NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1: Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pergi

Malam itu, langit menumpahkan gelapnya seperti tinta hitam dari kaligrafi raksasa yang tumpah ke bumi, membungkus kampung kecil yang terlupakan dalam pelukan pekat tanpa ujung. Di antara gemuruh sunyi, berdirilah seorang perempuan bernama Aisyah, dengan mata yang tajam seperti pedang yang mampu membelah malam menjadi dua bagian, menatap ke arah rumah tua yang hampir roboh. Rumah itu, dengan dinding yang retak dan jendelanya pecah-pecah, menyimpan rahasia yang lebih dalam dari samudera tak bertepi.

“Aku bukan ustadzah,” bisiknya, suaranya serak seperti pasir yang digesek angin gurun. Kata-katanya terbang di udara malam, membeku di antara rintik hujan yang jatuh deras, menambah kesan kelam yang menggantung di udara.

Di sisi lain jalan yang sama, berdiri sosok pria bernama Khaerul. Wajahnya tertutup bayang-bayang, tapi sorot matanya menyimpan api yang membara, penuh tanya dan rahasia. Ia mengawasi Aisyah dengan hati-hati, seolah mengetahui bahwa gadis itu menyimpan kunci sebuah misteri yang bisa menghancurkan dunia kecil mereka.

Aisyah tahu, dirinya bukanlah wanita suci yang diidolakan. Ia hanyalah manusia biasa, penuh luka dan rahasia, namun di balik itu semua ada sesuatu yang bisa mengguncang dunia. Dalam hatinya ada kunci—sebuah rahasia gelap yang bahkan Khaerul tak pernah bisa menebak.

Malam itu, hujan turun seperti air mata langit yang menyesali beban rahasia yang dibawa Aisyah. Dengan langkah pelan, ia menuju rumah tua itu, di mana pintu rahasia terbuka untuknya—pintu menuju masa lalu yang penuh luka dan dendam.

Ketika Aisyah menyentuh pintu itu, dunia seakan berhenti berputar, dan suara hujan berubah menjadi bisikan kematian yang membakar tulang. Di dalam rumah itu, waktu berputar mundur, membuka lembaran kelam yang selama ini terkubur dalam diam.

Di sana, tergeletak sebuah surat yang bisa merobek segalanya. Aisyah menggenggamnya dengan tangan gemetar, dan saat matanya membaca kata demi kata, bumi bergetar dalam dadanya, membawa perasaan yang lebih mengerikan dari kegelapan malam.

“Khaerul...” bisiknya, “Aku bukan ustadzah. Aku hanyalah korban dari kebohongan yang siap menghancurkan kita semua.”

Di balik hujan dan badai, mereka berdua terjebak dalam permainan takdir yang lebih gelap dari malam tanpa bintang.

Hujan semakin deras. Setiap tetesnya seperti ribuan jarum kecil yang menusuk kulit, menyatu dengan dingin yang merayap masuk ke dalam tulang. Namun Aisyah tetap berdiri teguh, seperti pohon yang akarnya menancap begitu dalam di tanah perih ini, menolak untuk roboh walau badai datang menggila.

Khaerul masih mengintai dari kejauhan, matanya seperti lentera yang menyinari lorong gelap penuh teka-teki. Ia tahu betul, Aisyah bukanlah gadis biasa yang bisa dia pahami hanya dengan sekali pandang. Ada sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang tak terucapkan dan bahkan tak bisa disentuh oleh logika manusia biasa.

“Siapa sebenarnya kau, Aisyah?” pikir Khaerul, seolah mencari jawaban dari lubang hitam yang tak pernah habis menyedot segala harapan.

Aisyah menghembuskan napas panjang, seolah menelan seluruh kesedihan dunia. Ia berjalan memasuki rumah tua itu dengan langkah yang pelan tapi pasti, menembus gelap yang mengitari. Setiap sudut rumah itu menyimpan bayangan masa lalu yang lebih pekat dari malam tanpa bulan.

Di dalam, ruangan yang dulu penuh tawa kini berubah menjadi kuburan kenangan. Debu menebal seperti selimut abu-abu yang membungkus kenangan indah dan pahit. Di tengah ruangan itu, meja tua dengan surat yang terlipat rapi menunggu untuk dibuka.

