NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / CEO / Romansa
Popularitas:845
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Pagi itu langit mendung tipis, tapi udara terasa hangat. Nathan duduk di dalam mobil yang terparkir rapi di pinggir jalan, tepat di depan apartemen Kayla. Jari-jarinya mengetuk setir tanpa irama pasti, seolah pikirannya jauh dari tempat ia duduk sekarang. Setelan jasnya rapi seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berbeda dari cara dia duduk. Lebih tegang, lebih banyak diam.

Begitu Kayla muncul dari lobi apartemen, membawa tas kerjanya dan senyum yang selalu bisa menurunkan detak jantung Nathan, lelaki itu segera keluar dari mobil dan membukakan pintu. Perlakuan manis dari awal mereka kenal hingga sekarang yang membuat hati Kayla berbunga. Ia masuk ke dalam mobil, duduk nyaman di kursi penumpang, lalu menoleh dan tersenyum kecil.

"Mau sarapan dulu?" tanya Nathan seraya melajukan mobilnya pelan ke jalan utama.

"Enggak usah. Aku bawa sarapan, nanti mau makan di kantor aja," jawab Kayla sambil membuka tasnya dan menunjukkan kotak bekal yang tertata rapi. "Ada apa, Nat? Kenapa kamu ngajak berangkat bareng lebih pagi dari biasanya?"

Nathan tersenyum samar, lalu mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Cuma... pengin punya waktu ngobrol sebelum kita masuk kantor. Biasanya kan langsung sibuk."

Kayla menoleh penuh perhatian, alisnya sedikit mengernyit. "Ngobrol soal apa?"

"Hal-hal kecil aja," Nathan menjawab pelan. Ia menatap jalanan yang belum terlalu ramai, seakan sedang memilih kata dengan hati-hati. "Kadang aku kepikiran hal-hal aneh..."

Kayla tertawa kecil. "Aneh gimana?"

Nathan diam sesaat. Tangannya menggenggam setir lebih erat sebelum akhirnya berkata, masih dengan nada ringan tapi mengandung sesuatu yang mengganjal.

"Menurut kamu, ada nggak sih orang yang berubah karena rasa takut ditinggalin?"

Kayla menoleh dengan dahi berkerut. "Maksudnya?"

Nathan tetap menatap jalan, seperti tidak benar-benar ingin menjelaskan. ""Ya… kayak ada orang yang berubah jadi lebih baik. Tapi sebenarnya bukan karena dia sadar. Lebih karena takut kehilangan orang yang penting buat dia. Menurut kamu, perubahan yang kayak gitu… bisa bertahan nggak?"

Kayla menarik napas, berpikir. "Kalau awalnya karena takut, tapi lama-lama jadi kesadaran, bisa aja bertahan. Tapi kalau cuma takut, tanpa ada niat dan kesadaran sendiri… ya, cepat atau lambat, balik lagi."

Nathan mengangguk pelan, entah setuju atau hanya pura-pura paham. "Kamu pinter jawab kayak gitu."

Kayla tersenyum singkat, tapi sorot matanya mengamati Nathan. "Kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini kayak suka nanya yang aneh-aneh."

Nathan tertawa kecil, tapi tidak membalas langsung. Tangannya tetap memegang kemudi, matanya masih menatap ke depan. "Nggak apa-apa. Cuma... mikir aja. Kadang kita lihat orang berubah, tapi nggak tahu, itu beneran dari hati atau karena situasi."

Beberapa detik hening. Lalu Nathan kembali bicara. Nada suaranya lebih hati-hati kali ini.

"Kalau kamu tahu seseorang pernah hidup sembarangan banget... kamu masih bisa percaya sama dia? Atau bakal kepikiran terus masa lalunya?"

Kayla menoleh lagi. Kali ini lebih lama, lebih serius. "Kalau dia udah berubah dan nggak ada alasan buat aku curiga… kenapa harus mikirin masa lalunya? Tapi kalau dia sendiri belum yakin sama dirinya, ya... itu yang jadi masalah."

Nathan menahan napas. Jawaban Kayla masuk lebih dalam dari yang ia harapkan. Ia mengangguk, lalu tersenyum, tapi kali ini senyum itu tidak bertahan lama.

"Sebenarnya ada apa, sih?" tanya Kayla pelan namun tajam. "Pertanyaan kamu tuh dari tadi arahnya selalu ke kamu sendiri. Kayak lagi nguji respons aku buat sesuatu yang kamu udah alami. Hidup sembarangan, terus berubah jadi lebih baik... Kamu nanya itu karena kamu pernah ada di posisi itu, kan?"

Tatapan Kayla menembus sisi Nathan yang paling dalam. "Kalau ada apa-apa, ngomong, Nat. Jangan dipendem sendiri. Kita udah sepakat untuk saling terbuka. Kamu yang bilang sendiri waktu itu, bukan aku."

