NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Gadis Nakal

"Gue mau di bawa kemana sih Om? Apa jangan-jangan Lo mau bawa gue ke hotel ya? Lo mau apa-apain gue ya?"

"Lo tuh dasar patriarki! Gue gak suka sama lo, gue benci lo, gue gak terima pernikahan ini. Kenapa? Kenapa gue yang harus nanggung semua ini? Papa, dia kenapa jahat sama gue?"

Sastra mendengarkan Maha yang terus meracau di sampingnya, menahan marah namun juga penuh rasa iba. Ia tahu Maha sedang tidak sepenuhnya sadar, pengaruh alkohol jelas terlihat dari ucapan yang melantur dan perasaannya yang tumpah ruah. Sastra menatapnya sebentar, melihat Maha yang tampak rapuh dan terluka, sebelum kembali fokus pada jalan di depannya.

"Lo ngga ngerti, Sastra... Gue ngga pernah minta ini semua," Maha melanjutkan dengan nada yang lebih lemah. Air mata mulai mengalir di pipinya, emosi yang ia pendam selama ini akhirnya pecah, dan Sastra hanya bisa menggenggam kemudi lebih erat, merasakan beban emosional dari istrinya.

Sampai di rumah besarnya, Sastra segera membantu Maha keluar dari mobil. Maha yang masih setengah sadar tersandung langkahnya, membuat Sastra harus memegang erat pinggangnya agar tidak terjatuh. Dengan sabar, Sastra menopang tubuh Maha, membimbingnya menuju pintu depan rumah.

"Pelan-pelan, Maha," ucap Sastra dengan nada lembut, mencoba menenangkan gadis itu yang terlihat masih mabuk dan tidak sepenuhnya sadar.

Maha bergumam tidak jelas, matanya setengah tertutup, namun tangannya dengan spontan mencengkeram lengan Sastra. "Gue bisa jalan sendiri... lo nggakl perlu sok jadi pahlawan..." kata Maha dengan nada yang terdengar memberontak, meski tubuhnya jelas sekali tidak mampu menopang dirinya sendiri.

Sastra hanya menghela napas panjang. "Ayo, saya bantu kamu kekamar,"

Setelah berhasil membawa Maha ke kamarnya, Sastra membaringkannya di atas ranjang tidur. Maha berbaring dengan kepala bersandar pada bantal, pandangannya kabur menatap langit-langit. Sastra berjongkok di samping ranjang, menatap wajah gadis itu dengan ekspresi kesal dan prihatin.

"Kenapa kamu harus melakukan ini pada dirimu sendiri, Maha?" gumam Sastra lebih kepada dirinya sendiri, meskipun suaranya cukup keras untuk didengar oleh Maha.

Maha hanya tertawa kecil, suara tawanya terdengar pahit. "Gue bebas... gue bisa lakuin apa aja yang gue mau... Lo ngga bisa ngatur gue, Sastra!"

Sastra tidak menjawab. Dia tahu ini bukan saatnya berdebat. Dia hanya bisa menunggu sampai Maha kembali sadar sepenuhnya sebelum membahas apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, gadis itu malah bangun dari rebahannya, ia naik ke atas pangkuan Sastra. Dengan tatapan kosong dan gerakan yang nakal, Maha tampak kehilangan kendali atas dirinya. Sastra menghela napas, mencoba menenangkan dirinya agar tetap sabar.

"Maha, turun dari sini," kata Sastra lembut, sambil berusaha membantu Maha kembali berbaring di ranjang.

Maha menatap Sastra dengan wajah yang tersenyum, kekehan kecil keluar dari mulutnya. Sementara kedua tangannya bergerak menangkup rahang tegas milik Sastra.

"Lo emang ganteng Sas, tapi brengsek!"

Sastra mencoba tetap tenang, tangannya menyentuh lembut punggung Maha untuk memberi rasa nyaman.

Maha tertawa kecil, wajahnya semakin mendekat ke arah Sastra. "Ngaku, lo pasti sering pake jasa ani-ani buat memenuhi hasrat lo kan?" Maha semakin melantur saja, tangannya kini bergerak ria menyentuh dada bidang Sastra, mengusapnya begitu halus lalu membuka dua kancing teratas hingga dadanya benar-benar terekspos.

"Jangan bertindak jauh Maha, saya tidak bisa menjamin bisa menahan diri kalau kamu begini." Nada suara Sastra tercekat menahan dirinya yang mulai bereaksi akibat ulah Maha. Sentuhan-sentuhan itu semakin liar masuk kedalam kemejanya.

"Harum, tubuh lo harum Sas." Sedetik kemudian sentuhan geli terasa pada dada bidangnya, gadis ini mencium bagian sensitifnya.