Surat itu bukan sembarang surat. Ia bagaikan bom waktu, sebuah bom yang siap meledak dan menghancurkan segala yang dikenal Aisyah selama ini. Surat yang menyimpan rahasia keluarganya, sejarah yang selama ini dikubur dalam diam.

Tangan Aisyah gemetar saat membuka surat itu, seperti getaran gunung berapi sebelum meletus. Kata-kata di surat itu membakar pikirannya, menembus lapisan demi lapisan hati yang terluka.

“Ini... ini tidak mungkin...” bisiknya lirih, matanya membelalak seperti akan meledak dari rongga, melihat kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Khaerul, yang masih mengawasi dari luar, merasakan ada gelombang aneh yang menyebar dari rumah tua itu. Ia tahu Aisyah telah menemukan sesuatu yang lebih besar dari mereka berdua—sebuah kebenaran yang bisa mengguncang segalanya.

Tanpa sadar, hujan mulai mereda. Angin membawa bau tanah basah dan aroma rahasia yang tertutup lama. Seolah alam pun menahan napas, menunggu keputusan Aisyah.

“Kalau aku mengungkap ini... semuanya akan berubah,” kata Aisyah dalam hati, suara batinnya bergema seperti guntur di kejauhan.

Ia tahu, rahasia itu bukan hanya miliknya, tapi milik banyak orang. Rahasia yang bisa menghancurkan reputasi, mengoyak hati yang sudah rapuh, dan membuka luka lama yang tak pernah sembuh.

Namun, lebih dari itu, ada bahaya yang mengintai. Bahaya yang tak kasat mata tapi selalu membayanginya, seperti bayangan hitam yang tak pernah pergi meski siang menyapa.

Khaerul akhirnya melangkah mendekat, suara langkahnya bergema di jalanan basah. “Aisyah,” panggilnya lembut tapi tegas. “Kau tidak sendiri.”

Aisyah menoleh, mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan dalam tatapan itu, sebuah ikatan yang lebih kuat dari waktu dan ruang.

“Kalau aku bukan ustadzah, lalu siapa aku sebenarnya?” tanyanya, suara bergetar tapi penuh tantangan.

Khaerul tersenyum kecil, “Kau adalah kunci dari sebuah misteri yang selama ini kami cari. Bersama, kita bisa menguak semua ini.”

Malam itu, di tengah hujan dan gelap, dua jiwa yang penuh luka berjanji untuk menantang takdir. Bukan sebagai pahlawan suci, tapi sebagai manusia biasa yang berani menatap bayang-bayang paling kelam sekalipun.

Aisyah berdiri terpaku di ambang pintu rumah tua itu. Setiap helaan napasnya beruap di udara malam yang dingin, seperti asap kecil dari bara api yang nyaris padam. Dalam hatinya bergolak badai yang tak kunjung reda, sebuah pergulatan antara rasa takut dan keberanian yang saling tarik menarik bagai dua pasang kutub magnet.

Khaerul berjalan mendekat, langkahnya berat namun pasti. “Aisyah,” suaranya bergetar, menyelip di antara suara hujan yang menetes perlahan di atap rumah, “Apa yang kau temukan?”

Aisyah menoleh, matanya masih basah karena air hujan dan air mata yang tertahan. “Sebuah rahasia yang lebih gelap dari malam tanpa bintang, Khaerul. Sebuah kenyataan yang selama ini terkubur di balik debu dan kebohongan.” Suaranya hampir berbisik, namun bergetar hebat seperti dawai gitar yang terlalu tegang.

Khaerul mengulurkan tangan, bukan untuk menghapus air di wajahnya, tapi untuk menunjukkan bahwa ia ada—sebuah jangkar di tengah lautan badai yang tak bertepi. “Kita harus hadapi ini bersama. Kau tidak sendirian.”

Aisyah mengangguk pelan, namun dalam dirinya, pertanyaan-pertanyaan berdatangan bagai ombak ganas yang menghantam karang. “Mengapa aku harus menanggung semuanya? Kenapa aku selalu menjadi bayangan yang tak terlihat oleh dunia?”