Nathan menarik napas pelan. "Nggak kenapa-napa, Sayang. Aku cuma… kadang kepikiran aja. Takut kalau kamu masih ngeraguin aku. Takut kalau semua perubahan ini belum cukup buat kamu percaya."

Kayla terdiam. Matanya tetap menatap Nathan, namun kini dengan ekspresi yang sulit dibaca. Bukan marah, bukan kecewa, tapi lebih kepada luka yang dalam dan tidak terucapkan.

Setelah semua yang mereka lewati, semua janji yang mereka bangun, Nathan masih ragu pada kepercayaan Kayla? Masih mempertanyakan keyakinannya setelah semua kesalahan yang ia coba maafkan?

Jantung Kayla berdebar, namun kali ini bukan karena cinta. Melainkan kecurigaan. Ia mengenal Nathan, cukup baik untuk tahu saat pria itu sedang menyembunyikan sesuatu. Dan detik ini, seluruh intuisinya menjerit. Nathan tidak sepenuhnya jujur.

‘Kalau kamu nggak mau cerita… kalau kamu nggak berani jujur soal apa yang sebenarnya terjadi, aku akan cari tahu sendiri, Nat,’ batin Kayla dingin, tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun.

Di dalam mobil yang tetap melaju, jarak di antara mereka terasa semakin jauh. Bukan karena ruang, tapi karena rahasia.

Nathan tak sanggup membalas tatapan Kayla. Matanya mengarah ke jalanan yang terasa semakin sunyi, padahal kendaraan tetap lalu-lalang. Ia tahu Kayla tidak percaya sepenuhnya, dan ia juga sadar jawabannya barusan hanya menambah jarak, bukan menenangkan.

***

Selesai mengantar kekasihnya ke kantor, Nathan tak langsung melajukan mobil ke arah kantornya sendiri. Ia memilih untuk berbelok ke kantor hukum keluarga, tempat Pak Jatmiko, pengacara sekaligus penasihat tepercaya ayahnya, biasa menangani urusan hukum dan bisnis keluarga mereka.

Langkah Nathan mantap menyusuri lorong marmer yang dingin. Pandangannya lurus ke depan, hanya satu tujuan. Ruangan Pak Jatmiko. Ia mengetuk pelan pintu kayu berlapis ukiran itu.

"Masuk," sahut suara berat dari dalam.

Nathan membuka pintu. Sebuah senyum kecil mengulas bibirnya saat mata Pak Jatmiko menatapnya dengan sedikit keterkejutan.

"Ah, Mas Nathan rupanya. Kenapa mendadak sekali? Kalau saya tidak ada di tempat bagaimana?" katanya sambil berdiri menyambut.

"Saya bisa datang lagi lain hari kalau memang begitu," sahut Nathan ringan, meski hatinya tak seiring dengan ucapannya.

"Silakan duduk. Ada yang bisa saya bantu?"

Nathan menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap lurus ke mata pria paruh baya di depannya.

"Saya ke sini untuk membicarakan tentang bisnis baru yang Ayah percayakan pada saya... sejujurnya saya belum siap," ungkapnya tanpa bertele-tele. "Saya ingin Bapak membantu menunjuk orang kepercayaan Ayah untuk mengelolanya sementara. Saya akan tetap datang saat pembukaan, tapi untuk operasional selanjutnya, saya harap ada orang lain yang bisa meng-handle."

Pak Jatmiko mendengarkan dalam diam. Kedua telapak tangannya bertaut di atas meja, raut wajahnya tidak menghakimi, hanya menyimak dengan saksama.

"Saya bukannya menolak tanggung jawab, Pak," lanjut Nathan. "Saya hanya... punya urusan pribadi yang belum selesai. Saya khawatir itu akan memengaruhi kinerja saya nanti."

Hening. Hanya bunyi detik jam dinding yang terdengar di sela-sela pembicaraan mereka.

Pak Jatmiko akhirnya bersuara, tenang namun tegas.

"Mas Nathan, kalau kamu hanya datang saat pembukaan, itu artinya kamu akan mengulang kesalahan yang sama seperti di perusahaan yang sekarang kamu pimpin. Kamu datang belakangan, lalu menyerahkan semuanya begitu saja. Akibatnya, kamu hanya mengikuti arus yang sudah terbentuk, bukan membentuk arus itu sendiri."

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap Nathan lebih dalam.

"Kalau kamu hadir sejak awal, kamu yang menentukan arah. Kamu bisa menanamkan nilai, cara kerja, dan ritme yang kamu inginkan. Setelah semua berjalan stabil, silakan awasi dari jauh. Tapi awalnya, tetap harus dari kamu. Kalau sejak awal sudah kamu limpahkan ke orang lain, kamu tak akan pernah benar-benar tahu apakah bisnis itu berjalan jujur atau tidak. Ingat, ini bisnis milik keluargamu. Jika kamu tidak turun tangan dari awal, kamu juga tidak akan pernah sepenuhnya memiliki kendali."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!