Sastra berusaha keras menahan dirinya, tubuhnya bergetar menahan dorongan yang mulai mengganggu fokusnya. "Maha, hentikan. Kamu sedang mabuk dan tidak dalam keadaan yang baik untuk membuat keputusan."

Maha, yang kini semakin tidak sadar, mengabaikan peringatan Sastra. Dengan gerakan yang masih setengah sadar, dia kembali mencium dada Sastra, menciptakan situasi yang semakin menegangkan.

Tangannya kini bergerak mengungkung leher Sastra, jarak mereka sangat dekat sekali hingga Maha dengan cepat mencuri ciuman di bibir Sastra. Entah karena dorongan alkohol, Maha semakin bergerak liar mencumbu lembut bibir laki-laki yang mati-matian tengah menahan hasratnya saat ini.

Sastra bisa saja langsung mendorong Maha untuk mejauh darinya namun ciuman yang diberikan Maha justru menyulut keinginan Sastra untuk membalas cumbuan nya. Selagi ada kesempatan yang diberikan gadis ini, Sastra akan memanfaatkannya sebaik mungkin walaupun esok pasti ia akan diamuk oleh perempuan ini habis-habisan.

"Okay, just kissing, Maha."

Dia mengangkat satu tangan untuk menyentuh pipi Maha, membalas ciumannya dengan lembut seolah tak ingin menyakiti bibir milik perempuan yang tengah hilang kendali ini. Dia tahu bahwa reaksi ini dipaksakan karena keadaan Maha yang tidak sadar penuh, bukan karena perasaan sesungguhnya dari keduanya.

Keduanya kehilangan oksigen, melepas dalam keinginan yang seakan-akan candu untuk kembali melebur dalam gairah yang kadung mendorong untuk menyatu kembali, tapi Sastra yang dalam keadaan sadar menahan diri, lebih memilih menahan tubuh kecil ini lalu segera ia berbaring di ranjang tidurnya.

"Bibir lo manis banget, Sas, gue..." Maha akhirnya menutup matanya, kata-katanya terpotong saat tubuhnya mulai menyerah pada kelelahan. Pengaruh alkohol membuatnya semakin lemah, dan akhirnya ia tertidur dengan napas yang mulai teratur.

Sastra menghela napas panjang, rasa lega dan frustrasi bercampur aduk dalam dirinya. Dia menatap Maha yang kini berbaring tenang di atas ranjang, wajahnya yang tadi dipenuhi emosi kini tampak damai.

Sastra membetulkan selimut di atas tubuh Maha, berusaha sebisa mungkin menjaga jarak. Meskipun hasrat sempat menyeretnya ke dalam momen itu.  Maha sudah menyematkan sebutan yang buruk untuknya, tidak mungkin Sastra semakin memperburuk citra nya didepan Maha. Namun, walaupun begitu ia yakin Maha tetap akan memakinya, entah sebutan apa lagi yang akan ia layangkan padanya besok hari.

"Hari ini kamu sudah melewati batas, Maha. Entah besok saya bisa menahan diri atau tidak, tapi perilaku mu hari ini cukup menyulut rasa sabar saya." Ujar Sastra, matanya lekat memandangi Maha sebelum akhirnya beranjak keluar kamar.

Sastra segera menuangkan air ke dalam gelas, meneguknya dengan cepat untuk menenangkan diri. Tubuhnya masih terasa panas, penuh dengan sisa-sisa ketegangan yang baru saja terjadi. Dia menghela napas berat, merasakan denyut di pelipisnya yang menandakan betapa menegangkannya momen tadi.

Matanya kembali melirik pintu kamar Maharani. "Perempuan itu..." gumamnya pelan, masih mencoba mencerna perilaku Maha yang semakin sulit dipahami.

•••

Karena kondisi Maha tidak begitu baik, ia memutuskan untuk mengambil izin tidak masuk sekolah untuk hari ini. Maha masih merasakan pusing dan mual akibat efek alkohol semalam, ditambah dengan beban emosional yang belum sepenuhnya mereda. Ia berbaring di ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berkecamuk.

Sastra, mendekati pintu kamar untuk memastikan keadaan istrinya. Setelah mengetuk pelan, ia masuk dengan secangkir teh hangat di tangan.

"Kamu perlu istirahat. Saya sudah bilang pada pihak sekolah kalau kamu butuh waktu," ucap Sastra dengan nada tenang, meletakkan cangkir di meja samping ranjang.

Maha berbaring sambil memejamkan mata, mencoba mengingat kembali kejadian semalam. Itu adalah pertama kalinya ia menyentuh alkohol, dan jelas bukan pengalaman yang menyenangkan karena efeknya sampai bikin pening kepalanya, Maha tidak suka.

"Setengah jam lagi, saya tunggu kamu di ruang utama. Kita perlu bicara tentang semalam," suara tegas Sastra terdengar dari balik pintu sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan kamar.

