NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:662
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pekerjaan Sandrawi

Kegaduhan pecah di halaman depan rumah Baskoro. Tanpa aba-aba, Bagantara melayangkan bogem mentah ke arah Yudayana yang baru saja melangkahkan kaki untuk bertakziah ke rumah mendiang Sandrawi. Tidak ada yang tahu pasti amarah macam apa yang menguasai Bagantara, namun yang jelas, tindakan brutal itu nyaris mencelakai nyawa orang yang bahkan belum sempat mengucap salam. Yudayana terhuyung, terkapar tanpa daya, tanpa perlawanan.

“Mas Bagantara, berhenti!” bentak Renaya, mendorong tubuh sang kakak ipar hingga membentur dinding teras dengan keras.

Suara keributan itu sontak membangunkan seisi rumah. Baskoro dan Kinasih bergegas keluar, langkah mereka terhenti saat melihat Yudayana tergeletak dengan wajah lebam sementara Bagantara mengerang marah.

“Apa-apaan ini? Kenapa ribut di depan rumah orang mati?” hardik Baskoro, kedua matanya menyapu tajam pemandangan yang membuat keningnya berkerut dalam.

Bagantara menunjuk Yudayana dengan napas tersengal, “Ini! Lelaki ini… dia yang menghamili Sandrawi, Pak!”

Renaya sigap membungkuk, menolong Yudayana bangkit dari tanah, menuntunnya untuk bersandar di tiang teras yang dingin. Matanya menatap Bagantara tajam. “Mas, jangan sembarangan menuduh orang tanpa bukti.”

Baskoro masih terpaku, rahangnya mengeras. Kinasih berdiri tak kalah bingung, wajahnya mengerut penuh tanya.

“Gak perlu bukti!” tukas Bagantara kasar. “Aku sering lihat sendiri, dia jalan berdua dengan Sandrawi!”

Kinasih mengerjap, pandangannya bergeser pada suaminya, lalu menatap menantunya yang masih mendengus kesal. “Mas… sejak kapan kamu suka memperhatikan Sandrawi?”

Bagantara mengusap wajahnya yang mulai memanas, suaranya melunak meski masih ketus. “Aku gak merhatiin. Tapi mata ini jelas sering lihat mereka bareng, dan itu cukup!”

Yudayana, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bersuara, suaranya lirih namun tegas, “Tidak, Mas. Semua ini salah paham. Saya tidak pernah punya hubungan apa-apa dengan Sandrawi… saya cuma teman biasa.”

Renaya mengangguk mantap. “Aku percaya sama Yudayana.”

Bagantara menggeram, “Kenapa kamu malah lebih percaya dia daripada aku?”

Renaya menarik napas berat. “Aku gak membela siapa-siapa, Mas. Tapi aku sudah cukup dengar dari warga desa tentang apa yang orang-orang pikirkan soal Sandrawi. Kita semua tahu, situasinya tidak sesederhana itu. Tidak bisa asal tunjuk tanpa bukti.”

Bagantara terdiam. Sorot matanya meredup, amarahnya perlahan surut, namun rasa tidak terima masih tersisa.

Baskoro menghembuskan napas panjang, menepuk pundak Renaya. “Ajak masuk saja, Ren. Sudah cukup ributnya… tamu tetap tamu.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Renaya mengangguk, lalu menuntun Yudayana perlahan masuk ke ruang tamu dan mendudukkannya di sofa.

“Sebentar, aku ambilkan obat dulu untuk lukamu,” ucap Renaya tanpa menunggu persetujuan.

Ia beranjak menuju kamar orangtuanya, meninggalkan Yudayana yang masih duduk dengan wajah sedikit bengkak. Saat Renaya masuk ke kamar, pandangannya langsung jatuh pada sosok Ratih, sang ibu, yang duduk termenung di balik selimut tebal. Tatapan kosong menelusuri sudut ruangan tanpa fokus, seolah harapan telah terkubur bersama kepergian Sandrawi.

Kematian anak bungsunya benar-benar merenggut jiwa Ratih. Selama ini ia bersusah payah, memeras tenaga dan keringat agar Sandrawi bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Cita-cita gadis itu sederhana—menjadi seorang dokter gigi. Namun, kenyataan tak memberi waktu, tak memberi kesempatan. Yang menyambut kepulangannya hanyalah kabar duka.

“Ibu… sudah makan?” Renaya bertanya pelan.

Tak ada jawaban. Ratih tetap membisu. Renaya menarik napas panjang, menahan gejolak rasa perih di dadanya, lalu berbalik pergi setelah menemukan kotak obat yang dicarinya.

“Tak usah repot-repot, Mbak. Saya nggak papa kok, cuma luka kecil,” ujar Yudayana saat Renaya kembali.

Renaya hanya mendengus kecil, meneteskan cairan antiseptik ke kapas. “Diam saja,” sahutnya. Dengan gerakan terampil, ia mulai membersihkan luka di pelipis Yudayana.

“Aw, pelan-pelan, Mbak…” Yudayana mengaduh pelan saat betadine menyentuh kulit yang mengelupas.

“Katamu cuma luka kecil?” Renaya menukas tajam.

Yudayana tak sanggup membantah. Ia hanya membiarkan Renaya membersihkan luka hingga selesai.

“Jadi… kamu benar bukan pacarnya Sandrawi?” tanya Renaya, memecah keheningan.

Yudayana menggeleng tegas. “Bukan, Mbak. Sandrawi… dia mana sudi sama saya,” jawabnya setengah bercanda, setengah getir.

