Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Asap Kopi, Jalan Berliku dan Pimpinan yang Dingin
Mobil dinas berwarna putih kusam itu melaju pelan di antara jalan berkelok dan tanjakan terjal. Di sisi kanan, jurang curam menganga ditutupi semak dan ilalang. Di sisi kiri, dinding bukit menjulang dengan akar-akar pohon besar yang mencuat ke jalan. Kirana menggenggam erat ranselnya yang berada di pangkuan, mencoba menahan rasa mual yang mulai menyerang dari perut.
“Masih lama, Da?” tanya Anna kepada sang sopir dengan panggilan khas orang Padang.
"Sedikit lagi, Dok. Nanti kita singgah dulu di warung Mak Nur buat ngopi sebentar," ujar Sarkani—sopir Puskesmas yang menjemputnya di kota Solok. Usianya mungkin mendekati kepala empat, logatnya kental Minang, dengan senyum yang nyaris tak pernah lepas dari wajahnya sejak mereka berangkat.
Kirana hanya mengangguk. Wajahnya pucat, pandangannya tak lepas dari jalan di depan. Dia sudah tiga kali ke daerah terpencil selama kuliah, tapi tidak ada yang se-ekstrem ini. Jalannya sempit, licin karena gerimis semalam, dan tak ada sinyal ponsel sejak dua jam lalu. Ia hanya bisa pasrah, mengandalkan Pak Sar dan GPS tua di dashboard yang kadang hidup kadang tidak.
"Lapar ya, Bu Dokter? Biasanya orang kota gitu. Biasa sarapan roti, kopi-kopi mahal. Begitu dibawa ke sini, langsung masuk angin," celetuk Da Sar lagi sambil terkekeh.
Kirana memaksakan senyum. "Iya, Da Sar. Tadi buru-buru, cuma sempat minum teh botolan di hotel."
"Besok-besok, bikin kopi sachet sama kerupuk sanjai aja. Aman!"
DaSar tertawa lepas, suaranya bergema di dalam kabin. Sementara Kirana mencoba tertawa kecil, hatinya masih diliputi banyak tanya. Keputusan menerima tugas dari program Nusantara Bakti ini bukan hal mudah. Tapi ia ingin keluar dari zona nyaman. Menjadi dokter, bukan hanya untuk tempat nyaman dan aman, kan?
Mobil akhirnya berhenti di sebuah warung kayu di pinggir jalan. Di depannya, ada teras sederhana dengan bangku panjang dari bambu. Di dalam, asap tipis mengepul dari ceret besar di atas tungku. Aroma kopi dan kayu bakar menyambut Kirana seperti pelukan hangat di tengah ketidakpastian.
"Mak Nur!" panggil Pak Sar.
Seorang perempuan setengah baya muncul dari dalam warung. Rambutnya disanggul rapi, mengenakan kain batik dan blus sederhana. Matanya menyipit saat melihat Kirana.
"Ooo... ini to bidan dokter yang baru ditugaskan itu? Mudo nyo...," gumamnya sambil menatap Kirana dari ujung kepala sampai kaki.
"Dokter, bukan bidan, Mak. Tapi bisa dibilang serba bisa," jawab Kirana sambil tersenyum ramah.
Mak Nur tersenyum simpul. "Hmm, baguslah. Di kampung sini, yang penting bisa nolong orang. Mau dokter, bidan, atau mantri, asal tangannya dingin."
Kirana hanya mengangguk pelan. Ia mulai merasakan bahwa penilaian masyarakat di sini sangat berbeda dari kota. Gelar tak terlalu penting. Yang dinilai: apakah kamu bisa jadi harapan saat mereka terdesak?
Mereka duduk di bangku panjang. Sarkani sudah asyik menyeruput kopi hitam dan makan pisang goreng. Kirana memesan teh manis panas. Saat menyesapnya perlahan, ia memandangi awan rendah yang menyelimuti perbukitan. Indah, tenang, tapi juga sunyi dan misterius.
"Da Sar...," ucap Kirana akhirnya, "sejujurnya saya agak takut. Tempat ini terasa... asing."
Sarkani berhenti mengunyah. Ia menoleh, lalu menepuk pelan bahu Kirana. "Memang begitu, Dok. Tapi tenanglah. Di sini orangnya baik-baik. Asal kita sabar, dan pandai bawa diri. Lama-lama, tempat ini akan jadi rumah juga."