Maha terdiam. Kata-kata Sastra terasa seperti palu yang menghantam kesadarannya. Aura laki-laki itu nampak berbeda pagi ini, terasa lebih menegangkan.

Ia bangkit perlahan dari ranjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ah sial! Pala gue pusing banget," gumamnya kesal, merutuki kecerobohannya semalam.

Dengan perasaan berat, Maha beranjak ke kamar mandi, membasuh wajahnya yang masih tampak lelah. Sesaat ia menatap cermin, melihat pantulan dirinya yang terasa begitu asing. "Semalam...? Aduh gua gak inget lagi!"

Maha memutuskan untuk mandi, berharap air dingin bisa sedikit menenangkan pikirannya yang kacau. Setiap tetes air yang menyentuh kulitnya terasa seperti upaya untuk membersihkan bau alkohol ditubuhnya.

"Sastra pasti marah, bagus deh akhirnya gue bisa mancing emosi dia, ilfil tuh pasti dia sama gue...," Maha bergumam dengan kekehan pelan, menatap air yang mengalir deras dari shower. Namun, tiba-tiba bayangan malam tadi muncul dalam benaknya, hanya potongan-potongan ingatan yang samar tentang ciuman dan keintiman yang melintas. Jantungnya kembali berdegup kencang saat ia mengingat wajah Sastra—yang telah menciumnya.

"Fuck! Si Om pedo nyentuh gue! Bajingan! Awas aja lo ya Sas, gue marah banget sama lo sekarang!"

Setelah selesai, Maha membalut tubuhnya dengan handuk dan segera berpakaian. Ia memakai pakaian sederhana, kaos longgar berwarna putih dan celana pendek berwarna hitam diatas lutut, sehingga terekspos paha putihnya yang mulus.

Dengan langkah yang cepat dan penuh amarah, Maha turun ke lantai bawah, tangannya meremas ujung kaosnya dengan erat. Kemarahan menggelegak dalam dirinya, pikiran tentang apa yang terjadi semalam membuatnya semakin geram.

"Dasar cowok m*s*m, brengsek,!" Maha mengumpat dengan suara penuh emosi. Sesampainya di ruang utama, dia melihat Sastra sudah duduk dengan tenang di sofa, ekspresi wajahnya tetap tenang dan penuh pengendalian diri, yang justru membuat Maha semakin dongkol.

"Bajingan lo Sastra!" Maha langsung mengumpat tanpa basa-basi dihadapan Sastra, kedua tangannya sudah dikepalkan di pinggang, sikapnya penuh tantangan. "Berani-beraninya lo cium gue, lo nyentuh gue, intinya lo udah ng*lec*hin gue dengan memanfaatkan keadaan gue yang lagi mabuk! Sialan lo Sas!"

Sastra hanya menatapnya dengan mata tajam, tidak terpancing oleh ledakan emosi Maha. Dia menunggu beberapa detik sebelum berbicara, suaranya rendah dan tenang. "Saya ingin bicara serius sama kamu, duduk!"

Maha mendengus kesal, mana mau dia menuruti perintah laki-laki brengsek yang sudah melecehkannya ini, pikir Maha.

Maha berdiri dengan sikap menantang, matanya memelototi Sastra yang duduk tenang di depannya. "Gue ngga mau duduk! Gue ngga mau dengerin omongan lo, Sas. Lo tuh udah ngerusak semuanya!"

"Sit down, now! " Ulangnya tak ingin dibantah, matanya menatap tajam ke arah Maha membuatnya tersentak sejenak. Maha seharusnya senang karena bisa memancing sentimen Sastra, tetapi ia malah kesal sendiri nyalinya menciut begini. Dengan kesal, ia akhirnya menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menatap Sastra dengan mata penuh kebencian.

Sastra menghela napas, berusaha mengatur emosinya agar tetap stabil. "Maha, kamu perlu dengerin saya dulu. Kita perlu berbicara soal apa yang terjadi semalam. Saya tidak mau ada kesalahpahaman."

Maha menghela napas kasar, matanya masih memicing dengan tatapan penuh kemarahan. "Kesalahpahaman?" Mata Maha memicing tak suka. "Lo cium gue, Sas! Lo—"

"Saya tidak mulai apa-apa, Maha," Sastra memotong, suaranya tetap tenang tapi penuh penekanan. "Kamu yang mabuk, kamu yang mulai. Saya cuma coba menahan diri, tapi kamu tidak berhenti."

Maha tersentak mendengar kata-kata Sastra, namun, egonya tidak membiarkan dirinya terlihat lemah. "Lo bohong! Lo pasti seneng kan bisa nyentuh gue waktu gue gak sadar? Dasar predator busuk!"

