Kata orang, roda itu pasti berputar. Mereka yang dulunya di atas, bisa saja jatuh kebawah. Ataupun sebaliknya.
Akan tetapi, tidak dengan hidupku. Aku merasa kehilangan saat orang-orang disekitar ku memilih berpisah.
Mereka bercerai, dengan alasan aku sendiri tidak pernah tahu.
Dan sejak perceraian itu, aku kesepian. Bukan hanya kasih-sayang, aku juga kehilangan segala-galanya.
Yuk, ikuti dan dukung kisah Alif 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan
Alif, menatap lesu pada bajunya yang terkena cipratan dari sebuah mobil yang melaju kencang di dekatnya.
Ini merupakan hari senin, baju seragam yang baru di pakainya tadi pagi.
Dan sudah bisa di bayangkan, betapa marah neneknya nanti saat melihat bajunya yang penuh dengan noda.
Dengan hati yang bergemuruh, Alif pulang dengan berlari, bahkan jantungnya memompa dua kali lebih cepat, dari biasanya. Bukan karena akibat dari larinya. Melainkan, melihat neneknya yang sedang menyapu halaman.
Perlahan, saat mendekati rumahnya, dengan posisi sedikit sembunyi di balik pagar, Alif beristirahat sejenak, untuk meraup udara sebanyak mungkin, dan dia bersiap akan menerima apapun yang terjadi.
Dengan menelan ludah secara kasar. Alif mengucap salam dengan lirih. Tak lupa, doa yang di lafaz kan di hatinya.
"Ya ampun Alif ... Harus berapa kali sih nenek berpesan padamu? Jangan mengotori bajumu! Memangnya besok, kamu mau pakai apa hah?" teriak Neli, dengan menopang kedua tangannya di pinggang.
"Ta-tadi ..."
"Apa? Menjawab? Kamu memang seperti ibumu ya ... Selalu saja menjawab saat orang tua memberi nasehat." ungkap Neli menjitak kepala Alif.
"Sana, cuci bajumu." sambung Neli lagi. Dia bahkan tidak peduli dengan mata Alif yang sudah berkaca-kaca.
Alif masuk ke dalam dan segera menggantikan bajunya. Dia bahkan tidak memperdulikan perutnya yang keroncongan akibat menahan lapar dari pagi tadi. Karena di sekolah pun, dia tidak jajan sama sekali.
Itu, karena dia tidak membawa uang jajan. Akibat, Neli belum mendapatkan upah, dari ketok melinjo. Ataupun, emping.
Iya, pekerjaan sehari-hari Neli adalah menggetok melinjo. Dia mengupah punya orang, yang biasannya sekilo melinjo dia di bayar, dengan uang sepuluh ribu. Dan dalam sehari, biasanya Neli menghabiskan dua kilo melinjo. Dan itu pun, sampai sore hari.
Bahkan, kadang kala Neli juga melanjutkan saat malam harinya, untuk menambah penghasilan, agar cucunya bisa makan dengan layak.
Siapa sangka, di balik kekejaman Neli dalam mendidik Alif. Dia mempunyai harapan dan doa, agar Alif menjadi sosok kuat dan penyabar.
Setelah mengantikan pakaiannya Alif langsung ke sumur untuk menimba air. Karena kebetulan, mesin air di rumah mereka telah lama rusak. Dan Neli, tidak memiliki cukup uang untuk membeli yang baru.
Dan mesin tersebut pun, sudah beberapa kali di perbaiki.
Neli datang, mengambil alih tali ember dari tangan Alif. "Kamu makan lah, biar nenek saja yang mencucinya." lirih Neli.
Alif mengangguk, tanpa membantah sedikitpun. Dia menuju dapur dan mengambil nasi serta telur dadar yang telah disiapkan oleh neneknya.
Alif memilih makan di kursi panjang di terasnya. Dia makan nasi dengan sangat lahap. Kemudian, Neli datang seraya mengelus kepalanya dan duduk di samping cucunya.
"Kemarin, kamu bermain mobil-mobilan bersama Akmal?" tanya Neli.
"Iya, mobil remote nya bagus. Ayah kapan ya, mengirimkan kita uang? Aku mau juga mobil seperti itu." Alif bertanya balik.
Neli memilih diam, karena nyatanya anaknya, atau ayah dari Alif sekarang menghilang bak di telan bumi. Dan Neli, tahu pasti alasan di balik semua itu.
"Kamu, merusaknya?" tanya Neli hati-hati.