Kirana menatap wajah pria awal empat puluh itu. Tatapan nya memberi sedikit ketenangan. Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Terima kasih, Da Sar."
Setelah lima belas menit, mereka melanjutkan perjalanan. Jalan semakin sempit dan tak lagi beraspal. Mobil bergoyang setiap kali roda menghantam batu atau lobang di tengah jalan tanah. Tapi di tengah ketegangan itu, Kirana mulai merasa sesuatu tumbuh dalam hatinya. Sebuah rasa penasaran, rasa ingin tahu... dan semacam bisikan kecil yang mengatakan: tempat ini akan mengubah hidupmu.
Saat mereka mulai menuruni lembah menuju Nagari Talago Kapur, sebuah papan kayu menyambut mereka:
SELAMAT DATANG DI NAGARI TALAGO KAPUR
Raso jo pareso, adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Kirana membaca tulisan itu pelan-pelan. Ia tidak sepenuhnya paham, tapi hatinya bergetar pelan.
***
Bangunan Puskesmas Talago Kapur tampak sederhana, berdiri di antara deretan pohon karet dan semak belukar. Dindingnya dari beton kusam, cat hijau muda yang sudah mulai pudar di sana-sini.
Kirana turun dari mobil Puskel sambil merapikan ranselnya. Sepatu putihnya nyaris tak lagi putih, tertutup debu kuning dan cipratan lumpur. Ia sempat menghela napas sebelum melangkah masuk ke halaman Puskesmas. Beberapa warga duduk di bangku panjang, mengantre giliran, dan beberapa di antaranya langsung menatap Kirana dengan rasa penasaran.
“Dokter baru ya?” tanya seorang ibu dengan anak kecil di gendongannya.
“Iya, Bu. Mohon bantuannya ya selama saya di sini.” Kirana menjawab dengan senyum tulus.
Sarkani masuk lebih dulu dan langsung disambut seorang perempuan berkerudung dengan seragam dinas cokelat muda. Wajahnya bulat, pipi bersemu merah, dan matanya menyipit saat melihat Kirana.
"Bu Kirana, ini Bu Ayu—penanggung jawab administrasi kita," kata Pak Sar memperkenalkan.
“Assalamu’alaikum,” sapa Kirana.
“Wa’alaikum salam. Wah, akhirnya ketemu juga. Saya kira kiriman dari pusat itu nggak jadi turun,” sahut Bu Ayu sambil menjabat tangan Kirana. “Sini, sini. Saya antar dulu ke ruang kepala Puskesmas ya. dr. Raka sudah nunggu dari tadi.”
Kirana mengikuti Bu Ayu menyusuri lorong sempit dengan lantai yang ubin nya sudah mulai terlihat kusam. Di dinding, terpampang poster penyuluhan KB, grafik capaian imunisasi, dan peta wilayah kerja Puskesmas. Beberapa staf yang mereka lewati tampak memberi lirikan singkat pada Kirana, sebagian mengangguk ramah, sebagian tampak biasa saja.
Sampailah mereka di sebuah pintu kayu dengan label logam bertuliskan:
dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas
Bu Ayu mengetuk dua kali sebelum membuka pintu. “dokter Raka, ini Dokter Kirana yang dari Jakarta itu.”
Kirana dipersilahkan masuk. Ruangan itu lebih rapi dari ekspektasinya. Ada rak buku, meja kayu besar, kipas angin berdiri di pojok, dan satu kursi tamu empuk yang tampaknya sudah termakan usia.
Di belakang meja, seorang pria berdiri — tinggi, postur tegap, mengenakan baju dinas khaki dengan lengan yang digulung rapi. Rambutnya tersisir ke belakang, dan wajahnya... datar. Tak ada senyum. Hanya sorot mata tajam di balik kacamata persegi.
“Selamat datang, Dokter Kirana,” ujarnya. Suaranya berat dan singkat. “Silakan duduk.”
Kirana duduk, mencoba membaca ekspresi pria ini. Tapi sulit. Tidak ada sambutan hangat seperti yang ia harapkan dari seorang atasan yang akan jadi rekan kerja setahun ke depan. Bahkan nadanya lebih mirip menyambut vendor barang ketimbang kolega.
Kirana hanya bisa membayangkan dirinya mengurut dada. Baru hari pertama sudah menghadapi pimpinan dingin.
Nasib ... nasib ...
***