjalan mendekat, dan berhenti tepat di depan Sasha. Matanya yang tajam meneliti setiap detail Sasha, mencari kebohongan.
“Dia punya cincin di jarinya,” Rako menunjuk ke bekas cincin pertunangan Bara di jari manis Sasha. “Dan dia terlihat seperti baru saja mencium CEO yang sudah mati.”
Sasha menegang, tetapi Zega meremas pinggangnya. Sasha memaksa dirinya untuk menatap mata Rako, membiarkan kemarahan, ketakutan, dan gairah yang baru saja ia rasakan di gorong-gorong untuk meluap.
“Kami lari dari hutang, Rako. Hutang yang melibatkan darah. Dan jika kau tidak bisa membantu kami, kau akan menjadi yang pertama disalahkan,” Sasha berkata, suaranya serak tetapi tegas, menyalurkan semua kepercayaan diri CEO yang selama ini ia sembunyikan.
Rako terkejut sesaat oleh keberaniannya, lalu ia menyeringai lebar. “Oh, aku mengerti sekarang. Kau adalah masalah yang menyenangkan, Zega. Sangat menyenangkan.”
Rako mengalihkan pandangannya dari Sasha, kembali ke Zega. “Aku bisa menyiapkan ID palsu. Tapi, apa yang akan kuberikan untuk semua kesulitan ini? Aku tahu kau tidak punya uang. Kau hanya punya satu barang berharga di ranselmu, bukan? Laptop Bara. Aku ingin lihat isinya.”
Zega mengeraskan rahangnya. “Tidak ada yang bisa melihat isinya. Itu adalah asuransi kami.”
“Kalau begitu, bayar dengan cara lain,” Rako mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya tertuju pada Sasha. “Tinggalkan gadis itu di sini, dan aku akan memberimu semua yang kau butuhkan. Dia tampak seperti pembayaran yang adil untuk perjalanan ke Bali dan identitas baru.”
Udara terasa menipis. Sasha merasakan Zega menegang di sampingnya. Ini adalah tes. Dan Sasha tahu, demi bertahan hidup, Zega harus menunjukkan betapa berharganya dia.
“Tidak ada kesepakatan,” Zega menjawab dengan cepat, menarik Sasha sedikit ke belakang. “Kau sentuh dia, dan aku pastikan seluruh jaringanmu di Jawa Timur lumpuh besok pagi. Kau tahu aku bisa melakukannya, Rako. Laptop ini, dan gadis ini, adalah aset yang tidak bisa dijual.”
Rako menatap Zega lama, mengukur ancaman itu. Akhirnya, ia menghela napas, mengangkat tangan tanda menyerah.
“Baiklah, Zega. Aku suka negosiasimu. Aku suka betapa putus asanya dirimu. Tapi ada satu hal lagi,” Rako mengambil ponselnya dan memencet sebuah tombol. Tiba-tiba, lampu di aula pabrik menyala terang, menerangi seluruh ruangan. Tidak ada orang lain.
“Sasha. Pamanmu, Hadi, baru saja mengumumkan audit eksternal besar-besaran terhadap DigiRaya. Pemerintah telah membekukan semua aset perusahaan. Dan yang paling penting,” Rako tersenyum dingin. “Dia tahu kau ada di Jombang. Dia tahu kau menuju Bali. Dia membayar mahal agar aku memastikan kalian berdua tidak pernah sampai di sana.”
Pintu belakang pabrik itu berderit terbuka. Tiga pria besar bersenjata, mengenakan seragam DigiRaya Security yang dimodifikasi, berjalan masuk, senapan otomatis siap di tangan mereka.
Zega dan Sasha terkunci di tengah aula. Rako telah menjebak mereka , sungguh diluar dugaan Zega....