"Gak, aku bahkan tidak menyentuhnya nek. Aku main kejar-kejar mobilnya saja. Dan Akmal yang mengendalikannya menggunakan remote." sahut Alif antusias.
Neli menelan ludah. Dia tahu, jika sang cucu tidak berbohong. Namun, dia tidak berkomentar terlalu jauh lagi.
Tadi pagi, setelah Alif berangkat sekolah. Ibunya Akmal datang dengan muka merah.
Dia memanggilnya, dengan suara lantang. Membuat Neli yang sedang memberi makan ternak di belakang terkejut, sekaligus ketakutan.
Neli takut, jika Alif kenapa-napa. Namun begitu Neli keluar rumah dengan tergesa-gesa. Nila, atau ibunya Akmal, langsung menghampirinya.
"Wak Neli, bilangin ya sama cucunya, untuk jangan bermain sama Akmal. Karena jika Alif bermain sama Akmal, semua mainan Akmal pasti di rusaknya." ujar Nila dengan muka merah.
"Memang apanya yang rusak? Biar saya ganti!" seru Neli.
"Ganti, ganti ... Memangnya sanggup? Mobil ini harganya ratusan ribu. Situ makan aja hanya telor." sinis Nila.
Neli menelan ludah pahit. Karena apa yang di katakan wanita gemuk di hadapannya adalah kebenaran. Mungkin, Nila mencari tahu hal tersebut, dari Alif yang sering datang bermain ke rumahnya.
"Ini, aku ada uang seratus ribu. Barang kali, bisa menambal sedikit kerusakan yang diakibatkan oleh Alif." ujar Neli mengambil uang dari sela bajunya yang disimpan di dada, dalam dompet kecil.
"Ini mah, masih jauh dari kata cukup. Cuma, karena saya sedikit berbaik hati, ya udah saya terima." sinis nya menarik uang dari tangan Neli.
Neli memejam mata. Karena rencananya, uang tersebut akan digunakan untuk membelikan Alif sepatu baru. Karena sepatu yang dikenakannya sudah tidak layak pakai. Bahkan, telapak kaki Alif sampai kelihatan, saat dia berjalan.
Kembali Neli melihat Alif. Bocah berusia sepuluh tahun tersebut tidak pernah mengeluh, saat dia hanya bisa makan satu telur di bagi sampai ke malam hari.
Beruntung, untuk beras, Neli masih sanggup ke sawah mengumpulkan hasil panen dari orang-orang.
"Ibu, kenapa tidak pernah ke sini ya nek? Padahal, kata bu Nila, kampungnya gak jauh dari sini? Apa karena ibu udah punya anak lain?." tanya Alif dengan lirih.
"Hush ... Kamu ngomong apa? Dengar dimana?"
"Bu Nila. Katanya, ibumu udah ada adik baru. Makanya kamu gak mau diurus lagi, kamu gak disayang, sebab adikmu jauh lebih patuh. Tidak bandel seperti mu." sahut Alif meniru Nila.
Neli memejamkan matanya. Tidak menyangka, jika Nila sanggup mengatakan hal itu pada Alif. Walaupun itu kebenarannya, tidak seharusnya Nila begitu.
Neli saja, yang mengetahuinya lebih dulu, memilih untuk menyembunyikan hal itu. Karena dia tidak tahu, mungkin saja hati Alif akan rapuh, saat mendengar berita itu. Apalagi, memang sudah lama semenjak orang tua Alif bercerai, ibunya tidak pernah lagi menemuinya.
"Makan lah, nanti sore kita akan beli ikan di warung bu Meri." ujar Neli, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ikan? Memang uang nenek cukup? Kata nenek kita harus berhemat, agar nenek bisa membelikan aku sepatu dan tas baru." beruntun Alif. "Aku juga ingin sih nek, pakai tas punggung baru kayak teman-teman." ungkap Alif.
"Nanti aja ya, jika uang dana sekolah masuk lagi. Kita akan beli semuanya." janji Neli.
Sebelumnya, Neli memang membelikan pakaian yang layak untuk Alif sekolah. Namun, uang tahun kemaren semua uang itu habis dipakai, pada saat Alif masuk ke rumah sakit. Dan karena itulah, sepatu yang belum sempat di gantinya itu, sampai sobek dengan parah. Begitu, juga dengan tas yang Alif kenakan.
"Bukan nya dana sekolah baru masuk saat kelas lima ya nek? Berarti masih lama dong." tanya Alif. Dan Neli hanya mengangguk kepalanya.