Khaerul menghela napas panjang. “Kadang, bayangan itu justru yang paling kuat. Karena mereka bekerja dalam diam, menunggu saatnya untuk muncul dan mengubah segalanya.”

Di dalam rumah, lampu minyak yang tergantung di langit-langit bergetar, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding retak. Seolah-olah rumah itu sendiri ikut bernafas, menyimpan luka dan kisah yang tak pernah diceritakan.

Aisyah membuka surat itu sekali lagi. Tulisan tangan yang rapuh tapi penuh makna, bagaikan mantra yang bisa menghidupkan kembali masa lalu. “Ini bukan hanya tentang aku,” katanya lirih, “Ini tentang semua yang pernah kami sembunyikan. Tentang mereka yang rela mengorbankan segalanya demi menjaga sebuah rahasia.”

Khaerul menunduk, wajahnya berubah serius. “Kita harus berhati-hati. Rahasia seperti ini bisa membunuh—bukan hanya tubuh, tapi jiwa.”

Diam-diam, angin malam membawa bisikan-bisikan yang tak kasat mata. Bisikan yang mengingatkan mereka bahwa waktu berjalan dengan cepat, dan bayang-bayang masa lalu tak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali.

Aisyah menarik nafas dalam, mencoba menenangkan badai di dalam dirinya. “Aku siap. Meskipun aku bukan ustadzah, aku akan berjuang untuk kebenaran, walau itu berarti harus melawan bayanganku sendiri.”

Khaerul tersenyum kecil, sebuah senyum yang penuh harapan. “Itulah kekuatan yang aku lihat dalam dirimu. Kita akan mulai dari sini, dari kegelapan yang paling pekat, dan menyalakan cahaya yang bisa menerangi segalanya.”

Hujan mulai reda, meninggalkan aroma tanah basah yang segar. Di luar sana, dunia masih terbungkus dalam gelap, tapi dalam hati Aisyah dan Khaerul, sudah tumbuh percikan cahaya—percikan yang siap membakar misteri dan menantang takdir.

Hujan perlahan berhenti, meninggalkan udara yang dingin menggigit kulit. Aisyah dan Khaerul duduk di ruang tamu rumah tua itu, cahaya temaram dari lampu minyak menari di dinding retak, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seperti roh-roh masa lalu. Sunyi yang pekat memenuhi ruangan, seolah menunggu kata-kata yang tak kunjung terucap.

Aisyah memecah kesunyian. “Khaerul, aku merasa seolah tubuhku berat seribu ton. Beban ini... bukan hanya rahasia yang kutemukan. Ini adalah bagian dari diriku yang selama ini aku sembunyikan dari dunia, bahkan dari diriku sendiri.”

Khaerul menatapnya penuh pengertian. “Aku tahu, Aisyah. Kadang, kita harus menghadapi bagian terdalam dari diri kita, meski itu berarti harus menyelam ke dasar jurang kegelapan.”

Mata Aisyah berkaca-kaca. “Tapi, bagaimana jika jurang itu tidak hanya gelap, tapi penuh dengan monster yang menunggu untuk memangsa? Bagaimana aku bisa yakin, kau tidak akan menjadi salah satu dari mereka?”

Khaerul tersenyum getir. “Karena aku juga membawa bayanganku sendiri. Tidak ada manusia yang benar-benar bersih dari luka. Namun, yang membuat kita berbeda adalah bagaimana kita memilih untuk melangkah, meski terjatuh berkali-kali.”

Dia berdiri dan mendekat ke jendela yang remang-remang, menatap ke luar, ke gelap yang semakin larut malam. “Rahasia yang kau temukan bisa menjadi kunci, tapi juga bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan segalanya. Kita harus berhati-hati.”

Aisyah mengangguk, napasnya memburu. “Aku siap menghadapi apapun. Tapi aku takut, Khaerul. Aku takut jika kebenaran itu terlalu besar untuk aku tanggung.”

Khaerul meletakkan tangannya di bahu Aisyah, memberikan kekuatan yang tak terlihat. “Kita tidak akan sendirian. Aku akan berada di sisimu, menghadapinya bersama.”