Sastra menghela napas, mengusap wajahnya sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Kamu bisa marah sama saya, bisa teriak, bisa ngatain saya apa aja. Tapi itu gak bakal mengubah kenyataan. Kamu mabuk, kamu yang cium saya duluan. Saya gak bangga sama apa yang terjadi, Maha, tapi saya juga gak bakal bohong buat melindungi diri saya."

"Jadi lo bilang semua ini salah gue? Lo gak salah apa-apa, gitu?"

"Saya gak bilang gitu," jawab Sastra tegas. "Saya salah karena gak segera mencegah kamu lebih awal. Saya salah karena gak menghentikan kamu dengan tegas. Kamu yang melakukan diri kamu bertindak seperti itu. Kamu yang gak bisa mengendalikan diri."

Maha tetap menyalahkan Sastra, tidak mungkin semalam dirinya bisa semau itu mencium Sastra, tidak mungkin juga dia mau menyerahkan dirinya pada Sastra.

"Lo tetep brengsek," Maha berbisik dengan getir, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. "Dan gue benci lo."

"Terserah kamu, tapi sekarang saya mau dengar alasan kenapa semalam kamu pergi tanpa mengabari saya. Kenapa kamu meninggalkan rumah Keana sebelum waktu yang sudah kita sepakati? Dan kenapa kamu malah pergi ke bar dengan teman yang bahkan saya tidak tahu siapa? Keana bilang kamu pergi untuk urusan pekerjaan, tapi kenyataannya berbeda. Saya butuh penjelasan dari kamu sekarang."

Sastra menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap Maha dengan tenang meski sorot matanya jelas meminta jawaban yang tegas. Maha menggigit bibirnya, sedikit gugup tapi masih bersikeras mempertahankan egonya.

"Ya, gue pergi. Dan apa masalahnya? Gue bukan anak kecil yang harus selalu lapor kemana-mana, Sas! Lagi pula, Lo gak ada hak ngatur-ngatur gue." jawabnya dengan nada yang lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Maha kemudian melanjutkan, "gue emang mau bahas tentang pekerjaan sama temen gue, kita ketemu di tempat itu."

"Membahas pekerjaan apa yang mengharuskan kamu datang ke tempat seperti itu?" tanya Sastra sudah mulai meninggi nada suaranya, matanya menelusuri setiap gerak-gerik Maha yang terlihat semakin gelisah.

Maha mendengus, mencoba menahan rasa tidak nyaman yang mulai menyeruak dalam dirinya. "Kenapa? Lo gak percaya? Lo pikir semua orang yang datang ke bar cuma buat mabuk-mabukan dan cari masalah?" jawab Maha dengan defensif, tatapannya menantang meskipun nada bicaranya mulai terdengar ragu.

"Saya gak bilang gitu," balas Sastra kembali tenang, meskipun tatapannya semakin tajam. "Saya cuma mau tahu, apa yang begitu penting sampai kamu harus pergi tanpa bilang apa-apa dan memilih tempat itu?"

Maha terdiam, mencoba mencari alasan yang masuk akal, namun sayangnya tidak ada. "CK! Intinya gue ditawarin kerja. Lagian kalau bilang sama Keana kalau gue mau ketemuan ditempat kayak gitu, dia pasti ngadu sama lo. Lo kan udah mempengaruhi sahabat gue jadi berpihak sama Lo Sas!"

Sastra menghela napas panjang, berusaha menahan diri. "Jadi, kamu merasa lebih baik pergi diam-diam tanpa kabar dan malah membuat semuanya jadi kacau? Kamu tahu itu berbahaya, Maha."

Maha hanya melipat tangannya di dada, pandangannya menghindar. "Ya udah, terus mau lo apa sekarang? Lo kan udah tahu semuanya."

"Ini bukan cuma soal tahu atau nggak. Ini soal kamu nggak bisa terus-terusan bertindak tanpa pikir panjang, tanpa mikirin akibatnya. Sekarang saya tanya lagi, pekerjaan apa yang ditawarkan temanmu itu?"

Maha menelan ludah, tubuhnya terasa kaku. Tatapan Sastra yang tajam membuatnya semakin sulit mencari alasan. "Itu... Gak penting, lagian gue juga udah nolak tawarannya kok. Gue nggak tahu kenapa lo harus segitunya nanya-nanya detail," jawabnya dengan nada yang berusaha tetap santai, meskipun jantungnya berdegup lebih cepat.

Sastra tidak tergoyahkan. "Saya tanya sekali lagi pekerjaan apa yang ditawarkan temanmu? Kalau memang tidak ada yang mencurigakan, kenapa kamu tidak bisa bilang secara jelas?"

Maha berusaha menahan pandangannya, mencoba menghindari tatapan tajam Sastra. "Itu—Commercial s*x."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!