“Kenapa?” alis Renaya sedikit terangkat.

Yudayana menarik napas pelan, lalu mengembuskannya. “Saya cuma bartender, Mbak. Dia terlalu jauh buat saya. Perasaan saya… ya, nggak ada artinya juga. Lagian… dia sudah nggak ada sekarang,” suaranya mengendur, nyaris berbisik.

Saat itu, Renaya baru menyadari sesuatu. Ada perasaan yang disimpan lelaki ini. Ada ketulusan yang tak pernah terucap. Namun semua telah terlambat.

“Oh iya, Mbak…” Yudayana menatapnya ragu. “Saya boleh nanya sesuatu?”

Renaya menutup kotak obat, mengangguk. “Silakan.”

Setelah menegakkan tubuhnya, Yudayana sedikit mendekat, suara lirihnya menyelinap di antara keheningan.

“Benar, Mbak… Sandrawi… meninggal dalam keadaan mengandung?”

Renaya mengangguk perlahan. “Dia nggak pernah cerita apa-apa ke kamu?”

Yudayana menggeleng. “Dia selalu simpan rapat masalah pribadinya. Sama saya pun, selain soal kerja, nggak pernah cerita apa-apa.”

Renaya menatap Yudayana lekat. “Kamu tahu di mana dia kerja?”

Yudayana mengangguk yakin.

Renaya menarik napas mantap. “Bisa antar aku ke sana?”

“Bisa, Mbak. Malam nanti aja ya, aku kirim alamatnya ke ponsel Mbak.” Yudayana mengeluarkan ponsel, menunjukkan lokasi tempat Sandrawi biasa bekerja.

“Nanti setelah Mbak sampai, langsung saja telepon saya,” ujar Yudayana seraya menyerahkan secarik kertas berisi nomornya.

Renaya mengangguk pelan, kemudian menyimpan catatan itu di saku bajunya.

“Sebelumnya… aku minta maaf soal tadi.” Renaya menunjuk wajah Yudayana yang tampak lebam dan membengkak. Dalam hati ia menyesal, andai ia lebih cepat menghentikan Bagantara, mungkin luka-luka itu takkan ada.

“Gak apa-apa, santai saja, Mbak,” balas Yudayana, senyum tipisnya masih bisa terukir walau ada rasa perih di sudut bibirnya. “Kalau begitu, saya pamit dulu ya. Turut berduka cita… atas kepergian Sandrawi.”

Renaya hanya mengangguk. Ia bangkit, hendak mengantar Yudayana sampai teras.

“Mas Yuda!” suara Adibrata memecah keheningan, tubuhnya berlari kecil menghampiri mereka.

“Sudah dari tadi, Mas?” tanya Adibrata. Matanya lantas tertumbuk pada wajah Yudayana yang tampak babak belur. “Eh… wajah Mas kenapa jadi begini?”

“Gara-gara masmu itu,” sahut Renaya cepat, nadanya terdengar tajam. “Main hajar orang tanpa pikir panjang!”

Adibrata mengembuskan napas panjang, seolah sudah menduga arah kejadian. “Mas Yuda mau pulang sekarang?”

“Iya,” Yudayana tersenyum kecut. “Daripada lama-lama nanti wajahku malah nggak dikenali orang.”

Adibrata tertawa kecil, lalu ikut mengantar Yudayana hingga ke teras. Sementara itu, Renaya mengambil kembali belanjaan yang tadi sempat ditinggalkan di sudut teras, lalu bergegas menuju dapur.

“Masak apa, Mbak?” tanya Adibrata begitu masuk ke dapur, meneguk air dari gelas.

Renaya menoleh singkat. “Belum tahu juga, mungkin cuma goreng ayam.”

Adibrata mengangguk santai. Sebelum ia keluar dari dapur, Renaya lebih dulu melontarkan pertanyaan yang mengganjal.

“Kamu kayaknya akrab banget sama Yudayana… kalian kenal?”

“Pacarnya Mbak Sandrawi, Mbak. Dulu sering ketemu sama aku,” jawab Adibrata ringan.

Renaya mengernyit, tak menyangka jawaban seperti itu.

“Pacar?” tanyanya ragu, kening berkerut.

Adibrata mengangguk mantap. “Iya, Mbak Sandrawi sendiri yang bilang ke aku, mereka pacaran.”

Renaya terdiam. Pernyataan Adibrata jelas bertolak belakang dengan pengakuan Yudayana sebelumnya.

‘Jadi sebenarnya hubungan mereka apa? Kenapa Sandrawi bilang pacaran sementara Yudayana mengelak?’ pikir Renaya.

Namun ia memilih untuk menahan segala prasangka. Tak ingin membuat kesimpulan setengah matang, Renaya memutuskan untuk memastikan sendiri kebenarannya nanti malam.

......................

Malam pun tiba.

Sesuai janji, Renaya mendatangi alamat yang dikirimkan Yudayana. Awalnya, ia mengira alamat itu keliru. Keraguan sempat menggelayuti pikirannya sebelum ia akhirnya menghubungi Yudayana lewat telepon.

“Mbak, saya di sini!” seru suara di seberang.

Renaya menoleh ke belakang. Dari balik pintu kaca yang berhiaskan lampu-lampu mencolok, Yudayana muncul. Tempat itu adalah sebuah klub malam yang cukup populer di pusat kota Surabaya.

"Jadi Sandrawi kerja di sini?"

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!