Dalam diam, mereka berdua merasakan beban yang melayang di udara, berat dan tak terlihat. Dunia di luar sana tampak biasa saja, tapi bagi mereka, dunia itu sedang bergolak dengan rahasia dan janji-janji yang belum terungkap.

Aisyah kembali menatap surat itu. Setiap kata terasa seperti ledakan yang mengguncang jantungnya, mengoyak dinding keamanan yang selama ini dia bangun. Kini, dia tahu, perjuangannya baru saja dimulai. Bukan sebagai ustadzah, bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai manusia yang berani menantang bayang-bayang kelam masa lalu.

Malam semakin larut, tapi di dalam hati Aisyah, ribuan badai berkecamuk tanpa henti. Dia memegangi surat itu erat-erat seolah dunia di tangannya bisa runtuh jika surat itu lepas. Kata-kata yang tertulis seperti rantai besi yang mengikatnya, membelenggu setiap harapan untuk lepas dari bayang-bayang masa lalu.

Khaerul duduk di seberangnya, tatapannya penuh waspada. “Aisyah, kau harus tahu, rahasia ini bukan hanya soal keluargamu. Ada kekuatan yang jauh lebih besar, yang tak ingin semua ini terbongkar.”

Aisyah menunduk, napasnya tercekat. “Apa maksudmu?”

Khaerul menarik napas panjang, suaranya serendah bayang-bayang di sudut ruangan. “Ada orang-orang yang siap melakukan apa saja demi menjaga rahasia itu tetap tersembunyi. Mereka bersembunyi dalam kegelapan, mengawasi setiap langkah kita.”

Detik-detik itu terasa seperti seribu tahun. Hujan yang tadi mereda, kini mulai berganti dengan suara petir yang menggelegar jauh di balik gunung. Suasana menjadi mencekam, seolah langit pun ikut bersaksi atas rahasia yang baru saja terkuak.

Aisyah menatap ke arah Khaerul, matanya menyala penuh tekad. “Kalau begitu, kita harus bersiap. Aku mungkin bukan ustadzah, tapi aku tidak akan membiarkan kegelapan menelan hidupku.”

Khaerul mengangguk, tangannya mengepal. “Kita akan bersama-sama menyalakan lilin dalam kegelapan itu. Meski kecil, nyalanya cukup untuk menunjukkan jalan.”

Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang dan penuh liku. Namun dalam malam yang pekat itu, harapan mulai tumbuh. Harapan bahwa kebenaran akan menang, dan bahwa manusia biasa seperti mereka bisa menjadi cahaya di tengah dunia yang penuh misteri.

Malam itu, langit menumpahkan gelapnya seperti tinta hitam dari kaligrafi raksasa yang tumpah ke bumi, membungkus kampung kecil yang terlupakan dalam pelukan pekat tanpa ujung. Di antara gemuruh sunyi, berdirilah seorang perempuan bernama Aisyah, dengan mata yang tajam seperti pedang yang mampu membelah malam menjadi dua bagian, menatap ke arah rumah tua yang hampir roboh. Rumah itu, dengan dinding yang retak dan jendelanya pecah-pecah, menyimpan rahasia yang lebih dalam dari samudera tak bertepi.

“Aku bukan ustadzah,” bisiknya, suaranya serak seperti pasir yang digesek angin gurun. Kata-katanya terbang di udara malam, membeku di antara rintik hujan yang jatuh deras, menambah kesan kelam yang menggantung di udara.

Di sisi lain jalan yang sama, berdiri sosok pria bernama Khaerul. Wajahnya tertutup bayang-bayang, tapi sorot matanya menyimpan api yang membara, penuh tanya dan rahasia. Ia mengawasi Aisyah dengan hati-hati, seolah mengetahui bahwa gadis itu menyimpan kunci sebuah misteri yang bisa menghancurkan dunia kecil mereka.

Aisyah tahu, dirinya bukanlah wanita suci yang diidolakan. Ia hanyalah manusia biasa, penuh luka dan rahasia, namun di balik itu semua ada sesuatu yang bisa mengguncang dunia. Dalam hatinya ada kunci—sebuah rahasia gelap yang bahkan Khaerul tak pernah bisa menebak.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!